hold on to the memories, they will hold on to you.

Alissa.
13 min readJan 5, 2024

--

tags: major character death, grieving, loss of loved ones.

nakamura kazuha as karisma utari

hong seunghan as atmaja prasetya

saat mendengar kabar bahwa para tahanan pemerintah sudah dibebaskan, aku dan teman-teman menunggu dengan rasa was-was. kami was-was bahwa ini hanya kebohongan yang ditujukan untuk menjebak kami, pemberontak yang belum tertangkap. tapi ketika agus memberi tahu bahwa tetangganya yang ditangkap tujuh bulan lalu sudah kembali pada keluarganya, kami kegirangan bukan main.

karis, faza, dierja, mbak hanum, raja, dan bima adalah segelintir dari kami yang berhasil ditemukan oleh para bajingan itu. mereka ditangkap di waktu yang berbeda kecuali karis, faza, dan dierja. aku ingat betul waktu itu mereka sedang pergi untuk mencetak selebaran, namun tidak satupun dari mereka kembali. aku juga ingat rasa sesal yang menguasaiku berbulan-bulan karena tidak ikut bersama mereka bertiga kala itu. tapi yang paling aku ingat adalah betapa nelangsanya aku yang ditinggal tanpa kabar oleh karis, pacarku.

aku dan karis bertemu tepat tiga tahun lalu—ya, hari ini, tiga tahun lalu—di kampus kami yang kini sudah tidak terlihat seperti kampus yang layak. siang itu, aku sedang membaca surat kabar harian di tepi koridor ditemani oleh faza yang merupakan kakak tingkat sekaligus teman pertamaku di sini. surat kabar hari itu cukup menarik, berisi tentang kabar hilangnya pesawat yang terjadi secara cukup misterius. aku sangatlah terpaku dalam tulisan sampai satu suara lembut menyapa pendengaranku.

"siang mas faza," kata suara tersebut. aku seketika melupakan bacaan di genggamanku dan melihat ke arah gadis yang baru saja menyapa teman di sebelahku. rambutnya yang hitam legam dibiarkan terurai, kedua matanya yang menyipit karena senyumnya, dan senyumnya—oh, senyumnya—yang membuat lututku lemas seketika. mataku terus mengikuti geraknya hingga ia hilang ditelan jarak. saat aku yakin dia sudah tidak terlihat, aku menoleh ke arah faza yang masih sibuk menulis di buku kecilnya. selama beberapa bulan aku mengenalnya, tidak sekalipun aku pernah melihat dia bersama perempuan tadi.

"siapa, za?"

"adek gue," jawab faza yang masih saja fokus dengan bukunya. adik? sejak kapan dia punya adik?

"adek? emang lu punya adek?" setelah aku membandingkan wajah faza dengan wajah perempuan tadi, aku tidak menemukan kesamaan sedikitpun.

"bukan adek kandung, gue nganggep dia adek. kenapa sih?"

"cantik," entah apa yang ada di pikiranku sampai bisa terang-terangan seperti itu, tapi syukurlah aku mengatakannya, karena berkat itu, aku berhasil mendapatkan sedikit informasi tentang "adik" faza.

"karisma utari. jurusan sejarah. kalau mau deketin, bilang gue dulu," faza melihatku dengan tatapan yang sepertinya serius. aku hanya mengangguk dan kembali ke surat kabarku, pura-pura menyibukkan diri dalam kabar-kabar yang kini tidak terlihat begitu menarik setelah aku melihat karisma utari.

semenjak saat itu, aku mulai mencari tahu tentang dirinya tanpa sepengetahuan faza. ada satu saat aku pergi ke toko buku loak untuk mencari buku arti nama-nama dan di situlah aku menemukan arti namanya. karisma yang artinya pemimpin dan utari yang artinya cahaya. jika digabungkan, bisa menjadi "seorang pemimpin yang memberikan cahaya". aku suka itu. walau penggabungan arti nama itu hanya akal-akalanku saja, itu sudah cukup untuk membuatku kesana-kemari mencari informasi lain tentang karisma.

ada juga satu waktu ketika aku sudah cukup lelah mencari informasi tanpa sumber pasti, aku justru menemukannya sedang duduk di anak tangga paling bawah. sejenak aku berpikir untuk membiarkannya saja, tapi kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. aku dan segenap rasa percaya diri yang berhasil aku kais dalam diriku akhirnya bergerak pelan ke arahnya dan ketika dia menyadari kedatanganku, ia tersenyum seperti sedang menyambut orang yang ia lama kenal, walau rasa bingung masih bisa ku deteksi dari raut wajahnya.

