oleh Bima Satria Putra
Dalam suatu diskusi di UGM pada 2016, pembicaraan kami tentang anarkisme sampai pada titik demikian: para pendiri bangsa ini telah mati-matian memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia, sementara anarkis tidak punya sumbangsih apa pun; atas dasar apa anarkis hari ini hendak menghancurkan apa yang tidak mereka bangun? Tentu saja, saya bisa saja membalas pertanyaan semacam itu dengan mengajukan definisi rinci kemerdekaan macam apa yang ia maksud, dan bagaimana perwujudannya sekarang di tempat kita saat ini hidup. Lagi pula, kita tidak pernah terikat dengan kontrak politik apa pun. Sejak kita lahir, kita dipaksa menjadi miliknya negara secara sah, dan saat dewasa, kita telah didoktrin dengan perasaan patuh dan cinta tanah air secara membabi buta, yang menumpulkan kesadaran kritis atas penindasan dan pengisapan yang tengah berlangsung. Negara Indonesia tidak punya legitimasi apa pun, selain sejarah, kertas dan omong kosong. Sisanya adalah senjata yang ditodong jika kita punya kehendak berbeda.
Tapi saya tidak menjawab demikian. Perhatian saya langsung terpusat untuk menanggapi pertanyaan itu dengan memberikan kilasan sumbangsih anarkis pada upaya kemerdekaan Indonesia. Pada mereka, saya berjanji untuk menunjukkan bukti sejarahnya, yang baru terwujud melalui buku Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan yang terbit secara terburu-buru pada 2018. Pada dasarnya, saya hanya ingin menjelaskan bahwa anarkisme punya andil, lebih besar dari yang dikira selama ini, dan yang telah terabaikan selama bertahun-tahun dalam catatan sejarah tentang gerakan kemerdekaan Indonesia. Setelah buku itu terbit, saya mendapatkan lebih banyak data baru yang alih-alih membantah, justru semakin memperkuat tesis saya. Esai ini saya tulis untuk menegaskan kembali berdasarkan data baru yang terkumpul, oleh saya dan banyak peneliti sejarah lain sejak 2018.
Arif Dirlik menyatakan bahwa, “anarkisme adalah ideologi dominan selama fase pertama sosialisme di Asia Timur.”[1] Kajian anarkisme di India, Filipina, Malaysia, Korea, Jepang, Cina, Vietnam bahkan Timor Leste, telah diuraikan dengan baik. Meski begitu, Indonesia lain cerita. Menurut Klaas Stutje, tidak ada kaum anarkis yang sadar diri, dalam artian ideologis, pada dasawarsa pertama abad ke-20, yang dikenal di Hindia Belanda.[2] Meski terdapat upaya untuk pengorganisiran cabang anarkisme Kristen Belanda maupun anarkis imigran Tionghoa, anarkisme tidak pernah diusung secara terbuka dalam organisasi politik pribumi. Mengapa demikian? Apa yang dapat menjelaskan kekosongan ini?
Pada 2018, saya jelaskan kemungkinan paling baik soal ini. Meski banyak datanya mentah, tetapi saya coba terangkan bahwa “tidak ada gerakan anarkisme di Indonesia.” Lebih tepat, gagasan anarkisme menyatu dalam gerakan politik sosialis yang meluas, dan kemudian, hanya menjadi anasir dalam PKI.[3] Semua gagasan sosialisme, entah itu pemikiran Bakunin, Proudhon atau Marx, asal ia berjuang melawan anti-kolonialisme dan berguna sebagai alat perjuangan, bakal disajikan dalam satu piring dengan nama “sosialisme/komunisme.”
Kesimpulannya adalah, gerakan sosialis di Indonesia sesungguhnya ekletik. Sangat memungkinkan bahwa, sebagaimana dalam banyak kasus dunia, seorang tokoh pergerakan yang secara spontan bersifat anarkistik, atau secara sadar bersimpati pada anarkis, menyebut dirinya cukup sebagai sosialis, komunis, atau nasionalis. Kenyataannya, gerakan sosialis sebelum 1918 tidak membedakan antara “sosial demokrat” dan “komunis” layaknya hari ini. Kubu internal Bakunin dalam International Pertama menggunakan nama sosial-demokrat. Baru setelah arus militan dari Sosial Demokrat Rusia mengubah namanya menjadi Partai Komunis pada tahun 1918, dan militan di negara lain mengikuti, identitas komunis yang berbeda muncul.
