Datang akan pergi
Lewat ‘kan berlalu
Ada ‘kan tiada bertemu akan berpisah
Antunan lagu Sampai Jumpa milik Endank Soekamti yang berasal dari radio memecah sunyi dalam mobil. Tidak ada yang bersuara, semua terdiam. Terlarut pada pikiran masing-masing dan harap bahwa semua ini tidaklah nyata. Semua ini; perihal kehilangan, perpisahan, dan menghantar teman baikmu ke peristirahatan terakhirnya.
Kelima pemuda tersebut memilih untuk diam seribu bahasa. Bagai raga tanpa nyawa, kini mereka lebih tampak seperti patung yang diberi keistimewaan untuk menghembuskan nafas. Pemuda yang duduk dibelakang kemudi — Jungwon — menghapus bulir air yang menetes dari matanya. Hatinya penuh, terasa begitu sesak dan menyakitkan. Mata bulatnya melirik ke arah kiri, dipandanginya pemuda yang selalu mengenakan topeng ksatria itu. Hari ini Ia tampak berbeda. Topeng telah terlepas, tergantikan dengan raut yang sarat akan pilu.
Satu tangan Jungwon melepas kemudi lalu bergerak menggenggam tangan Jay yang masih terhubung dengan selang infus. Berusaha menyalurkan sedikit kekuatan. Sedikit, hanya sedikit. Karena pada dasarnya Jungwon tahu, tidak ada manusia yang akan baik-baik saja ketika dihadapkan dengan kehilangan. Begitupula dia.
Jungwon tidak pernah menyangka akan bertemu Kastara dalam interpretasi seperti ini. Atau jika Jungwon diberikan kesempatan untuk memilih oleh Yang Maha Kuasa, maka Ia akan menolaknya. Kastara yang saat ini berada dalam mobilnya, tidak seperti Kastara yang biasanya. Mereka bertiga. Bertiga. Mereka tidak seperti sekelompok pemuda yang suka melempar gurau, mereka tidak seperti sekelompok pemuda yang suka berbagi tembakau, mereka tidak seperti sekelompok pemuda yang selalu melengkapi barisan siswa teladan — telat datang pulang duluan. Mereka tidak seperti sekelompok pemuda yang sedang berjuang demi masa depan, mencoba keberuntungan dengan membangun kafe atas nama Kastara.
Mereka tidak seperti Kastara.
Kehilangan satu prajuritnya membuat Kastara seperti kehilangan nyawa dan tak lagi hidup.
Ingatan Jungwon terpental pada pukul tiga pagi tadi. Dimana teriakan, isak tangis, dan sumpah serapah tumpah jadi satu atas nama penolakan untuk berpisah. Masih hangat dalam ingatan Jungwon bagaimana Jay, Jake, dan Sunghoon meraung dengan hebat. Tidak terima bahwa salah satu temannya, dia yang paling mereka sayang kini harus berselimut tanah dan menyatu dengan bumi.
Isakan itu pecah kala pertanyaan sederhana seperti, “Heeseung mana?” terjawab hanya dengan sebuah gelengan. Sebuah gelengan yang diikuti dengan jawaban, “Heeseung udah tenang disana.”
Sulit dijelaskan dengan kata, bahkan tidak ada kata yang dapat menjelaskan betapa dalamnya lubang yang tertinggal di hati akibat hilangnya sang sahabat. Sebuah lubang yang sampai kapanpun tak akan mampu untuk tertutup.
Jake menghiraukan tangannya yang masih tersambung dengan selang infus. Tembok rumah sakit menjadi sasaran amarah, pukulan-pukulan mendarat disana. Nafasnya memburu, wajahnya memerah, dan jejak air mata terlukis jelas dipipi. “BEBAL ANJINGG BANGSAT ANJINGGGG!!”
Tidak ada yang berniat untuk menahan. Lebih tepatnya, tidak ada yang mampu untuk menahan. Jay dan Sunghoon terduduk lemas pada hospital bed mereka. Mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.
Segalanya terasa begitu cepat bagi Jay. Beberapa saat yang lalu Heeseung masih bersamanya. Mereka mengelilingi kawasan Festival Budaya lalu berhenti tepat pada Booth Japan atas permintaan Heeseung yang ingin berfoto dengan cosplayer wanita dua dimensinya, Mikasa Ackerman. Beberapa saat yang lalu Heeseung masih melemparkan candaannya tentang pertemanan yang setipis kertas HVS. Beberapa saat yang lalu Heeseung masih mengeluhkan perihal kanan kiri jangkauan matanya yang hanya menangkap sepasang insan memadu kasih atas nama romansa.
Beberapa saat yang lalu Heeseung berpamian untuk pergi ke kafe Kastara, bukan ke tempat Sang Pencipta.
Dan sekarang disinilah mereka berada. Rumah terakhir Heeseung, rumah yang akan menjadi tempat tinggal badan yang selalu mereka peluk itu. Rumah yang akan menjadi saksi kala kulit terlepas dan terurai oleh tanah.
Isak tangis yang semula mati-matian mereka tahan saat diperjalanan akhirnya pecah sudah. Pecah tepat di muka makam dengan nisan yang terukir nama Lee Heeseung, tanda kepemilikan tanah dengan lubang sedalam lima puluh centimeter itu.
Perlahan tanah mulai menutup lubang tersebut bersamaan dengan hilangnya peti Heesung dari jangkauan mata.
Siang itu langit mendung. Bahkan bumantarapun bersikap sopan dengan menyembunyikan sang surya. Ia turut berduka dan memberikan pengakuannya pada anak manusia hebat yang telah gugur dengan penuh hormat.
Jay, Jake, dan Sunghoon jatuh tersungkur di atas gundukan tanah milik Heeseung. Kali ini mereka berkumpul kembali. Dengan Heeseung yang berada di bawah tanah — terjebak dalam peti, dan tiga lainnya di atas tanah — terjebak dalam sakit hati.
“Pertemanan kita gak setipis kertas hvs ‘kan?” ujar Jay ditengah isakannya sambil meraba nisan Heeseung. Ia tidak pernah menyangka bahwa Kastara akan mengalami hal seperti ini. Masih banyak cita dan mimpi mereka yang belum terwujud. Segala angan yang tercipta melalui obrolan pukul tiga pagi kini seperti hanya tinggal kenangan. Segenap rutinatas yang selalu mereka lakukan bersama akan menjadi sejarah yang tertulis di atas kertas.
Sunghoon merangkul pundak teman temannya lalu mereka membentuk sebuah lingkaran kecil yang mengelilingi nisan Heeseung. Bersama-sama mereka bertiga memanjatkan doa dan permohonan agar sahabatnya mendapatakan segalanya yang lebih baik daripada yang telah dunia berikan.
Kastara, begitulah orang-orang memanggil namamu.
Empat orang pemuda yang bertemu atas garis hidup.
Lalu bersatu dan membentuk sekutu,
Saling memberi dan mengasihi.
Merangkul dan berdiri sama tinggi.
Jay menatap mata temannya satu persatu, “Kastara itu empat. Dan sampai kapanpun akan selalu empat. Gak peduli ada yang di bawah tanah atau di atas langit, Kastara akan selalu menjadi empat.”
Teruntuk jiwa yang telah pergi,
Selamat bergabung dengan bumi.