"halo. aku atmaja, kamu boleh panggil maja. aku jurusan sastra indonesia. boleh kenalan?" hatiku yang berdegup kencang dan keringat yang mengalir pelan di dahiku pada akhirnya aku korbankan demi tawaran berkenalan yang lancar. tanganku aku julurkan ke arahnya, berharap untuk digenggam.

"aku karisma, panggil saja karis. aku jurusan sejarah. emm, kamu yang sama mas faza ya waktu itu?" seperti tanpa ragu, karisma berdiri dari duduknya dan membalas tanganku dengan genggaman erat namun nyaman. rasa kebahagiaan yang membuncah dalam diri karena karisma yang masih mengingatku itu masih bisa kurasakan sampai saat ini. mungkin di mata karis waktu itu, aku terlihat bodoh, tersenyum dari telinga satu ke telinga yang lain. tapi, jikalau bisa, akupun mampu melakukan lebih dari tersenyum seperti orang gila saking senangnya.

"oh iya, aku temennya, temen satu komunitas juga,"

"pramuraya? aku baru gabung loh. udah bilang mas faza juga dan katanya udah boleh ikut pertemuan. kapan sih pertemuan selanjutnya?" dan semenjak saat itu, kita menjadi semakin dekat. cara berpikirnya yang tidak jauh beda dariku memudahkan setiap percakapan kami. di setiap pertemuan kami, aku juga dapat melihat sisi baru dari karisma yang ternyata membuatku semakin menyukainya.

beberapa bulan setelah kita mulai berteman, akhirnya aku memantapkan niatku untuk mengajaknya berkencan. aku sudah bicara dengan faza soal ini dan untungnya dia mendukung, tak lupa juga dengan wejangan darinya yang sangat panjang namun masih aku ingat hingga kini.

tibalah kita pada suatu sore di hari minggu. aku dan karis sedang duduk di kursi plastik di dekat tukang kopi keliling. mungkin memang bukan lokasi yang sangat romantis untuk menyatakan perasaan, tapi menurutku yang paling penting adalah tekad.

"karis, kamu—aku suka kamu," awalnya, aku berniat untuk memberikan paragraf panjang tentang betapa kagum aku dibuatnya, tapi lidah dan otakku sepertinya membenciku.

"kamu pintar. kamu cantik. a—aku suka cara berpikirmu. aku juga suka setiap kita makan mie yamin bareng dan kamu gak pernah mau pake kecap. aku suka setiap kamu nyapa orang yang kamu kenal di jalan. aku suka setiap kamu konsentrasi kalau lagi baca. aku suka rekomendasi buku dari kamu. aku suka senyum kamu yang selalu bisa bikin aku juga senyum. aku suka kamu yang selalu ngusap kucing di jalan. aku suka setiap kali ikut kamu cari objek untuk difoto. foto-foto kamu—aku suka. aku. suka. kamu." aku sebenarnya bisa mengatakan lebih dari itu, tapi itu saja cukup membuatku kehabisan napas. terlebih dengan wajah karis yang masih terlihat kaget, semakin membuat napasku berat. aku takut. aku takut dia tidak merasakan yang sama dan aku malah merusak persahabatan kami. tapi ketika otakku sudah memikirkan semua kemungkinan buruk, tanganku tiba-tiba digenggam oleh karis dan semua pikiran buruk seakan hilang ditiup angin.