Di Hindia Belanda, sosialisme telah diperkenalkan sejak peralihan abad ke-20, lalu terorganisir setelah Sneevliet menginisiasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada 1912 yang enam tahun kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski pemimpin ISDV mengarahkan organisasi itu agar berpatok kepada Komunisme ala Marx, sejarawan Saul Rose menjelaskan bahwa di Indonesia, “gagasan Bakunin juga populer.”[4]
Jeanne S. Mintz dalam kajiannya tentang kemunculan gerakan sosialisme di Hindia Belanda menyatakan bahwa banyak sosialis Indonesia tampaknya lebih familiar dengan karya-karya kaum Utopian dan kolektivis pra-Marxis: “Pada awal pergerakan nasionalis Indonesia, literatur sosialis yang sampai ke Indonesia dan membakar imajinasi pemimpinnya merupakan campuran yang paling heterogen, seperti karya Domela Niuwenhuis, Henriette Roland Horst, tulisan Bakunin dan banyak lagi tulisan tentangnya.”[5]
Keberadaan buku-buku anarkis di Hindia Belanda sebagamana dilaporkan oleh Mintz di atas telah terkonfirmasi. Misalnya, jika anda ke Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, bakal ditemukan biografi karya Max Netlau yang berjudul Michael Bakunin: Eine Biographische Skezze yang terbit pada 1901. Memoar anarkis Belanda, Ferdinand Domela Niuwenhuis yang berjudul Van Christen tot Anarchist pernah diulas di halaman muka De Preanger-bode dan De Sumatera Post pada 1911, hanya beberapa bulan setelah buku itu pertama terbit.[6] Menurut de Tollenaere, Ernest Douwes Dekker dan Mas Marco Kartodikromo terpengaruh oleh Domela.[7] Marco mengutip buku itu dalam tulisan di Sinar Hindia[8] dan menyitir Domela dalam pembelaannya saat tulisannya dipermasalahkan oleh pemerintah.[9] Marco berulangkali mengutip Domela dalam banyak kesempatan dan Marco mawas secara politik soal ini: “Dia seorang Domine [pendeta] yang akhirnya jadi anarkis, dan beberapa kali masuk penjara, sebab dia akan menolong manusia yang kesusahan, alias yang jadi makanannya sesama manusia.”[10]
Seiring dengan tumbuhnya pergerakan pribumi, paham anarkisme adalah salah satu yang dibahas dan didiskusikan oleh aktivis pergerakan. Oemar Said Tjokroaminoto, yang hari ini dijuluki “Bapak Pendiri Bangsa”, adalah salah satu tokoh yang terlibat dalam proses ini. Ia berperan dalam reorganisasi Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam (SI) pada 1912. SI adalah organisasi yang plural secara politik. Pegawai kolonial dan jurnalis Kiewiet de Jonge dalam tulisannya di Indische Stemme menyatakan bahwa SI terdiri dari para “anarkis, sosialis, nasionalis (borjuis), agamawan dsb.”[11] Tjokroaminoto sendiri dalam pandangannya tentang bentuk ideal pemerintahan yang disebut Negara Islam mesti merujuk pada “ummat yang merdeka” di kota Madinah, yang diuraikan sebagai:
“...suatu Kerajaan (staat)... penduduk yang tidak perlu memakai kekuasaan dan kekuatan polisi buat memegang mereka di dalam ketertiban, ialah orang-orang penduduk yang tidak mengandung perasaan kebencian antara satu sama lain karena perbedaan golongan bangsa atau pun warna kulit, ialah orang-orang penduduk yang di antaranya tidak terdapat perbedaan antara yang memerintah dan diperintah.”[12]
Jelas bahwa hingga batas tertentu Tjokroaminoto terpengaruh oleh konsepsi anarkisme tentang kebebasan dan persamaan hak, sehingga statuta SI, menegaskan tujuan untuk “melepaskan segala rakyat daripada perhambaan apa pun juga.”[13] Kenyataannya, SI memang mempelajari anarkisme dalam program pendidikannya. Hal ini, tercatat dari pengalaman tokoh ulama Indonesia Buya Hamka dalam pengantar buku biografi Tjokroaminoto. Saat ia merantau ke Jawa, Buya Hamka ikut dalam berbagai kursus SI di Yogyakarta pada 1924. Salah satu pengajarnya adalah Tjipto Mangunkusumo, yang memberikan materi tentang agama Islam dan sosialisme. “Waktu itu saya mulai mengenal komunisme, sosialisme, nihilisme. Waktu itulah mulai mendengar nama Karl Marx, Engels, Proudhon, Bakunin, dan lain-lain,” tulis Hamka.[14]
Akibat pengaruh ISDV, SI dalam kepemimpinan Tjokroaminoto mulai menunjukkan watak sosialismenya. Perpecahan yang tidak dapat dijembatani telah membelah organisasi ini menjadi dua kubu: SI Putih dan SI Merah. Pada 1924, SI Merah menjadi Sarekat Rakyat (SR) dan terus menjalin hubungan resmi dengan PKI. Pada hakikatnya, PKI-SR dilihat sebagai hubungan patronase partai politik dengan basis massa. Di mana saja SR berdiri, cabang PKI juga mesti didirikan dan melalui SR akhirnya PKI mulai memiliki basis petani. Karakter revolusioner SI ini bakal dipertahankan dalam SR. Iwa Kusumasumantri, mahasiswa hukum di Leiden dan kemudian di Moskow pada 1927 dalam kajian tentang gerakan petani di Indonesia, menyatakan bahwa “baik di Partai Komunis maupun di Sarekat Rakyat, penyimpangan anarkis yang sangat kuat terlihat. Banyak kamerad yang membaca karya Bakunin daripada karya Marx.”[15]
