Shei
3 min readOct 16, 2023
“Tenang, tenang. Tenang saja, Biru.”

Laut Biru: Biru

— 01.3

Jancok i cah bisu kakean gaya!

(Jancok anak bisu kebanyakan gaya!)

Juh! Goro-goro koe aku disidang BK. Bisu we sok-sokan.

(Juh! Gara-gara kamu aku disidang BK. Bisu aja sok-sokan)

Gerombolan itu berdiri, berkumpul mengelilingi Biru yang duduk meringis memegangi perut yang nyeri.

Tadi, sebelum mereka di sini, Biru sudah dipukul dan dimaki sana sini , buat Biru yang rapi jadi kacau sekali— tinggalkan nyeri yang merambat sampai ulu hati, pun pedihnya sampai buat Biru ingin menangis.

Kerah putih seragamnya ditarik kuat sampai tubuh Biru terhuyung ke depan. Bertumpu pada lutut yang ngilunya sampai kepala. Biru dipaksa bertumpu pada kaki yang lemas—wajahnya ditampar keras sampai bercap–kan telapak tangan berwarna merah, berdenyut-denyut panas rasanya, pun sudut bibirnya sudah berdarah. Berkali-kali ditampar, kanan-kiri sambil ditertawakan.

Tamparan pertama, kanan. “Bisu i menengo wae, ora usah kakean cangkem. Maksudmu ngomong guru nek aku nyolong ke opo, su?

(Bisu itu diem aja, nggak udah kebanyakan mulut. Maksudmu ngomong ke guru kalau kalau aku mencuri itu apa, su?)

Tamparan ke dua, kiri. “Kurang wingi leh ku ngantemi raimu?

(Kurang kemarin aku mukulin mukamu?)

Tamparan ke tiga, kanan lagi. “Kurang bonyok awakmu ngasi wani nantang aku?

(Kurang babak belur badanmu sampai berani nantang aku?)

Tamparan ke empat, kiri lagi lalu mereka berhenti, tapi bukan yang terakhir.

Dalam hati pun Biru juga tertawa — tertawakan betapa pasrahnya dia ketika dirundung para bajingan yang kini sedang meninju rahangnya keras yang kemudian tinggalkan tubuh kesakitan Biru begitu saja.

***

Semenit lalu ia diberi kabar, tapi dia sudah terlambat. Berlari tergopoh-gopoh dari lantai tiga sampai belakang sekolah tidak ada gunanya karena Semeru terlambat datang selamatkan Biru dari tinjuan. Dia terlambat dan datang ketika para bajingan itu sudah puas pukul adiknya sampai kacau raganya. Semeru peluk tubuh Biru yang lemas, sesekali coba pegang memar di wajah yang buat dia meringis tertahan. Pelan-pelan Semeru coba bawa Biru ke punggungnya lalu beranjak ke dalam menuju UKS yang semoga saja belum dikunci oleh dokter yang berjaga.

Samar, Semeru rasakan gerakan kepala Biru yang sentuh lehernya. “Ayo ke UKS dulu, aku obati lukamu,” ujar Semeru dijawab rematan di bahu.

Semeru menoleh menatap Biru, lontarkan senyum lalu berkata, “Tenang aja, nanti aku bakal bilang ibu kalau aku sengaja ajak kamu tawuran.”

Bersama langkah kaki Semeru yang terus menapaki lorong panjang sekolah, dahi Biru berkerut tanda tidak setuju. Tangannya bergerak, telunjuknya menulis kalimat di punggung Semeru untuk dibaca dan dirasa.

Jangan. Aku kasihan lihat ibu marah-marah setiap hari.

“Nggak apa-apa, ibu marah artinya masih sayang.”

Telunjuk Biru bergerak lagi. “Ada bapak.”

Sejenak, langkah Semeru terjeda. Dia menoleh ke belakang untuk lihat wajah Biru yang kacau babak belur tak karuan. “Tenang, ada aku yang bakal jaga kamu sama ibu kalau bapak main tangan.”

Dan langkah kaki kembali menapak. Terkadang, ingin sekali Biru gantikan Semeru untuk lindungi mereka dari marahnya bapak yang selalu main tangan. Biru ingin sekali gantikan Semeru yang selalu jadi samsak tinju bapak ketika kalah berjudi di luar sana. Biru ingin berguna juga, tapi Semeru selalu paksa Biru menjauh — selalu mendorong Biru sampai jatuh ke pelukan ibu yang menangis tersedu.

Terkadang, Biru bingung. Kenapa ibu mau menikahi pria bajingan seperti bapaknya dulu?

***

— panglimajaemin, 2023.