"aku juga suka sama kamu maja," dan di situlah kisah cinta kami dimulai. semenjak hari itu juga aku jadi memiliki semangat tambahan untuk hidup. setiap bangun di pagi hari, aku selalu bersyukur karena karis adalah pacarku. setiap aku putus asa dan berpikir bahwa kita akan terus hidup di bawah tirani seperti ini, ada karis yang menghampiriku dan memberikanku harapan. dalam setiap kegiatanku, aku bersyukur karena ada karis di sisiku. jadi, bisa ditimbang bagaimana sengsaranya aku yang sekarang, aku yang sudah lima bulan ditinggal karis.

tapi hari ini, itu semua akan berubah. para tahanan akan dibebaskan dan aku akhirnya bisa bertemu lagi dengan karis. aku akhirnya bisa merasakan karis di dekapanku lagi setelah sekian lama. sejak kabar tersebar, sebenarnya aku sudah merencanakan kencan pertama kami setelah lima bulan. kita akan pergi ke kota tua, lalu berkeliling kota dengan motorku yang karis sangatlah sukai walau sudah tua dan sering mogok di tengah jalan. aku sudah merencanakan semuanya.

aku dan anggota pramuraya lainnya kini sedang menunggu teman-teman kami dengan perasaan tidak sabar. rasa senang dalam diriku sudah tidak bisa ditampik lagi.

tiga jam sejak kabar disebarkan, tidak satupun dari teman kami datang. aku dan yang lainnya kembali khawatir dan gelisah. nanda, salah satu dari kami, bahkan sudah beberapa kali menghubungi informannya di penjara. informan itu berkata bahwa semua tahanan sudah bebas, tapi itu tidak cukup untuk membuat hati kami tenang. doa-doa mulai kurapalkan dalam hati, berharap semuanya bisa kembali dengan selamat. tidak satupun dari kami mampu melakukan apa-apa selain berdoa dan berharap untuk sekarang.

tepat pukul sembilan malam, terdengar ketukan pintu dari pintu depan. aku yang sedari tadi fokus dalam doaku langsung tegap. itu pasti mereka. tanpa menunggu yang lain, aku bergegas menuju pintu dan menyambut siapapun yang ada di depan dengan hati yang rasanya ingin meloncat keluar.

ketika pintu kubuka, aku melihat bima, sendirian. kenapa dia sendirian? bagaimana dengan yang lain? bagaimana dengan karis? rasa takut dan bingung mulai menyergapku dengan segera kala aku merasakan yang lainnya berkerumun di belakangku. rasa antusiasku sebelumnya sirna ditelan rasa cemas. seharusnya mereka semua kembali bersama, bukan?

"bima!" seru neti yang ada di belakangku. ia mendahului diriku yang berdiri seperti patung dan memeluk bima, lalu diikuti yang lain. tubuhku yang terdorong tidak juga membangunkanku dari pikiran burukku. begitu pula dengan ekspresi bahagia di wajah teman-temanku. pikiranku berkecamuk, memikirkan segala kemungkinan yang terjadi dan semua kemungkinan baik sialnya berhasil dikalahkan oleh mimpi-mimpi buruk yang selama ini menjamah alam bawah sadarku.

"karis dan yang lain dimana... bim?" suaraku yang pelan dan terdengar gemetar ternyata berhasil membuat yang lain terdiam. kini mereka semua memiliki ekspresi yang sama denganku. suasana yang awalnya ceria dan meriah kini kembali suram dan mendung.

"lah yang lain belum kesini toh? aku gak tau. aku gak satu penjara sama mereka. mungkin jadwal pembebasannya beda," kata bima yang sepertinya mencoba menenangkan kita. mungkin dia benar, mungkin berbeda-beda di setiap penjara. tapi, berita pembebasan ini disebarkan di televisi nasional, pasti ini terjadi serentak. kedua kubu di otakku mulai berperang dan aku bisa merasakan tubuhku menjadi lemas setiap detiknya.

"iya, ja. kita tunggu sampe besok ya," kata nanda yang menghampiriku dan mengelus punggungku. besok? bagaimana kalau terjadi sesuatu pada mereka malam ini dan kita hanya diam saja? bagaimana kalau kita sebenarnya bisa menolong mereka tapi kita malah menunggu besok?

dengan pikiran yang kacau, aku memutuskan untuk berlari keluar dan pergi dengan motorku. yang lainnya mencoba untuk menghentikanku tapi aku tidak bisa menunggu, aku tidak bisa membiarkan kemungkinan—sekecil apapun—bahwa karis sedang di luar dan meminta pertolongan.