Sementara Tjokroaminoto memutuskan terjun ke parlemen, para murid yang pernah tinggal bersamanya kemudian melintang di seluruh spektrum politik dan tidak melulu sejalan dengannya. Kartosuwirjo mewakili kelompok Islam, Alimin dan Musso sebagai komunis, dan Soekarno sendiri nasionalis. Selama menempuh pendidikan sekolah menengah di Surabaya, Soekarno tinggal di rumah Tjokroaminoto di mana dia bertemu dengan beberapa orang Indonesia dan Belanda yang berhaluan kiri. Di Bandung, ia berkenalan dengan pustakawan Daniel Marcel Koch. Koch diketahui mengenalkan karya-karya Kautsky dan Bakunin pada Soekarno.[16] Soekarno sendiri secara fasih kelak menerbitkan dua artikel tentang anarkisme pada 1932.[17]
Murid Tjokroaminoto lain yang patut mendapatkan perhatian adalah Alimin dan Musso. Keduanya militan muda yang bergabung sekaligus ke dalam SI, ISDV dan Insulinde, yang membuat kesetiaan mereka banyak dipertanyakan. Saat ISDV berubah menjadi PKI, Alimin keluar dari sidang yang berlangsung panas. Tampaknya Alimin memutuskan keluar dari ISDV, sebab sumber lain menyatakan bahwa ia bergabung dalam PKI pada Desember 1923. Alimin mantap di situ, meninggalkan SI dan Insulinde. Meski begitu, “para pemimpin PKI curiga... mereka dikenal sebagai anarkis dan terutama Alimin secara pribadi sangat terikat dengan Tjokroaminoto dan Salim,” tulis Harry A. Poeze.[18]
Ada kesepakatan meluas di antara sejarawan mengenai “penyimpangan” di dalam generasi pertama PKI. Meski PKI menyatakan afiliasi resmi dengan Comintern di Moskow, dominasi penyebaran gagasan anarkisme hampir tak terbendung. Setelah Soe Hok Gie memeriksa berbagai kliping koran tahun 1917-1920’an untuk skripsi sarjana mudanya, ia mengamati bahwa di dalam PKI, “apa yang mereka pahami sebagai Marxisme, sulit dipertanggungjawabkan sebagai Marxisme.”[19]
Di dalam otobiografinya, Alimin juga mengakui adanya keberagaman politik di dalam PKI. “Waktu itu di dalam partai masih terdapat rupa-rupa aliran: aliran anarkis, aliran sosialis, aliran nasionalis, dan aliran komunis. Pendek kata, sewaktu itu PKI belum merupakan partai komunis yang sebenarnya dalam ukuran Internasional.”[20] Lembaga Sedjarah PKI dalam Pemberontakan Nasional 1926 membenarkan adanya “kelemahan dalam bidang penguasaan terhadap teori Marxis-Leninis sebagai bentuk ideologi dan senjata teori kelas buruh,” dan bahwa “buku Marx, Engels dan Lenin belum dapat tersebar sebagai bahan bacaan pimpinan dan kader PKI.”[21] Saat itu, buku Manifesto Komunis karya Karl Marx baru diterjemahkan pada 1924. Tulisan Marx lainnya masih berbahasa Inggris dan Belanda, kurang dipahami dan tidak terjangkau.
Alimin tidak pernah mengklaim sebagai anarkis. Tapi ia pernah mengakui bahwa saat ia masih muda: “kami ingin ‘menjadi komunis’. Kami membaca satu dua buku,” dan “di Negeri Jauh [Uni Sovyet] kami dapat mengerti apakah artinya pangkat dan kekuasaan itu.”[22] Surat kabar yang Alimin kelola, Sora Merdika, pernah membahas Bolshevisme pada 1920. Pengarangnya, yaitu pemimpin redaksi surat kabar itu, menulis: “Gerakan ini saya belum bisa menentukan bagus atau buruknya, lantaran sampai sekarang belum bisa menimbang atau membuktikan jelek dan jahatnya, atau bagus dan kemuliaannya.”[23] Jadi, meski Lenin dan Partai Bolshevik telah menginspirasi sebagai contoh keberhasilan revolusi, prinsip dasar Marxis-Leninisme baru dipahami agak terlambat. Revolusi Rusia 1917 tidak secara spontan mengakibatkan proses Leninisasi gerakan kiri awal di Hindia Belanda begitu saja. Soe Hok Gie sendiri berpendapat bahwa, “masalah pengaruh luar negeri sampai sekarang masih sangat dilebih-lebihkan.”
Jika bukan Marx, lalu sosialisme macam apa yang digandrungi oleh pemimpin dan kader PKI? Satu-satunya cara untuk menjawab hal ini adalah menilik tulisan yang diterbitkan. Masalahnya menjadi agak kompleks, karena menurut McVey, karakter pers komunis di Hindia yang terdesentralisasi membuat masing-masing media lokal mencerminkan pemikiran dan pendekatan populer dari pemimpin partai lokal yang menjalankannya. Pada 1926 diperkirakan ada 20 media partai oleh pengurus pusat dan cabang yang dilarang setelah pemberontakan.[24] Ini belum menghitung media yang dibredel atau yang bangkrut sebelumnya, juga media serikat buruh dan organisasi simpatisan komunis lain. Tiap media menyampaikan aspirasi yang beragam, dan bahkan pada satu media kadang bertentangan tergantung pada penulisnya.
Meski begitu, bukan berarti tinjauan sekilas atas gagasan non-Marxis yang dominan di dalam PKI jadi mustahil dilakukan. Yang telah teridentifikasi sejauh ini setidaknya terbagi dalam tiga kategori utama, yaitu anarko-komunisme Bakunin, nihilisme, dan anarko-sindikalisme.
