Dua Gelas Kopi dan Segelas Teh Jahe

febe
3 min readJan 5, 2024

--

Dokumentasi pribadi. Praha, 2023.

Kadang kamu tahu jika seseorang, atau beberapa orang, memang benar-benar ditakdirkan di hidupmu. Datang mereka akan terasa sederhana dan begitu dalam di saat yang sama. Setidaknya hal itu yang terlintas dalam benak saat tawa lepas aku dan kedua temanku menguap di udara. Aku terdiam untuk beberapa detik hanya untuk bertanya pada diriku sendiri:

Kapan, ya, terakhir kali aku tertawa lepas seperti tadi?

Praha sedang berada di suhu delapan derajat hari itu. Pukul sepuluh pagi kami sudah duduk manis di salah satu kafe di jalan Opatovická. Kedatangan kami disambut meriah dengan tawaran cuma-cuma tumpukan kue cantik yang dibuat oleh barista beserta ibunya.

My mother and I made these cookies yesterday. You can take these for free!” Seru barista itu dengan senyum lebar.

Mataku berbinar. Kesenangan ia rupanya! Ah, kapan terakhir kali merasa sehangat ini? Sebagai seorang yang merantau jauh, nun jauh di Eropa, perbedaan kultur masyarakat Eropa, dan maksudku kultur adalah sajian masakan serta kehangatan saat berbincang, membuatku menghabiskan enam bulan penuh pertamaku di Belanda menangisi semua hal yang masih asing yang membuatku merasa seperti tereksilkan *enggak lebay!

Anyway, hari ini aku tidak akan membahas lebih lanjut tentang kemuramdurjaan diriku itu. Kita kembali pada settingan semula; Praha.

Hi, we would like to order these coffee, and.. Ci, lo jahe kan?”

“Iyaa.”

And one ginger tea.”

Alright!”

Buku menu ditutup, kami mulai mencari meja yang kosong dan nyaman.

Aku dan kedua temanku mengambil duduk di depan sebuah lukisan abstrak. Bukan karena kami ingin menikmati lukisan itu, seakan-akan memahami isi si lukisan. Tapi karena temanku membutuhkan colokan charger.

Obrolan di antara kami bertiga adalah obrolan remaja awal dua puluh pada umumnya. Tidak jauh-jauh dari ingin melakukan apa setelah lulus kuliah, ingin menetap di Belanda atau pulang ke Indonesia, dan bagaimana hubungan dengan cowok menyebalkan satu itu.

Aku tersenyum lebar mendengar rencana-rencana kedua temanku. Ada yang berencana mengambil S2 psikologinya, ada yang berencana membuat pameran sendiri entah ia akan mewujudkannya di Jakarta atau di Jogja, yang pasti akan aku datangi dimanapun itu! Aku sendiri dengan pede menceritakan cita-citaku kedepannya; hal yang selalu membuat mataku berbinar saat membicarakannya dengan orang-orang terdekat.

“Intinya gue mau melakukan hal-hal yang bisa ngebantu orang, yang bisa ngasih impact.”

Dan perkataan temanku itu disambut oleh anggukan kepala setuju dariku dan satu temanku lagi. Satu hal yang aku sadari, kami bertiga memegang satu value yang sama; keinginan untuk bisa memberikan impact sekecil apapun itu ke orang atau komunitas di sekitar kami. Kecil saja bagiku sudah cukup, dan aku yakin pun demikian bagi kedua temanku.

Obrolan berlanjut ke arah yang sebenarnya tidak ringan tapi anehanya penuh jenaka; persoalan hati. Temanku memulai ceritanya dengan salah satu laki-laki abstrak enggak jelas. Enggak genah maunya apa, tujuannya apa, semaunya sendiri, dan datang di saat sedang membutuhkan saja! Alih-alih membuat situasi tambah serius dan bikin emosi semakin meningkat, kami menertawakan kisah percintaan temanku itu. Toh orang seperti itu memang sudah sepatutnya ditertawakan daripada dipikirkan dengan serius.

Obrolan tentang percintaan ini kembali berlanjut dan mendominasi obrolan-obrolan kami pada menit-menit berikutnya. Memang, ya, mengulik permasalahan hati di usia-usia seperti ini enggak akan ada habisnya.

Tanpa sadar, dua gelas kopi dan segelas teh jahe sudah lenyap isinya, tidak bersisa. Salah satu temanku melihat jam melalui ponselnya lalu mengadah kearah kami berdua, “Eh, udah jam segini. Ayo, habis ini jadi nemenin Oci ke tempat yang kemarin itu kan?”

Dan obrolan ngalor-ngidul kami terpaksa dihentikan dulu.

Cerita-cerita kami tersimpan rapi oleh tembok-tembok dan lukisan-lukisan di kafe itu. Kelak, kalau ada rejeki dan kesempatan untuk kembali mengunjungi Praha dan datang ke kafe itu lagi, sudahlah pasti aku akan menagih 1001 memorinya kepada tembok-tembok di sana.

Ditulis untuk Lita dan Oci, partner jalan-jalan aku selama di Praha. Untuk Lita dan aku yang selalu pesen kopi dan Oci dengan teh jahenya karena nggak bisa minum kopi, untuk kita bertiga yang selalu pesen menu minuman yang sama di kafe manapun. Thank you for crafting a memory I will never forget!

Semoga kita selalu punya ruang untuk memesan dua gelas kopi dan segelas teh jahe lagi kedepannya.

--

--