malam itu, aku mengitari jakarta, sekaligus menyambangi daerah sekitar rumah karis, karena mungkin dia pulang ke rumahnya. tapi ketika melihat rumahnya yang redup walau dengan pencahayaan memadai, aku tahu bahwa di sana tidak ada karis. karis adalah cahaya. dia bisa menyinari suasana segelap apapun, jadi tidak mungkin karis berada di suatu tempat yang begitu sunyi dan mati.

akhirnya pada pukul tiga pagi, aku kembali dengan perasaan hampa dan takut. apa karis juga sedang setakut ini?

kepulanganku ternyata disambut oleh nanda yang ternyata masih duduk di depan pintu. nanda adalah sahabatku dan faza bahkan sebelum adanya pramuraya. bodohnya aku tidak memikirkan perasaan nanda akan absensi faza. aku duduk di sampingnya dalam diam. kami tidak bertukar cakap sampai lima menit kemudian.

"lu kok gak ngajak gue, ja? gue kan juga mau nyari mereka,"

"maaf nan, gue tadi lagi kalut banget," jawabku, tanpa membalas tatapannya padaku.

"gue yakin mereka balik, ja. lu percaya kan sama mereka? percaya kan sama karis? karis kuat, ja, dia hebat. dia aja bisa ngebales polisi-polisi pas demo pertama kita," aku tersenyum mengingatnya. karis memang hebat, aku harusnya percaya padanya. karis pasti kembali. besok karis pasti kembali.

namun seminggu setelah kembalinya bima, tidak ada kabar satupun mengenai mereka yang belum kembali. perasaanku semakin gelisah. tidur malamku maksimal tiga jam, sisanya aku gunakan untuk mengharapkan keselamatan karis dan yang lainnya. selama seminggu ini aku dan anggota lain sudah kesana kemari membawa poster dengan wajah karis dan teman-teman yang belum kembali. kami berkeliling menanyai satu per satu orang yang kami temui dan menempelkan poster-poster di setiap tiang listrik, tembok, dan area-area yang bisa kami tempeli lainnya.

hari ini aku kembali lebih telat dari yang lain karena keinginanku untuk berkunjung ke daerah menteng yang merupakan tempat aku dan karis sering datangi untuk berkencan. terutama di taman menteng. kami sering sekali ke sana. selain karena tempatnya yang teduh, banyak juga jajanan enak yang bisa memuaskan perut.

sesampainya aku di taman menteng, aku menghampiri bapak penjual batagor, dia sudah tua, sudah ringkih, tapi batagornya tetap menjadi yang paling enak sejauh pengalamanku. karis biasanya memesan satu setengah porsi saking enaknya, tidak lupa kecap yang menurutku terlalu banyak dan sedikit saus sambal. ia selalu menghabiskan batagornya hingga tidak ada satupun remah di piring. aku tidak bisa menahan senyum setiap mengingat memoriku bersama karis. hebatnya dia. bahkan tanpa dia disini, dia bisa membuatku tersenyum untuk pertama kalinya setelah seminggu.

ketika batagorku selesai, aku segera melahapnya hingga tidak ada yang tersisa. ini adalah makanan berat pertamaku semenjak kembalinya bima. nafsu makanku turun drastis dan rahangku tidak ada semangat untuk mengunyah. jika karis tahu ini, ia pasti marah. ia selalu marah ketika aku terlambat makan. maafkan aku ya, karis.

lapangan di hadapanku menarikku kembali pada memori ketika aku membelikan karis sebuah balon. ketika aku tanya untuk apa, katanya ia suka saja dengan balon. sepanjang kencan kami, balon itu tidak pernah lepas dari genggamannya. tapi sebelum pulang, ia memberikan balon tersebut kepada seorang anak yang sedang duduk sendirian. wajah anak itu seketika bersinar ketika mendapatkan balon berwarna kuning itu. karis memanglah sebuah cahaya. sebuah cahaya yang tidak segan membagikan cahayanya pada yang lain.

kini di sekelilingku tidak begitu banyak orang. hanya ada beberapa anak kecil dan beberapa pasangan muda yang sedang menikmati malam minggu. kini semua orang sudah hidup dengan bebas. negara kami sudah menjadi negara demokratis dan kami tidak perlu takut lagi terhadap pemimpin kami. tapi, apakah karis, faza, dierja, mbak hanum, dan raja juga sudah bebas?