Hingga saat ini, belum ditemukan tulisan tentang sindikalisme, apalagi dalam Bahasa Indonesia, kecuali tulisan dalam Bahasa Belanda oleh Ernest Douwes Dekker. Tetapi dalam tulisan lokal, sosialisme dipahami dalam nada yang sangat libertarian. Misalnya, Tjokroaminoto dalam bukunya Islam dan Sosialisme (1924) menjelaskan anarkisme sebagai salah satu macam dari sosialisme, yang “menuntut... segala alat-alat membuat barang-barang (produksi) itu hendaknya menjadi kepunyaan perhimpunan-perhimpunan vakvereeninging (kaum sekerja).”[25] Pengertian sosialisme yang khas sindikalis ini bakal kerap kita jumpai dalam tulisan lain, bahkan hingga awal kemerdekaan.
Warisan ini masih kental terasa dalam tulisan Musso. Tidak banyak tulisan Musso yang tersisa dari masa mudanya. Ia kemudian belajar Marxisme ke Moskow dan baru dapat sepenuhnya kembali dengan bebas ke Indonesia pada 1946. Melihat kekacauan gerakan komunis di Indonesia yang baru merdeka, mendorong Musso untuk menyerukan penyatuan berbagai faksi komunis dalam partai tunggal PKI. Usulan ini terbit dalam pamflet Jalan Baru pada 1948. Dalam tulisan itu Musso menekankan kontrol buruh, mengulangi definisi anarkis ala Tjokroaminoto yang ditulis puluhan tahun sebelumnya: “bahwa produksi harus diperbesar sebanyak-banyaknya dengan syarat, bahwa produksi dan distribusi serta perdagangan barang-barang milik negara harus diawasi oleh serikat buruh.”[26] Oleh sebab itu wajar jika Mohammad Hatta pernah menilai bahwa Musso, “lebih mirip sebagai anarkis ketimbang komunis.”[27] Sebagai Wakil Presiden, nantinya Hatta menolak kontrol buruh dan berulang kali menegaskan bahwa alat produksi dan transportasi seperti kereta api harus berada di bawah kontrol negara dengan memperingatkan kaum buruh agar, “tidak salah memahami sindikalisme sebagai demokrasi ekonomi dan secara sewenang-wenang mengganti pejabat tanpa sepengetahuan atau tanpa persetujuan pemerintah.”[28]
Sindikalisme di Belanda cukup kuat di antara buruh kereta api. Jelas, bahwa mereka yang patut ditelusuri sebagai pembawa gagasan ini saat bekerja di Indonesia. “Dalam sejarah sindikalisme di Indonesia,” tulis Leclerc, “sindikalisme revolusioner yang anti-kolonial dan anti-kapitalis sebagaimana sejarah komunisme di Indonesia selalu terdapat formatur yang berasal dari kalangan buruh kereta.”[29] Iwa Kusumasumantri juga menyatakan bahwa, “tidak diragukan lagi ada kecenderungan sindikalis yang sangat serius di antara beberapa kamerad terkemuka.” Kecenderungan sindikalis telah mendapatkan peringatan dari surat kabar Njala, yang diterbitkan PKI cabang Batavia.[30]
Buruh kereta api adalah pelopor gerakan buruh di Hindia Belanda zaman itu. Spoorbond adalah serikat buruh pertama di Hindia Belanda, terbentuk pada 1905. Karena haluannya yang reformis, empat tahun kemudian berdiri Vereniging van Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP) oleh 60’an pekerja kereta api dan trem dari tiga perusahaan. Saat serikat buruh ini berdiri, sindikalisme Belanda tengah dalam posisi puncaknya di dalam federasi NAS.
Hampir sebanyak Marx, tulisan tentang anarkisme dan nihilisme juga kerap dijumpai. Setelah Soe Hok Gie memeriksa berbagai kliping koran tahun 1917-1920’an untuk skripsi sarjana mudanya, ia mengamati bahwa di dalam PKI:
“Konsensi-konsensi ‘kaum Marxis’ ini ialah jelas terbayangnya tendensi-tendensi nihilis. Mereka sadar bahwa untuk melawan penindasan, kalau perlu menjalankan gerakan-gerakan bawah tanah dan secara samar-samar menganjurkan teror.”[31]
Soe Hok Gie merujuk pada ulasan tentang aksi kekerasan politik yang ditulis Darsono saat ia bergabung dalam redaksi Sinar Djawa. Menggunakan nama samaran Onosrad ia menulis serangkaian artikel tentang gerakan nihilisme Rusia yang dimuat secara tidak teratur sejak 21 Maret 1918. Ia mengisahkan ulang dengan gaya menulis yang berapi-api heroisme tokoh nihilis Vera Zasulich, Arkhip Bogolyubov, dan Sergey Nechayev dalam perjuangan melawan kediktatoran Tsar.[32] Darsono juga memperlakukan hal yang sama pada Mikhail Bakunin dalam tulisan lain yang berjudul “Merebahkan Pemerintah.”[33]
Sebuah artikel yang terbit di Sora Merdika, berjudul “Dunia jeung Jaman Anyar” [Dunia dan Zaman Baru], telah memperlakukan anarkisme dan nihilisme sebagai sinonim yang dibatasi oleh garis miring (/). Dijelaskan sebagai “dua paham yang tidak dapat dipisahkan,” dengan niat hendak “membunuh raja-raja... menggantikan pemerintahan dan kehidupan rakyatnya, dengan aturan dan sifat yang bersandarkan pada kemanusian.”[34]
