Dua bulan lalu dan kini.

Asa.
4 min readFeb 24, 2022

--

Beberapa hal berubah semenjak kejadian besar dua bulan lalu. Seharusnya semua orang sadar, begitu pula Jungwon bahwa di dunia ini segalanya bersifat dinamis. Seperti mode pakaian yang selalu berganti-ganti setiap tahunnya, trend model rambut yang selalu berubah setiap bulan, juga termasuk kekasihnya, si pemuda tampan yang sedang menarik gas motor dengan kecepatan sedang itu.

Orang awam mungkin tidak akan menyadari perubahan dari sang ketua Kastara tersebut. Ia masih terlihat sama seperti sebelumnya; kuat, pemberani, lucu, dan juga romantis. Namun tidak dengan seorang pemuda manis yang sedang melingkarkan lengannya erat pada pinggang milik Jay. Mengenal satu sama lain dalam waktu yang cukup lama membuat Jungwon memahami Jay lebih dari yang lain. Bukan sekadar nama lengkap, makanan kesukaan, warna favorite atau merk rokoknya.

Jungwon mengenal Jay lebih dari itu.

Maka ketika beberapa saat yang lalu Jay menunggunya di depan ruang OSIS dengan senyum manis yang merekah lebar dan tangan yang menggenggam sebatang cokelat, Jungwon langsung menabrakan tubuhnya dan memberi pelukan terhangatnya. Tidak peduli jika ada warga sekolah yang melihat. Jungwon tahu bahwa kekasihnya itu sedang tidak baik-baik saja. Sebab binar bulat gelapnya tidak bisa berbohong, pula menyembunyikan kesedihan.

Putaran roda menghantarkan sepasang pemuda tersebut kepada kawasan rindang nan sejuk. Sebuah tempat disisi kota yang selalu menjadi penghubung antara mereka yang di bumi dan di surga. Jungwon tidak banyak bicara, begitu juga Jay. Yang lebih tua memarkirkan motornya dengan rapi lalu membantu Jungwon untuk melepas helm, dan menggenggam jemari pemuda manis tersebut pada detik berikutnya. Mereka berjalan beriringan. Menyusuri makam demi makam, berhenti tepat pada gudukan tanah yang masih terlihat cantik.

“Gue dateng lagi, kangen.” Jay berjongkok disebelah nisan milik Heeseung. Mengusapnya lembut seperti sedang mengusap pipi sang sahabat.

Jay tidak tahu perasaan apa yang sedang menyelimuti hatinya. Kepalanya penuh, dadanya sesak, relung hatinya bagaikan tergores. Ia sakit, sangat sakit melihat rumahnya diambang kehancuran. Saat ini Jay butuh sosok yang lebih tua, sosok dengan pemikiran yang lebih dewasa darinya. Biasanya ketika Kastara menghadapi suatu masalah, Heeseunglah yang memegang andil terbesar dalam mencari solusi.

Dan saat ini Kastara membutuhkannya.

“Maaf, lo pasti sedih liat kondisi Kastara sekarang. Maaf Hee, rasanya gue gagal jadi pemimpin untuk yang kesekian kalinya. Gue gabisa. Gue butuh lo.”

Kalimat demi kalimat yang terlahir dari mulut Jay bergabung dengan ether. Memenuhi ruang alam semesta. Terbang bersama angin. Berharap sampai pada langit dan didengar oleh dia yang sedang menari di surga. Dia yang hingga enam puluh hari semenjak kepergiannya masih membekas luka. Juga tertinggal harap bahwa segalanya tidaklah nyata.

Jungwon memilih untuk mengunci mulutnya dan memberikan usapan-usapan lembut pada punggung lebar Jay. Kastara membutuhkan banyak waktu untuk menerima keadaan dan dua bulan tidaklah cukup. Selama ini Jungwon selalu menjadi tempat bagi Jay untuk berpulang. Telinganya acap kali mendengar segala keluh kesah. Bahunya senantiasa menjadi ruang untuk bersandar. Tangannya kerap memberi usapan atau menjadi alat untuk menghapus air mata. Jungwon tahu segala hal yang mengganggu hati dan pikiran Jay. Begitupula tentang hari ini.

“Kastara bakal baik-baik aja.” Kalimat pertama Jungwon akhirnya terlepas dari bibir mungil pemuda tersebut. Dibarengi dengan genggaman tangan yang semakin mengerat.

Beberapa hal berubah semenjak kejadian besar dua bulan lalu. Tidak hanya Jay, namun juga Sunghoon dan Jake.

Sunghoon, pemuda bersurai hitam yang sering kali melempar lawakan dan juga tingkah lakunya yang selalu menghangatkan suasana kini terlihat lebih pendiam dan dingin. Senyum ramah dan tawa riangnya bagaikan barang langka yang sulit untuk ditemukan. Dua bulan berlalu dan Ia telah berubah.

Jake, sang pemilik dari binar mata terhangat juga telah hilang. Hadirnya tak lagi bersemangat. Mulut yang selalu memberi tutur kata positif itu telah tergantikan dengan cela dan sumpah serapah. Tidak ada lagi Jake yang selalu merangkul kawan-kawannya. Dua bulan berlalu dan Ia telah berubah.

Beberapa hal berubah semenjak kejadian besar dua bulan lalu. Bangunan Kastara roboh secara perlahan. Hilangnya satu pilar menjadi alasan runtuhnya tiga pilar lain. Bagaikan domino, mereka ambruk dan menimpa satu sama lain. Saling menyalahkan, beradu siapa pemilik luka terparah dan tersakit.

“Lo disini?”

Sebuah suara memecah kesunyian sore itu. Kedua pemuda yang tengah terduduk di samping makam kompak mendongak ke arah sumber suara. Sunghoon dan Jake berdiri dihadapan mereka dengan tangan yang masih bertaut satu sama lain.

“Kangen Heeseung.” ujar Jay lalu kembali memusatkan atensinya pada makam Heeseung.

“Gue juga.”

Sunghoon dan Jake bergabung untuk duduk di atas tanah. Mengikuti ritual yang telah dilakukan oleh Jay dan Jungwon sejak satu jam yang lalu; duduk terdiam memandangi nisan Heeseung dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Maaf,” Jake membuka suaranya, “Maaf gue jadi temen yang jahat. Gak seharusnya gue begini. Heeseung pasti gasuka liat kita berantem. Maaf.”

Jay mengangkat wajahnya, memperhatikannya temannya yang sedang tertunduk layu. “Lo harus belajar ikhlas, Jake. Gak semuanya harus dibalas manusia. Kita punya Tuhan. Manusia boleh berencana, tapi yang di atas Maha Kuasa.”

“Gue diem bukan berarti udah gak sayang Heeseung. Engga, engga sama sekali. Tapi gue lagi berusaha buat gak kasi makan ego sendiri. Capek. Lebih baik kita lanjutin semua cita-cita yang dulu pernah kita bangun berempat ‘kan?”

Beberapa hal berubah semenjak kejadian besar dua bulan lalu. Hanya beberapa, bukan segalanya. Seperti rasa persaudaraan yang telah tertanam dalam diri para Kastara. Tidak ada yang berubah. Mereka masih tinggal dalam satu rumah, berlindung di bawah atap yang sama, dan berbagi apapun yang dirasa. Untuk selamanya.

Hari itu ketika segalanya terasa berat, mereka memilih untuk memacu mesin menuju tempat untuk berkumpul bersama.
Satu-satunya tempat yang menjadi wadah untuk berhimpun berempat.

--

--