Ki Hadjar Dewantara: Dari Montessori dan Tagore, Hingga Sistem Among

Pena Dewantara
4 min readJan 25, 2024

--

Temuan pengajaran inklusif tersemat di area aula utama Museum Dewantara Kirti Griya, disejajarkan dengan potret Maria Montessori dengan tulisan filosofinya yang berbunyi “Mendidik Anak Sesuai Kodratnya” dan Rabindranath Tagore yang mewarnai pandangan dan filosofi Ki Hadjar Dewantara dalam pengajaran dan pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara memasang foto kedua pemimpin tersebut dengan alasan keduanya dianggapnya sebagai pembimbing baru. Montessori dan Tagore merupakan pembongkar dunia pendidikan lama sekaligus pembangun aliran baru, aliran yang sejalan dengan Indonesia yaitu aliran budaya nasional.

Lahirnya Sistem Among

Ki Hadjar tertarik dengan pendekatan pendidikan baru Dr. Maria Montessori (1870–1952) yang menekankan pada nilai aktivitas mandiri anak dan pentingnya pertumbuhan anak sebagai individu. Montessori menandai pertumbuhan anak dengan indikator menuju kemandirian sebagai pelepasan berkelanjutan untuk mencapai ruang baru yang lebih besar untuk beradaptasi. Selain itu, Ki Hadjar juga tertarik dengan karya Rabindranath Tagore (1861–1941), khususnya tentang teori pendidikan yang dikembangkan bertentangan dengan gagasan pendidikan “Barat”.

Ilustrasi foto Ki Hadjar Dewantara dan foto Rabindranath Tagore. Sumber: https://news.okezone.com/read/2013/11/28/373/904226/ternyata-ki-hajar-dewantara-rabindranath-tagore-temenan-lho

Tagore mengunjungi Jawa dan Taman Siswa pada bulan Agustus 1927 dan disambut dengan panembrama yang dinyanyikan oleh anak-anak dengan diiringi gamelan yang juga dimainkan oleh mereka. Dia terkesan dan duduk di teras. Tagore menyatakan Tamansiswa mempunyai dasar yang sama dengan “Shanti Niketan”, sekolah yang didirikannya, yakni sama-sama berbasis budaya. Sementara dalam konteks makna pendidikan inklusif, filosofi Ki Hadjar Dewantara yang berbunyi “Sistem Among Tamansiswa” terpampang di dinding luar museum.

Sistem Among secara tegas mengajarkan bagaimana dalam mengajar, seorang pendidik wajib memahami watak dan kapasitas anak sebagai kodratnya serta memberikan kebebasan jiwa untuk mencapai hidup mandiri. Sistem Among merupakan metode temuan dan formulasi asli Indonesia yang bersumber dari kearifan lokal dan budaya Indonesia. Sistem Ki Hadjar Dewantara tersebut merupakan metode pendidikan yang tepat karena merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berlandaskan kepedulian dan pengabdian yang didasari cinta dan kasih.

Sistem Among menunjang fitrah anak agar dapat mengembangkan kehidupan jasmani dan rohani sesuai fitrahnya masing-masing. Pengetahuan tidak boleh dijadikan tujuan melainkan sekedar alat. Buah dari pendidikan adalah pendewasaan jiwa, yang dapat mewujudkan kehidupan dan penghidupan yang tertib, suci dan bermanfaat bagi sesama. Sesuai dengan kodratnya, pendidikan hanya dapat memelihara dan membimbing tumbuhnya kodrat tersebut.

Ki Soeratman, dkk (2011:14) menyatakan bahwa pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti, budi, dan jasmani anak dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Taufik (2016) menemukan bahwa penerapan Sistem Among dengan semboyan “Tut Wuri Handayani” adalah tujuan pedagogik, dan muatan pendidikan sesuai dengan hakikat alam dengan menggunakan metode Momong, Among, dan Ngemong.

Praktek Sistem Among

Dalam perguruan, Tamansiswa mengkondisikan situasi sekolah agar inklusif bukan hanya kepada anak-anak difabel, melainkan juga berlaku kepada keragaman gender, ras/suku, agama, status sosial, tingkat ekonomi keluarga, tingkat kecerdasan anak, perilaku/kenakalan, dan karakteristik personal lain yang melekat pada diri anak, siapapun, dari kalangan manapun, dan dengan kondisi bagaimanapun. Mereka tetap layak untuk diterima dan diajak bergaul (socially approved). Demikianlah, tercipta inklusi sosial yang bersumber dari penghapusan syarat-syarat untuk bisa berpartisipasi dalam interaksi sosial.