hanyut dalam lamunan, tanpa kusadari, lapangan di depanku yang semula kosong tiba-tiba diisi oleh anak-anak, banyak sekali, entah kapan mereka sampai. kalau ada karis, dia pasti sudah ikut bermain dengan mereka. karis itu sangat menyukai anak-anak, katanya karena dia adalah anak bungsu dan dia selalu ingin memiliki adik. katanya juga anak kecil itu polos dan tidak bisa bohong—aku tidak percaya akan hal ini—jadi dia lebih menyukai anak kecil ketimbang orang dewasa.

ketika aku masih memikirkan tentang karis, wewangian yang begitu familiar menyusup masuk ke indra penciumanku. ini wangi sabun susu kambing yang biasa dipakai karis. kepalaku dengan terburu-buru menengok kesana-kemari, namun tidak menemukan apa-apa. akhirnya aku berdiri dan memutuskan untuk mengitari taman ini, mencari sumber wewangian tadi, siapa tahu itu adalah karis.

setelah lima kali berputar-putar dengan napas yang sudah tersengal, aku belum bisa menemukannya. mungkin aku berhalusinasi, atau mungkin itu wangi orang lain yang menggunakan sabun susu kambing.

"maja...," ucap seseorang saat aku sedang mengelap keringat yang masih bercucuran.

"nan? ngapain lu di sini?"

"gue... gue barusan baru dapet kabar soal karis, faza, sama dierja lewat aceng yang temennya satu sel sama mereka," ini dia. keringat yang semula sudah hilang tiba-tiba kembali bercucuran, aku mengepalkan tanganku keras-keras, sampai rasanya telapakku akan berdarah karena tekanan. rasa takut yang awalnya sudah memudar kini kembali memperjelas diri.

"tapi lu yang tenang ya...," aku mengangguk kencang, perasaanku mulai tidak enak. sepertinya aku tahu apa yang akan nanda katakan dan aku belum siap kalau firasatku benar.

"mereka... udah gak ada, ja. mereka dieksekusi sama aparat dan... dan jasadnya gak tau dikemanain," buliran air mata mulai jatuh dari mata nanda, tapi entah kenapa aku tidak menangis. dadaku terasa sesak dan sempit, seperti ada yang meremasnya, tapi tetap tidak ada air mata yang keluar. kepalaku terasa pusing dan kakiku sudah seperti selembar kertas, lemah dan layu. aku menyenderkan badanku pada kursi taman, masih dengan perasaan tidak percaya. bukankah baru kemarin karis mencium pipiku setelah aku lari pagi? bukankah baru kemarin aku, faza, dan dierja tertawa karena kondisi kami yang memprihatinkan? bagaimana bisa sekarang mereka sudah tidak ada? mengapa ketika yang lain merasa bebas, kalian masih tertahan? aku hanya terdiam di depan nanda yang masih menangis. pemandangan nanda yang sedang menangis adalah pemandangan terakhirku sebelum semuanya berubah gelap.

saat aku membuka mata, aku seperti ada di dimensi yang berbeda. aku sedang berada di kos dan di depanku hanya ada satu orang yang sedang membaca sesuatu dari surat kabar dan dua orang yang mendengarkannya dengan seksama.

"karis? faza? dierja? kalian ada di sini?" tapi tak satupun dari mereka yang menoleh. aku menyeret diriku maju dan mencoba untuk menyentuh karis, tapi yang bisa aku rasakan hanyalah angin dingin. aku tidak bisa menyentuhnya. rasa panik mulai membanjiri seluruh indraku.

