Review The Architecture Of Love

avidwintari
2 min readMay 5, 2024

People say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the title more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in love in the city.

Raia, seorang penulis yang sedang mengalami writers block meyakini New York adalah kota yang tepat untuknya menggali inspirasi untuk kembali menulis. Memandangi bangunan-bangunan indah di New York, berjalan kaki dari Brooklyn sampai Queen. Mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan satu-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Setelah semua hal yang dia lakukan seakan belum cukup untuk membuatnya dapat mengetikkan entah bahkan satu kalimat pun. Sampai ia akhirnya bertemu dengan River, seorang arsitek yang juga mengalami kekosongan dalam dirinya. River mengajari Raia untuk melihat New York dengan cara yang berbeda.

River dan Raia memiliki masa lalunya masing-masing. Mereka sama-sama mencari yang hilang dalam diri mereka, berusaha memulihkan luka.

“You know what is wrong about always searching for answers about something that happened in your past? It keeps you from looking forward. It distracts you from what’s in front of you” (page 250)

What I love about the book? Everything. Aku suka River yang seorang arsitek, karakternya yang agak tertutup, bijak, cerdas, tapi juga tidak mudah membuka hati. Aku juga suka Raia, yang mudah excited pada hal yang dia sukai, easygoing, sensitif. Aku suka caranya Ika Natassa menuliskan tentang kehilangan dan bagaimana perasaan berdamai dengan itu menjadi amat menakjubkan dalam setiap lembar halamannya.

Arsitektur bukan sekadar tentang matematika, seni, dan konstruksi. Arsitektur juga perkara perasaan. Bagi River, keberhasilannya tidak dinilai dari desain dan estetika bangunan. A structure also has to invoke a certain kind of feelings.

--

--