Seluruh tradisi sosialis bercampur aduk dalam cakrawala gerakan kiri pertama dan rujukannya bukan hanya Karl Marx semata. Salah satu editorial di Sinar Hindia pada 1924 misalnya, yang merupakan organ resmi SR, menyatakan kekaguman terhadap sosialis non-Marxis Prancis Auguste Blanqui, yang mengampanyekan aksi langsung dan pemberontakan bersenjata. Editorial itu mendesak program “kekerasan politik revolusioner”, yang diibaratkan ketika kaum proletariat mendatangi musuh-musuhnya “bagaikan angin puyuh” yang akan menghancurkan mereka dan mencapai pada komunisme.[35]
Tokoh anarkisme kadang masih dibingkai dengan konotasi positif. Soeara Ra’jat dengan terbuka menerangkan bahwa Marx dan Engels yang jadi guru PKI, bukan Bakunin, yang dulu salah satu seteru besarnya Marx. Meski begitu, sang penulis menyanjung: “kami akan menghormatkan juga namanya, karena dari jasanya, yang bukan main besarnya itu. Bakunin, seorang bangsawan.. beliau bergerak dan merebutkan haknya kaum tertindas, hingga lebih dari satu kali masuk dalam penjara.” Penulis menerangkan Bakunin bukan komunis, tapi anarkis.[36]
Tentu saja, tampaknya artikel itu telah mendapatkan respon sehingga sebuah artikel tentang anarko-komunisme terbit pula di Soeara Ra’jat sebulan kemudian untuk meluruskan. Penulis dengan nama samaran Mahatma Moerti, gigih membela bahwa anarkisme sebagai bagian dari faham sosialisme. Ia menyebut nama-nama tokoh anarkis sedunia yang membuat kita heran apa sumber bacaannya: Errico Malatesta dan Carlo Cafiero (Italia), Élisée Reclus (Prancis) dan Peter Kropotkin (Rusia).[37] Selain nama-nama di atas, bertahun sebelumnya, penulis bernama samaran Karjadipa juga membahas sosialisme, tanpa kritik menyitir anarkis Prancis Pierre-Joseph Proudhon di Sinar Djawa.[38]
Dari tulisan yang terbit dapat terlihat bahwa anarkisme dimaknai dalam dua tingkat. Yang pertama, sebagai bagian dari ideologi sosialis yang mengusulkan kepemilikan alat produksi secara bersama, melalui kontrol buruh dan hasilnya dapat digunakan oleh banyak orang. Ini dipopulerkan dalam semboyan “Sama Rata, Sama Rasa.” McVey sendiri, menyimpulkan bahwa citra populer PKI tentang komunis dan revolusi jauh untuk dapat dikata Marxis:
“Revolusi ini tidak perlu kediktatoran proletariat atau tahap peralihan lainnya; langsung menuju pada masyarakat tanpa kelas di mana negara digantikan oleh gotong royong sukarela. Para pemimpin PKI tidak terpikir untuk mengungkapkan tentang mengatur suatu negara setelah pembebasan dari Belanda; mereka menemukan utopia, yang nuansanya dapat diartikan oleh pengikut mereka sesuka mereka.”
“Akan tetapi, di bawah Komunisme, tidak akan ada lagi persaingan ekonomi atau politik: semua akan didasarkan pada kerja sama. Tidak akan ada kemiskinan. Orang akan bekerja karena mereka ingin dan pada tugas yang mereka sukai; tidak akan ada majikan, tidak ada pelayan, dan tidak ada pencarian keuntungan. Masalah-masalah pemerintahan akan dengan mudah dipecahkan, karena tidak perlu ada tentara atau angkatan laut, tidak ada hak kepemilikan yang sah, tidak ada undang-undang selain hukum adat, tidak ada penjara, panti asuhan, atau aparatus lain dari negara yang mengeksploitasi.”[39]
Semua angan-angan masyarakat pasca revolusi yang dipromosikan PKI secara luas pada khalayak Hindia Belanda punya ideal anarkis. Tentu saja, nama Marx disebut, tapi bukan teori marxisme. Komunisme yang dipahami di Hindia Belanda bukanlah jenis komunisme yang marxis-leninis yang secara resmi jadi poros PKI pada dekade 1940-1960’an, tetapi anarko-komunisme. Konsepsi Marxis tentang perebutan kekuasaan dan pemerintahan buruh baru tampak sejak 1924, khususnya melalui berita kawat tentang Rusia. Pengaruhnya sangat terlambat.
Yang kedua, anarkisme dipahami sebagai ideologi anti-pemerintah dan anti-feodalisme, dan hendak melenyapkannya melalui aksi kekerasan, pembunuhan, dan pemberontakan bersenjata. Anarkisme kemudian jadi identik dengan kekacauan dan kekerasan, aksi teror oleh prakarsa pribadi, disorganisasi atau lemahnya disiplin partai, dan hanya berhenti sampai di situ. Selain oleh media arus utama, istilah dengan makna ini dipakai oleh komunis yang memiliki teori Marxis yang lebih matang, termasuk anggota partai dan aktivis pergerakan dari organisasi lain.