Melalui komunikasi dan diskusi negotiatif, guru/pamong membimbing anak untuk memahami bahwa setiap orang punya kondisi yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, dan cara pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula. Pamong sangat perlu melakukan pembimbingan ini karena, menurut penelitian Beckett (2014), jika anak-anak bukan difabel “memisahkan diri” dari anak difabel dan memandang dirinya lebih unggul, maka diskriminasi terhadap difabel akan tetap ada.

Pun demikian dengan kegagalan membentuk masyarakat yang inklusif. Pemahaman yang berhasil terinternalisasi dalam diri anak pada gilirannya menghadirkan suasana inklusif yang baik (tidak ada suasana eksklusif), sehingga anak-anak yang semula bermasalah karena kurangnya perhatian ataupun pengakuan afirmatif dari lingkungan sosialnya dapat terakomodir dengan baik.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi promotif antara siswa, yakni upaya untuk saling menolong dan saling memberi motivasi dalam belajar. Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan saling memberikan urunan dalam meraih keberhasilan belajar bersama.

Interaksi promotif pada hakikatnya sama dengan interaksi transpersonal seperti yang dikemukakan oleh Maslaw (Clark, 1983), yaitu interaksi yang didasarkan atas rasa saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga sesama makhluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika guru menciptakan suasana belajar kooperatif.

Kondisi ini menyiratkan pentingnya melakukan analisis kritis terkait anak yang hakikatnya sebagai manusia dan makhluk yang dapat dididik (animal educable) dan wajib dididik (animal educandum) dalam upaya memahami konsep pendidikan inklusif. Ki Hadjar Dewantara dengan pemikirannya terkait anak dalam konteks pembelajaran dan inklusif masih sangat relevan untuk dikaji dan digali untuk memperoleh makna sebenarnya. Salah satu pendekatan sistem yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara menekankan pada kebebasan anak untuk belajar dan mengkonstruksi perolehan pengetahuannya sesuai dengan fitrah anak.

Hakikat anak dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak membedakan apakah anak cacat atau tidak. Anak tetaplah anak. Jadi mendidik anak sesuai fitrah, dan dalam pengertiannya menurut pengajaran yang berlangsung di Tamansiswa, adalah mendidik anak yang kelak menjadi manusia yang mampu mencapai kebebasan jiwa, pikiran, dan tenaga. Guru atau pamong dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara bukanlah penguasa jiwa anak, melainkan pelayan anak atau pelayan siswa.

Pamong, oleh karenanya, bertanggung jawab untuk mengayomi. Maksudnya, seorang pamong mempunyai tugas dan kewajiban untuk mengayomi seseorang yang sedang diemong. Individu ini bisa siapa saja, tapi pada umumnya adalah anak. Ngemong, dalam tataran konsep sepintas tampak sederhana, karena manifestasinya adalah mengasuh anak sebagaimana dilakukan orang tua terhadap anaknya.

Namun dalam tataran praktik, ngemong merupakan suatu aktivitas yang kompleks dan berlandaskan kepada azas asah-asih-asuh sehingga pada akhirnya suasana yang dibangun sejatinya adalah kegiatan pendidikan untuk saling menghargai dan saling membantu dalam iklim suasana yang inklusif.

Penulis: Hening Nugroho

Tulisan ini merupakan salah satu karya peserta lomba kepenulisan Nyerat (Nyeritakke Tamansiswa), yang merupakan bagian dari rangkaian acara Pekan Dewantara 2023 yang dilaksanakan oleh Komunitas Cakra Dewantara dan Museum Dewantara Kirti Griya. Seluruh isi dalam tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

Editor: Ahimsa W Swadeshi

--

--

Pena Dewantara

Salam dan bahagia! Ruang menulis ini dikelola oleh Komunitas Cakra Dewantara. Kirimkan tulisan terbaikmu ke surel cakradewantara1922@gmail.com :)