"karis! karis! faza! dierja! gue disini!" tetap tidak ada balasan.

aku pun beranjak dan memosisikan diriku di sebelah karis. saat kulihat wajah mereka bertiga, senyum yang terasa damai sudah terukir di sana. mereka terlihat bersih, tanpa ada noda sedikitpun di baju dan badan mereka. luka bakar yang sebelumnya dimiliki dierja di tangan kirinya sudah tidak tampak, begitu pula dengan jahitan yang ada di dagu karis. mereka tampak sempurna. dan hal itulah yang meyakinkanku bahwa ini tidak nyata.

aku terus memerhatikan mereka yang sedang menertawakan berita yang dibacakan faza, terutama karis, senyumnya tampak sangat lebar, dia terlihat begitu bahagia. aku rindu sekali mendengar tawanya yang merdu dan selalu berhasil membuatku ikut tersenyum. cantiknya pun tidak pudar, bahkan apa yang dia lalui berbulan-bulan tidak bisa menghapuskan keindahannya. aku ingin sekali memeluknya saat ini juga, memberi tahunya bahwa ia akan baik-baik saja, tapi aku tahu itu tidak bisa. aku mencoba untuk meraba pucuk kepalanya, tapi sia-sia. yang bisa aku lakukan hanyalah memandangi wajahnya lekat-lekat, takut bahwa ini semua akan segera berakhir. lesung pipi yang nyaris tidak terlihat, giginya yang rapi, matanya yang menyipit, bahkan tahi lalat kecil di dagunya, semuanya aku serap ke dalam ingatanku, berharap ini bisa aku ingat selama aku hidup. karis selalu indah di mataku, tapi sekarang, bahkan jika bumi dan seisinya di bentangkan di depanku, aku akan tetap memilih untuk melihat karis.

"maja, aku sayang banget sama kamu. terima kasih, ya," karis yang semula masih mendengarkan dierja tiba-tiba menoleh ke arahku. ia mendekatkan wajahnya lalu menempelkan kecupan yang hanya menciptakan sensasi dingin di pipiku. sebelum aku dapat merangkai balasan, seketika karis, faza, dan dierja hilang dari pandanganku dan akupun terbangun di kamarku.

satu tetes air mata jatuh dari pelipis. aku baru bisa mencerna dan menyadari perkataan nanda di taman menteng tadi. mereka sudah tiada dan mereka tadi datang ke mimpiku. semakin aku mengingat mimpiku, semakin deras pula air mataku. rasa kesal pada diri sendiri datang untuk kesekian kalinya, kini dengan pasukan yang lebih kuat dan aku membiarkannya menang. aku membiarkan mereka tersiksa selama berbulan-bulan, sementara aku mampu menghirup udara segar dengan bebasnya.

harusnya aku saja yang pergi waktu itu. karena kebodohanku sendiri, aku sudah tidak akan pernah merasakan hangatnya pelukan karis, tidak akan pernah merasakan bubur yang ia buat seminggu sekali, tidak akan pernah lagi bisa pergi ke museum-museum bersejarah bersamanya, tidak akan pernah lagi bisa merasakan rasanya dibanjiri cinta oleh karis. semua itu karena aku sendiri.

dadaku terasa semakin sesak, diiringi dengan tangisku yang semakin menjadi-jadi. bajuku kini sudah basah dipenuhi air mata. otakku kembali mengingat bagaimana karis masih menyempatkan diri untuk hadir ke mimpiku dan memberikan kalimat perpisahan yang membuat diriku seperti tidak bisa bernapas sekarang. bahkan di saat terakhir kita bertemu, dia masih mampu membuatku merasa disayang.

pandanganku beralih pada bingkai foto yang berada di sisi tempat tidurku. itu adalah fotoku dan karis yang bingkainya didesain oleh karis sendiri. aku meraih foto tersebut dan memeluknya. satu hal yang aku syukuri adalah aku dan karis sering sekali berfoto dan mencuci foto-foto tersebut. bahkan aku punya satu kotak berisi foto-foto kami. aku tersenyum kecil mengingat fakta tersebut.

karis, walau ragamu hilang, jiwamu akan terus hidup dalam diriku. dalam semua kenangan kita. dan aku akan selalu menjaganya agar terus hidup.

karis, hal terakhir yang bisa aku lakukan adalah mencari keberadaanmu, bahkan jika aku harus mengorbankan nyawaku. aku akan menemukanmu. dan aku berjanji suatu hari nanti, entah kapan, kita akan bertemu lagi. di tempat yang lebih baik, di waktu yang lebih baik.

karis, aku akan selalu menyayangimu. bahkan hingga akhir napasku, aku berjanji hanya akan ada namamu di hatiku.

--

--