Dalam dua tingkat ini anarkisme mewarnai wacana gerakan komunis di Indonesia. Yang pertama sebagai cita-cita yang hendak dituju, dan yang kedua sebagai cara untuk mencapai tujuan tersebut. Anarkisme yang dipahami sebagai metode mendapatkan wujud dengan baik di Surakarta. Menurut Soe Hok Gie, pemboman nihilis ala Sophia Perovskaya telah menginspirasi serangkaian sabotase, pembakaran, perusakan properti dan pemboman antara 1923-1926, yang berujung pada pengasingan Haji Misbach, tokoh gerakan komunis di Surakarta ke Digoel.[40] Larson juga menyatakan bahwa aktivitas terorisme kaum komunis di Surakarta menandai pengaruh anarkisme.[41]
Upaya para pemimpin PKI untuk meredam pengaruh anarkisme telah terdokumentasikan dengan baik. Bahkan meski mereka tidak setuju dengan aksi terorisme, dalam banyak kesempatan banyak dari mereka memakluminya sebagai hasil tak terhindarkan dari represi.
Walau demikian, beberapa pemimpin PKI pusat melihat pemboman dengan rasa cemas. Misalnya, Semaun. Akibat pemogokan VSTP, ia harus berangkat untuk pengasingan ke Belanda pada Agustus 1923. Tetapi sebelum itu ia sempat menghadiri kongres PKI dan SI-Merah pada Maret 1923 di Bandung. Dalam kongres itu, Semaun berpidato: “Semangat komunisme telah tertanam di hati rakyat. Tujuan kita bukanlah mengikuti jejak anarkisme, tetapi jalan menuju komunisme yang sesungguhnya.”[42] Pemimpin eksekutif PKI merasa bahwa partai perlu disiplin, memperkuat kendali partai atas massa, dan terlibat dalam parlemen. Setelah bertahun-tahun berdiri, PKI baru mengadopsi Marxisme dalam statuta partai secara resmi melalui kongres tersebut. Penerapannya tidak berjalan mulus. Kursus Marxis tidak efektif dan ini juga tidak menghentikan aksi terorisme dan agitasi anarkisme dalam pers partai.
Dalam rapat umum 28 Oktober 1923 di Semarang, Darsono mengulang kembali seruan Semaun bahwa partai dalam situasi apa pun tidak boleh jatuh dalam godaan terorisme. Darsono mengatakan, PKI harus mengikuti komunisme Marx, bukan anarkisme Bakunin. Darsono mengatakan bahwa anarkisme adalah paham yang mengajarkan bahwa suatu kelompok yang terdiri dari 100 sampai 200 orang dapat mengambil alih kekuasaan jika mereka berani membunuh raja dan menteri-menteri dengan bom. “Orang yang sudah melempar bom itu adalah orang yang bisa dikatakan berani betul, tidak surut menghadapi tindakan sewenang-wenang. Saya berikan rasa hormat saya pada orang yang sudah menunjukkan keberaniannya dalam menyatakan rasa kemanusiaannya dengan jalan seperti ini,” ujarnya. Walau demikian, menurutnya pemboman “tidak dapat diterima oleh komunis dan tidak sesuai dengan garis politik komunis.” Menurut Shiraishi, Darsono sangat menyadari bahwa propagandis PKI/SI Merah adalah mereka yang melakukan tindakan pemboman dan itu alasan Darsono berhati-hati untuk tidak mencela “anarkis” secara langsung.[43]
Hingga saat ini, belum ditemukan satu pun bukti tertulis anggota PKI yang menyatakan diri sebagai anarkis. Seluruh klaim itu berasal dari anggota partai lain, label oleh media massa, kecurigaan laporan pemerintah, maupun dari kesimpulan sejarawan. Misalnya, McVey menyebut bahwa Pieter Bergsma, anggota VSTP dan sekretaris PKI, punya kecenderungan sindikalis.[44] Untuk buruh pribumi, Leclerc menyebutkan beberapa nama sindikalis: Winanta, Hindromartono, Djokosudjono, dan Semaun.[45] Semuanya merupakan militan serikat buruh kereta api, menolak partisipasi ke parlemen, penganjur aksi langsung, dan semuanya juga pemimpin PKI dalam rentang waktu yang berbeda. Hal ini butuh penelusuran lebih jauh, khususnya masa muda Semaun, kawan seperjuangan Bergsma sebelum menjadi seorang marxis tulen di bawah didikan Sneevliet.
Salah satu pemimpin PKI paling mencolok pada masa ini adalah Herujuwono dari cabang Batavia, yang menurut McVey, paling bersemangat mendorong pemberontakan bersenjata.[46] Kelak, ia memimpin komando pemberontakan di Jawa Barat, yang keputusan itu diambil dalam konferensi Prambanan pada Desember 1925. Di dalam konferensi itu, Sardjono sebagai pengurus pusat PKI dan pembicara lain menjelaskan bahwa masalah telah mencapai titik perlunya membuat rencana nyata untuk pemberontakan. Sardjono menyarankan agar aksi ini dimulai dengan pemogokan dan berujung pada kekerasan yang berkepanjangan, dengan upaya yang dilakukan untuk menarik petani dan tentara ke dalam pemberontakan di pihak Komunis.
Pada tanggal yang sama, kongres VSTP berlangsung di Hotel Pasar-Pon, Surakarta. Para pemimpinnya membahas rencana pemogokan yang akan berujung pada pemberontakan. Risalah dari kongres itu mencantumkan daftar nama tiga puluh dua pemimpin VSTP/PKI yang dianggap menunjukkan kecenderungan anarkis yang berbahaya.[47] McVey lihat hal itu sebagai wujud keprihatinan sang notulen terhadap radikalisme yang tidak bertanggungjawab di dalam organisasi.
