How Can We Call it

Primera Joya
5 min readApr 3, 2023

Kinan menuruni anak tangga dengan perasaan campur aduk. Biasanya berkencan tidak menjadi hal yang semenggugupkan ini. Ah, apakah agenda malam ini bisa dikatakan berkencan? Kinan juga bingung ingin memberi nama apa agenda tidak terduga kali ini.

Bahkan saat Kinan ketahuan sedang berjalan dengan pria lain ketika dia tengah dekat dengan seseorang, ia akan bersikap sangat tenang. Terlalu tenang untuk seorang gadis yang sebetulnya tidak banyak memiliki pengalaman cinta.

Kinan mencoba bersikap biasa saja. Menekan rasa gugup dalam dirinya.

Tiba di ruang tamu, ia dikejutkan dengan Hamsa yang tengah mengobrol dengan Keenan dan Mamanya.

“Nah... ini anaknya,” Mama bersuara dengan suara lembut. Suara yang sangat berbeda dibanding ketika Mama meminta anak-anaknya untuk segara makan.

Hamsa tersenyum simpul sementara Kenan yang duduk di sampingnya memicingkan mata menatap Kinan.

“Rapi amat lo, mau kemana?” tanya Keenan dengan nada mengejek.

Kinan merotasikan bola mata malas. Sehari saja Keenan tidak mengganggunya mungkin Keenan bisa kehilangan eksistensi kebahagiaan dalam hidup. Sebab mengganggu Kinan adalah salah satu hal menyenangkan yang ingin terus ia lestarikan.

“Udah siap?” Kali ini giliran Hamsa bersuara. Kinan mengangguk.

Lantas Hamsa bangkit dari tempat duduknya, “Ya sudah Tante, Hamsa pamit ya sama Kinan, nanti Kinan-nya Hamsa balikin sesuai jam malam,”

Mama mengangguk dengan senyum manis di wajahnya. “Iya, hati-hati ya bawa mobilnya.”

Percakapan Hamsa dengan Mama hanya sampai di sana sebab setelahnya yang mengantar sampai depan pintu ialah Keenan.

“Sa, kalo bisa nggak usah dibalikin Si Kinan, bosen gue lihat dia di rumah setiap hari,” seru Keenan pada Hamsa dari daun pintu.

“Gue lebih bosen kali lihat lo!” Kinan menyahut.

Hamsa terkekeh pelan, “Kalo itu mah ada waktunya sendiri,”

Kinan yang malas berlama-lama menghadapi Keenan pun menarik tangan Hamsa untuk segera meninggalkan rumahnya.

Selama di dalam mobil Kinan berusaha mati-matian untuk meyakinkan diri bahwa pertemuan kali ini bukanlah hal besar. Hamsa salah satu temannya. Dan bertemu dengan orang tua teman bukanlah hal yang menakutkan. Dulu ketika dia bermain ke rumah temannya biasanya ia akan bertemu dengan orang tua temannya juga, dan itu adalah hal biasa. Bahkan Kinan cukup dekat dengan orang tua Tika, terutama ibunya. Ibu Tika sering mengunjunginya ke kos dan tidak sekali dua kali ketika sang ibu berkunjung, Kinan juga mampir ke kos Tika selepas kuliah.

Hamsa yang berada di kursi pengemudi melirik Kinan sekilas. Ia menangkap kegugupan gadis tersebut.

“Everything is okay?” tanya Hamsa ketika mobil mereka tiba di salah satu restoran jepang.

“Yeah, I’m fine.”

Meskipun Kinan mengatakan ia baik-baik saja, Hamsa tetap menemukan setitik keraguan dari jawaban tersebut.

“Tangan lo kesiniin,” pinta Hamsa seraya mengulurkan tangan.

“Mau apa?”

“Udah, kesiniin aja,” kali ini Hamsa berkata dengan suara berat diiringi seulas senyum. Kinan tidak menyangka bahwa suara Hamsa bisa menjadi seberat ini.

Kinan menurut. Meletakkan tangannya di atas tangan Hamsa.

“Nggak akan terjadi apa-apa Kinan, you don't need to give any impression to my mom. Just being you, jadi Kinan yang biasa, yang menyenangkan dan banyak senyumnya. Ini hanya makan malam biasa belum makan malam keluarga untuk membahas pernikahan, we are too young for that,”

Sontak Kinan menjauhkan tangannya kemudian memukul lengan Hamsa. Dia tertawa. Rasanya percuma mendengarkan kalimat serius Hamsa namun diakhiri sebuah candaan.

“Sialan lo!”

“Feel better?”

Kinan mengangguk. Ya, perasaannya jauh lebih baik berkat perlakuan sederhana yang Hamsa lakukan.

Mereka memasuki restoran, mata Hamsa menelusuri setiap sudut sampai ia menemukan seorang wanita masih lengkap dengan setelan semi formal lengkap dengan kemeja putih dan blazer serta celana warna abu-abu muda tengah duduk sendirian memanggang beef.

Hamsa mendekat kemudian bertanya, “Mami sudah lama sampainya?”

