potatomeals
3 min readAug 13, 2022

--

“Every beginning is different after its end. Everything is always something else.” Sigrid Rausing

Thank you for coming!, seruan dari para aktor disertai alunan orkestra menjadi pengantar kepulangan penonton pertunjukan musikal The Shooting Star. Sebuah pertunjukkan broadway yang paling dinantikan pada musim ini setelah sukses besar mempertunjukkannya di West End. Pembawaan apik tanpa cela para tokoh serta jalan cerita yang menarik benar-benar membuat penonton terkagum, tak terkecuali wanita berdarah asia yang berusaha menutupi senyum dibalik scarfnya.

Udara musim gugur mengelitik pipi wanita itu kala ia menginjakkan kaki keluar dari pintu utama. Akhir bulan oktober. Ia bersin beberapa kali sebelum kembali mengeratkan mantel, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Langkahnya berjalan menuju arah barat, memutuskan untuk menghabiskan sisa malam di cafe langganannya.

Today is sunday. Kota Manhattan sangat penuh dengan lautan manusia terlebih pada hari libur seperti ini, some still put smile on their face knowing they’re in this Gotham City and the other just hating the fact they have to get up early in the next morning. Wanita itu berada ditengah mereka, ikut menunggu hitungan mundur angka yang tertera pada lampu lalu lintas. Fokus pandangannya jatuh pada billboard di sepanjang Times Square, cahaya yang terpancar cukup menyilaukan mata, namun wanita itu tetap memperhatikan puluhan iklan itu. Di salah satu papan billboard tertulis sebuah kalimat “do everything for love” diikuti latar belakang pasangan muda yang terlihat jatuh cinta. Ia mendengus geli.

She has already spent her last six years in New York, sleeping in sixty square apartment, working as famous bakery owners and foodblogger, but never date anyone because of love. To her, love is giving someone the power to destroy you, but trusting them not to.

Lamunan pendeknya terhenti takkala orang-orang mulai bergerak hingga menyenggol bahunya. wanita itu memukul pelan pipinya —kebiasaan yang dia lakukan ketika pikirannya ngelatur, kemudian berjalan menyebrangi zebra cross. Selang berapa menit, sampailah ia di sebuah kafe bergaya minimalist, Sanctuary —nama kafe itu.

Sanctuary selalu ramai pengunjung, terlebih pada hari minggu seperti sekarang. Tanpa berlama-lama, ia mendorong pintu masuk dan memesan minumannya, flat white coffee — for last night in Manhattan.

Tring.. Tring..

Handphone dikantungnya berdering. Fokusnya teralih pada kontak yang tertera di layar ponsel pintarnya. Capt Jepri is calling. wanita itu menggeser layar ponsel.

“Halo?”

Halo mademoiselle, what are you up to around this time?

Well, aku baru aja kelar nonton broadway dan sekarang lagi di Sanctuary minum kopi. By the way, it’s nice to hear your voice too abang”

“Hahaha, gue emang kurang basa-basinya. It’s like 11.00 pm in New York, right?

yeah. If you calling me for another siraman rohani, i’m going to turn off this call.”

okay, don’t hang up. i’m just checking up on you for tomorrow. Udah siap buat pulang, El?”

It’s Avery bang jep.”

Lelaki disebrang sana mendengus geli, namun tetap menuruti perkataan adik kecilnya itu. “Avery, are you ready to go home?”

Wanita yang bernama Avery itu terdiam beberapa detik, sebelum menjawab. “of course i’m ready,”

“I’ll be happy to go home”.

--

--