Pada akhir tahun 1925, PKI sudah kehilangan banyak pemimpin yang memiliki pemahaman marxis yang baik, seperti Sneevliet, Darsono, Semaun dan Tan Malaka. Semua pemimpin ini telah diasingkan, belum termasuk pemimpin PKI yang dipenjara dan dibuang ke Digoel. Sinar Hindia yang kemudian berubah menjadi Api, yaitu organ resmi PKI yang diterbitkan di Batavia, kemudian di bawah kendali Herujuwono. Dimulai dengan terbitan 2 Januari 1926, Api menerbitkan kutipan dari Bakunin tentang karakter aksi revolusioner, dicetak miring dan besar di halaman pertama; “Hal serupa tidak pernah terjadi saat itu untuk pemikir politik yang lain,” komentar McVey.[48] Panduan ini jelas melanggar peringatan Semaun dan Darsono dua tahun sebelumnya bahwa PKI harus berada dalam garis politik Marx, bukan Bakunin.
Rencana pemberontakan ditentang oleh Tan Malaka. Ia menulis beberapa pamflet yang dengan keras mengkritik bagaimana “para anggota yang berdarah anarkis mengambil jalan sendiri serta membujuk kawan-kawannya.” Ia juga menegaskan: “Aksi-massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan.”[49] Pemberontakan PKI berlangsung singkat dan kacau, mengakibatkan 20 ribu orang ditahan dan dari jumlah itu 1308 orang diasingkan ke kamp Boven Digoel, Papua. Sedangkan 20 orang dieksekusi di seluruh Hindia Belanda. PKI harus bersembunyi dan baru muncul pada tahun 1946, kurang dari setahun setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya.
Setelah pemberontakan PKI 1926, agitasi dan ulasan anarkisme dalam media pergerakan hampir lenyap sama sekali dengan dibuangnya pemberontak ke Digoel. “Kaum anarkis yang anti-parlementer semakin lama semakin susut pengaruhnya dan sekarang hampir tidak berarti lagi,” tulis Mohammad Hatta pada 1931, “sedangkan kaum sosial-demokrat yang berhaluan parlementer semakin lama semakin kuat.”[50] Pada 1951, Sekjen PKI D.N. Aidit dengan percaya diri menyatakan PKI berhaluan bolshevik:
“Selain daripada itu, ini adalah juga restan-restan dari masa silam Partai kita sendiri, zaman di mana elemen-elemen anarkis sedikit-banyak masih berkuasa di dalam partai kita... Tetapi sekarang Partai kita sudah lain.. Berangsur-angsur Partai kita sudah membolshevikan diri, tidak hanya di lapangan politik, ideologi dan organisasi, tetapi juga di lapangan moral.”[51]
Sementara generasi pertama PKI secara terbuka mengutuk anggota PKI dengan kecenderungan anarkisme sebagai penyebab kehancuran gerakan, generasi kedua pada tahun 50-60’an justru sebaliknya. Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit, lembaga sejarah partai menerbitkan buku resmi tentang pemberontakan ini, menyanjungnya sebagai “pemberontakan yang menggoyahkan dasar-dasar kekuatan imperialisme Belanda.”[52] Di dalamnya, tidak disebutkan satu pun tentang pengaruh anarkisme, nihilisme, dan sindikalisme. Mereka mengaburkannya sebagai “intelektual borjuis kecil” yang “kekiri-kirian”. Apa yang menyebabkan penyederhanaan serius macam ini?
Di tengah perebutan pengaruh politik nasional dan ketegangan situasi perang dingin, mereka tidak menyia-nyiakan materi sejarah ini. PKI mengemasnya sebagai wujud sumbangsih kaum komunis yang nyata dalam perjuangan kemerdekaan. Buku resmi partai tentang topik ini menekankannya sebagai pemberontakan berskala nasional pertama, dan bangga atas hal itu. Menyudutkan anarkisme sama saja memberikan panggung pada pengaruh anarkisme dan mengerdilkan tokoh marxis awal (Sneevliet, Darsono, Semaun, Tan Malaka) yang sesungguhnya jadi yang paling gigih menolak dan justru mencoba menggagalkan rencana pemberontakan.
Bagaimana pun, penilaian objektif para sejarawan tahu siapa yang mesti bertanggung jawab. McVey menulis:
“...partai menabur benih kehancurannya sendiri, menunjukkan bahaya akibat terlalu mengandalkan elemen anarkis yang merupakan bagian dari daya tarik komunisme: harga popularitas PKI adalah janji revolusi, dan akhirnya menemukan dirinya memimpin pemberontakan yang para pemimpinnya tahu tidak akan berhasil.”[53]
Banyak sejarawan sepakat bahwa anarkisme ada dalam gerakan rakyat masa itu. Tetapi ia dibingkai semata sebagai “kecenderungan”, atau “penyimpangan”, atau “anasir”, atau Klaas Stutje menyebutnya: “hantu.”[54] Dalam ulasannya atas buku McVey, Harry J. Benda kembali memberi penegasan: “Adalah hantu Bakunin, bukan Lenin, yang mengintai di balik keputusan Prambanan yang menentukan untuk melancarkan pemberontakan bersenjata.”[55]
Dalam hal ini, Indonesia bukan kasus unik. Selama dua dasawarsa pertama abad ke-20, penyebaran anarkisme memungkinkan kita untuk menengok secara sekilas, apa yang Arif Dirlik sebut sebagai “dinamika regional radikalisme”[56] Asia Timur yang berlaku di Jepang, Cina, Korea hingga Vietnam. Dalam istilah Saul Rose, pemikiran dominan di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 disebutnya sebagai “radikal ekstrimisme.”[57] Takashi Shiraishi menyebutnya sebagai “radikalisme populer.”[58] Apa pun istilah para sejarawan, maksudnya kurang lebih sama. Anarkisme memainkan perannya dalam kritik terhadap dominasi, alternatif dari lembaga yang koersif dan eksploitatif, serta konfrontasi terhadap kekuasaan kolonial.