Wanita yang dipanggil Mami barusan mendongak lalu tersenyum melihat anak semata wayangnya. Kinan yang melihat wajah Mami Hamsa dibuat kehilangan kata. Wanita tersebut terlihat begitu cantik dan masih muda, seperti pertengahan kepala tiga. Kinan yakin siapa pun yang melihat pasti tidak akan menyangka bahwa wanita tersebut telah memiliki anak yang tengah duduk di bangku perkuliahan.

“Hei, I miss you so much,” ucap Mami memeluk Hamsa.

“I miss you too, Mom.”

Adegan ibu dan anak itu tidak berlangsung lama sebab sang ibu tahu ada satu sosok lagi yang tengah berdiri diam dengan senyum simpul.

“Kinan, ya?” tanya Mami Hamsa mengulurkan tangan.

Kinan membalas jabatan tangan Mami Hamsa, “Iya, Tante, saya Kinan temannya Hamsa,”

“Duduk dulu, sebelum dagingnya gosong,”

Hamsa dan Kinan duduk bersebelahan. Tanpa perlu disuruh, Hamsa lantas menggantikan Maminya memanggang beef. Tangannya lihai membolak-balikkan daging dan mencelupkannya ke dalam saus.

“Kinan sudah berapa lama kenal Hamsa?”

Kinan mencoba mengingat-ingat. “Sekitar satu bulanan, Tante,”

Wanita tersebut mengangguk-angguk. “Satu kampus?”

“Satu kampus tapi beda jurusan, Mi, Kinan anak kedokteran sama kayak Keenan yang dulu pernah ketemu sama Mami di kosan. Nah, Kinan ini saudara kembarnya Keenan,” terang Hamsa.

Setelah daging yang Hamsa panggang dirasa telah matang, ia meletakkannya ke atas piring Maminya kemudian ke piring Kinan. Hamsa sempat tersenyum tipis kepada Kinan setelah gadis tersebut mengucapkan ‘terima kasih’ tanpa suara.

“Oh pantas wajahnya kelihatan familier. Pasti rame ya punya saudara di rumah?”

Kinan berusaha menelan makanannya cepat-cepat. “Bukan lagi rame tante, super berisik apalagi waktu Kakak masih lebih banyak di rumah,”

“Kinan punya kakak juga?”

“Punya Tante, kakak perempuan.”

“Dokter juga?” Kinan mengiyakan.

Perasaan gugup yang tadi sempat melanda Kinan telah hilang bersamaan bagaimana obrolan Kinan dan Maminya Hamsa berjalan. Pikiran Kinan mengenai Maminya Hamsa yang galak seperti Mamanya pun musnah. Mami Hamsa jauh dari kata galak. Bahkan jauh dari kata ibu-ibu beranak satu lantaran parasnya yang ayu dan awet muda.

Sepanjang makan malam mereka banyak bercerita. Mami Hamsa mudah berbaur dengan obrolan khas anak muda. Barangkali juga karena statusnya seorang business women—yang harus selalu open dengan perkembangan zaman.

Di parkiran Hamsa memeluk Mami sebelum mereka berpisah.

“Mami jaga kesehatan ya, jangan terlalu capek, nanti kalau ada apa-apa kabari Hamsa atau Om Jos,” pesan Hamsa kepada Mami.

Mami berdeham. “Hamsa juga jaga diri baik-baik ya,”

Setelah pelukan itu terlepas, Mami mencium pipi kanan dan kiri Hamsa. Kinan yang berdiri di samping Hamsa hanya dapat melihat adegan manis itu dalam diam. Begitu selesai dengan Hamsa, Mami mendekati Kinan kemudian memeluknya. Gadis itu cukup terkejut namun hal selanjutnya yang ia dengar berhasil membuatnya ikut membalas pelukan Mami Hamsa.

“Kapan-kapan kita ketemu lagi ya, cantik.”

“Iya, Tante Cantik.”

Hamsa membuka pintu mobil untuk Sang Mami. “Mami nggak apa-apa balik hotel sendiri?”

“Kamu kira Mami anak kecil? Kamu anterin Si Cantik pulang dengan selamat, sesuai jam malamnya, jangan mampir-mampir!”

“Iyaaa... ya sudah kalo begitu, Mami hati-hati ya, nanti kalau sudah sampai hotel kabari Hamsa,”

“Iya-iya, kamu lama-lama bawel,”

Mobil itu pun perlahan menjauh dari restoran. Sementara Kinan masih tersenyum-senyum karena dipuji ‘cantik’ oleh Maminya Hamsa.

“Kenapa lo?” tanya Hamsa terheran-heran.

Refleks Kinan memukul perut Hamsa. Tidak sakit namun cukup terasa untuk pukulan dari seorang perempuan.

“Gila! Gue dipuji cantik sama Mami lo,”

“Ya karna lo memang cantik,”

Mendengar pujian tersebut dari Hamsa, air muka Kinan berubah masam. Pujian dari Hamsa entah mengapa terdengar biasa saja di telinga Kinan. Mungkin karena ia sudah terlalu sering mendengarnya dari mulut laki-laki yang pernah ia temui.

“Eh, mukanya kenapa jadi gitu?” Hamsa menunjuk muka Kinan.

“Tau ah, ayo pulang!”

--

--