Tentang Perbedaan Jumlah Laki-laki dan Perempuan dalam Kontestasi Pemilihan DPR RI 2019

Politikata Indonesia
3 min readApr 14, 2019

--

Oleh: Rizkina Aliya

Seluruh data yang digunakan untuk visualisasi cerita ini bisa didapatkan di github Politikata.

Kebijakan afirmatif (affirmative action) bagi perempuan dibutuhkan untuk menjamin bahwa kepentingan separuh populasi Indonesia terintegrasi ke dalam kerangka kebijakan Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), kunci realisasi keterwakilan perempuan terletak pada partai politik.

Oleh karena itu, kita perlu melihat dengan lebih dekat bagaimana tiap partai yang berlaga telah mencalonkan kandidat perempuan mereka.

Cerita ini melihat selisih jumlah kandidat perempuan dan laki-laki tiap partai.

(Visualisasi data dari kpu.go.id & wikiDPR.org oleh Baya Inggas) Hampir setiap partai cenderung mencalonkan lebih banyak kandidat laki-laki daripada perempuan, dengan selisih jumlah yang berbeda-beda.

Tidak mengherankan bahwa hampir semua partai memiliki lebih banyak kandidat laki-laki daripada perempuan. Namun yang dapat digarisbawahi adalah selisih antara jumlah calon anggota legislatif (caleg) laki-laki dan perempuan pada tiap partai.

Partai Gerindra, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Golongan Karya (Golkar) adalah tiga partai yang memiliki perbedaan paling besar antara jumlah kandidat perempuan dan laki-laki.

Gerindra mencalonkan 153 caleg laki-laki lebih banyak daripada caleg perempuan, diikuti dengan PDIP dengan selisih jumlah 143 dan Golkar dengan selisih 140.

Di lain pihak, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memiliki selisih jumlah 26 antara kandidat laki-laki dan perempuan dan Partai Garuda* dengan selisih jumlah 6 termasuk partai dengan perbedaan jumlah caleg laki-laki dan perempuan terkecil.

Hanya Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)* yang mencalonkan lebih banyak kandidat perempuan daripada laki-laki, dengan jumlah selisih 15.

(*Catatan: Partai Garuda dan PKPI mencalonkan kurang dari 300 caleg DPR RI 2019)

Siapa yang menempati nomor urut satu?

(Visualisasi data dari kpu.go.id & wikiDPR.org oleh Baya Inggas) Nomor urut satu dari tiap partai didominasi oleh laki-laki.

Menurut analisis data statistik, mayoritas caleg yang berhasil meraih kursi di Senayan adalah kandidat dengan nomor urut satu.

Sayangnya, caleg laki-laki masih mendominasi pada nomor urut satu.

Pada posisi nomor urut satu, perbedaan jumlah antara kandidat laki-laki dan kandidat perempuan terbanyak dimiliki oleh Partai Bulan Bintang (PBB) dengan selisih 72, diikuti oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan selisih 68, dan Golkar dengan selisih 56.

Meskipun PKPI memiliki lebih banyak caleg perempuan daripada laki-laki, nomor urut satu partai tersebut tetap didominasi oleh laki-laki.

Di mana kah para perempuan?

(Visualisasi data dari kpu.go.id & wikiDPR.org oleh Baya Inggas) Dari semua partai, perempuan lebih banyak menempati nomor urut 3 dan 6

Menurut UU Pemilu, tiap partai politik yang mengajukan kandidat untuk pemilihan DPR RI harus membuat daftar yang minimal terdiri dari 30% perempuan dan minimal satu nama calon perempuan dalam tiap tiga nama calon anggota legislatif.

Pengaturan tersebut tercermin dalam selisih antara jumlah caleg laki-laki dan perempuan pada tiap nomor urut.

Dari semua partai, secara umum lebih banyak caleg perempuan daripada laki-laki yang menempati nomor urut 3 dan 6.

Apa yang dapat dilakukan?

Pada akhirnya, gambaran kuantitatif realisasi affirmative action dalam UU Pemilu yang konsisten dapat membantu evaluasi kebijakan secara berkelanjutan. Ke depannya, rasio caleg perempuan dan laki-laki serta relevansi penempatan perempuan dalam urutan teratas dapat dipertimbangkan kembali untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam DPR-RI.

Tujuan utama dari kebijakan afirmatif adalah untuk sedikit demi sedikit memperkecil selisih jarak antara jumlah wakil perempuan dan laki-laki yang terpilih, sehingga paling tidak kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen dapat tercapai.

Selain itu, para partai yang terlibat dalam kancah politik Indonesia harus menyadari bahwa affirmative action lebih daripada hanya formalitas sebab mereka tidak hanya memegang kunci untuk menjamin keterwakilan perempuan dari segi kuantitas, namun juga dari segi kualitas.

Rizkina Aliya adalah seorang konsultan dalam bidang government relations/public affairs. Sebagai lulusan fakultas hukum, ia juga berpengalaman sebagai peneliti di bidang hukum, masyarakat dan pembangunan.

*Politikata menyadari pentingnya penyebaran informasi yang berkualitas. Oleh karena itu, artikel dan/atau hasil visualisasi data dari Politikata dapat dipublikasikan kembali di media lain, baik cetak maupun daring, untuk tujuan non-komersial. Anda hanya perlu mencantumkan nama dan merujuk pada tautan Medium kami. Jika anda ingin mempublikasikan konten kami untuk tujuan komersial, silakan menghubungi kami di politikata.id@gmail.com

--

--