Kupu-Kupu Merah Jambu

Can
4 min readMar 9, 2024

Setelah membereskan meja makan dengan sisa-sisa kardus pizza, Nindy beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Sementara Marsha, membawa kardus pizza itu keluar rumah untuk di letakkan pada tong sampah besar berwarna biru yang ada di depan pagar rumahnya. Kaleandra, anak itu sudah melipir ke ruang Tv, melanjutkan tontonannya yang terhenti ketika makan malam bersama tadi. Detik berikutnya Nindy juga ikut mendudukkan diri di samping Kaleandra. Namun, belum sempat gadis itu menyamankan posisinya— berniat untuk menonton film. Marsha menepuk pundaknya lembut.

“Ke kamar, yuk. Aku mau ngomong sesuatu."

“Bucin terus!! Bucin terusss." sindir Kaleandra nyaring.

“Apa sih, Kal? Iri aja." cibir Nindy.

“Jangan macem-macem. Awas!!"

“Enggak." sahut kedua temannya serempak.

Kamar marsha memang selalu remang seperti ini, sebab laki-laki itu tidak terlalu menyukai cahaya terang. Lampu LED warm white menghiasi plafon kamarnya yang di pasang menyesuaikan bentuk plafon. Hanya itu penerangan yang ada di kamar Marsha, selebihnya ada lampu kerja di meja kerjanya, itupun dinyalakan ketika Marsha sedang mendudukkan diri disana. Marsha beringsut, naik ke kasurnya dan masuk kedalam selimut. Menyandarkan sebagian tubuhnya pada sandaran dipan kasur.

“Katanya mau ngomong, kok malah rebahan?" tanya Nindy dengan alis berkerut, ia masih berdiri di samping kasur Marsha.

“Kan ngomongnya bisa aja sambil rebahan. Sini, samping aku." Marsha menepuk tempat kosong di sampingnya, tangannya terentang siap menyambut Nindy dalam pelukan.

“Bilang aja mau cuddle, segala alasan mau ngomong sesuatu." walau mengoceh, gadis itu tetap menurut naik ke kasur dan menempatkan diri tepat dalam dekapan Marsha.

Marsha memeluk gadisnya, mengecup kening itu singkat, "Udah lama aku enggak peluk kamu kaya gini."

Lama mereka terdiam, hanya memainkan, lalu menautkan jari masing-masing. Berulang-ulang. Tidak ada di antara keduanya yang ingin memulai percakapan. Cukup seperti ini saja mampu membuat irama jantung mereka terdengar di telinga masing-masing. Sampai dimana Nindy mendongak hanya untuk sekedar menatap sang kekasih. Seyumnya mengembang membuat Marsha juga ikut tersenyum.

“Kenapa kok senyum-senyum gitu, sih?"

“Kamu kalo di lihat dari dekat gini, ganteng juga. Terus aku baru tau kalo kamu punya mole di sini." Nindy menunjuk tepat mole Marsha yang berada di pipi sebelah kirinya.

Selama sembilan tahun berteman, ini adalah kali pertamanya Nindy menatap laki-laki asal Kalimantan itu dengan jarak dekat. Sehingga membuat segala hal yang ada di wajah Marsha sangat jelas. Bahkan sepasang manik hitam itu jauh lebih dalam dari samudera ketika menatapnya.

Marsha tersenyum, mencubit hidung bangir Nindy gemas, "Aku juga baru tau kalo kamu punya mole disini, cantik. Aku suka." Marsha mengecup singkat pangkal hidung Nindy.

Nindy tertawa geli, ketika kecupan singkat itu Marsha berikan, "Kamu tau, nggak? Ini baru numbuh setahun yang lalu."

“Oh, ya? Kok bisa gitu?" sahut Marsha penasaran.

“Ya bisa aja, Sha. Aku punya banyak mole di badan aku yang dulunya enggak ada, sekarang ada."

“Kaya yang ini? Seingat aku dulu juga nggak ada." sahut Marsha menunjuk jempol tangan Nindy.

Nindy mengangguk. Memperhatikan titik hitam di jempol tangannya. Bahkan hal kecil yang tidak penting pada dirinya, Marsha tahu. Membuat senyumnya kembali mengembang.

“Oh iya, aku punya sesuatu buat kamu." Marsha bangun, bergerak ke samping lalu membuka laci meja nakas samping kasurnya. Mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak dengan bahan beludru berwarna pink.

Here." Marsha menyerahkan kotak beludru berwarna pink itu kehadapan Nindy.

Dengan mata berbinar gadis itu menyambutnya, "Wahhh!! Apa ini?"

Nindy membuka kotak beludru berwarna pink itu. Netranya di sambut oleh sebuah kalung berwarna rose gold dengan kupu-kupu berwarna senada sebagai buahnya.

Cantik.

Sangat cantik. Bahkan kupu-kupu itu terlihat berkilauan di mata Nindy.

“Sha.... ini?" jemarinya membelai buah kalung, masih takjub akan cantiknya kupu-kupu merah jambu itu.

“Iya. Itu kalung yang dulu pernah aku kasih tunjuk ke kamu.” Marsha menatap gadisnya, “Kamu suka?"

Kalung yang Marsha berikan untuk Nindy nyatanya sudah tersimpan selama lima bulan di laci meja nakas kamarnya. Kalung yang Marsha yakin akan sampai pada pemiliknya. Kalung yang Marsha yakin akan sangat cantik bila di pakai gadisnya. Selama lima bulan pula, Marsha selalu memikirkan cara bagaimana ia harus memberikan hadiah manis itu untuk Nindy.

Nindy tersenyum, lalu menoleh pada Marsha yang juga tersenyum padanya, "Ini buat aku?"

Of course. It’s yours."

“Terimakasih."

Nindy memeluk kekasihnya, Marsha menyambutnya sembari mengelus surai Nindy lembut.

“Mau aku pakein?"

“Boleh."

Nindy memutar badannya membelakangi Marsha. Mengumpulkan rambutnya agar memudahkan Marsha untuk memakaikan kalung itu di lehernya.

“Selesai."

Detik berikutnya Nindy memutar tubuhnya menghadap Marsha, "Gimana?"

“Cantik." Marsha tersenyum.

Jika ia bilang cantik, itu memang cantik. Tidak ada kebohongan dalam kata-katanya. Sekali lagi Nindy tersenyum, mengucapkan terimakasih kepada Marsha yang telah memberikan hadiah yang begitu indah untuk dirinya.

--

--