Eksplorasi teori para aktivis komunis awal menghasilkan sebuah fenomena anomali politik yang terpengaruh oleh anarkisme, tetapi di saat bersamaan juga bukanlah gerakan anarkis. Anarkisme telah meninggalkan kesan mendalam (lebih dalam dari yang selama ini saya kira) pada dasawarsa ketiga awal abad ke-20 sebagai tenaga pendorong untuk pemberontakan prematur berskala nasional pertama di Indonesia. Jejaknya terlacak membekas di semua ekspresi blok politik yang eksis, mulai dari Islam (SI), nasionalis (Indische Partij) dan komunis (PKI). Dengan pengertian seperti ini tepat sekiranya anarkisme disebut sebagai hantu.
Notabene
Risalah kongres VSTP yang berlangsung di Hotel Pasar-Pon, Surakarta pada 25-26 Desember 1925 mencantumkan daftar 32 orang petinggi PKI/VSTP dengan kecenderungan anarkisme. Saya tengah mencari akses arsip tersebut dan bakal memperbarui tulisan ini jika mendapatkannya. Sementara pada 9 Agustus 1927, surat kabar De Locomotief di Semarang menerbitkan daftar para buangan ke Boven Digoel. Beberapa diantaranya dari Surakarta, diidentifikasi sebagai anarkis, yakni:
- Kartowihardjo, alias Soewandi (30 tahun), pedagang kain, pengurus Sarekat Ra’jat, anarkis.
- Alisoewarno alias Salim (24 tahun), pencetak kain, anggota Sarekat Buruh Batik Solo, salah satu ketua seksi anarkis PKI.
- Sahirman (20 tahun), mantan pegawai Perusahaan Kereta Api Negara, propagandis Sarekat Ra’jat, sekretaris Sarekat Tani, anarkis.
- Djojosoekarto alias Ismangoen (30 tahun), tukang sepatu, pengurus Sarekat Ra’jat, anarkis.
- Darmosoetjitro alias Darmodjo (40 tahun), tukang stempel, pengurus Sarekat Ra'jat, anarkis.
Tulisan ini dipersembahkan bagi nama-nama di atas, para hantu yang terlewatkan sejarah.
Bima Satria Putra adalah penulis dan peneliti sejarah independen. Tetap berkomitmen untuk menulis meski tengah menjalani 15 tahun hukuman penjara.
Catatan Kaki
[1] Arif Dirlik. “Anarchism and The Question of Place: Thoughts From The Chinese Experience”, dalam Anarchism and Syndicalism in the Colonial and Postcolonial World, 1870–1940 (2010), hlm 134.
[2] Klaas Stutje. “‘Volk van Java, de Russische Revolutie houdt ook lessen in voor U’: Indonesisch socialisme, bolsjewisme, en het spook van het anarchisme” dalam Tijdschrift Voor Geschiedenis (2017), hlm 440.
[3] Bima Satria Putra. Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan: Anarkisme dan Sindikalisme dalam Pergerakan Antikolonial hingga Revolusi Indonesia (1908-1948) (2018), hlm 89.
[4] Saul Rose, Socialism in Southern Asia (1959), hlm 144.
[5] Jeanne S. Mintz, Mohammed, Marx, and Marhaen; the roots of Indonesian socialism (1965), hlm 7.
[6] De Preanger-bode, 1 Januari 1911; De Sumatera Post, 6 Januari 1911.
[7] de Tollenaere. The Politics of Divine Wisdom (1996), hlm 240.
[8] “Awas! Kaoem Joernalist!”, 14 Agustus 1918 di Sinar Hindia. Lihat dalam Journalist Marco (2017), hlm 116-125.
[9] Hendrik M.J. Maier, “Phew! Europeesche beschaving! Marco Kartodikromo's Student Hidjo”, dalam Southeast Asian Studies, Vol.34, No.1, June 1996, hlm 184-210.
[10] Boekoe Sebaran Jang Pertama (1916), brosur oleh Mas Marco Kartodikromo, hlm 9.
[11] de Tollenaere. The Politics of Divine Wisdom (1996), hlm 298-299.
[12] H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perdjuangannya (1952), Jilid 2.
[13] Ibid. Hlm 44.
[14] H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perdjuangannya (1952), Jilid 1. Hlm 36.
[15] Leclerc, Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka (2011), hlm 14.
[16] Lambert Giebels. Soekarno onderdaan: Een biografie 1901-1950 (1999), hlm 79-81.
[17] “Anarchisme” dalam Fikiran Ra’jat, No.2, 8 Juli 1932; juga Fikiran Ra’jat, No.21, 18 November 1932.
[18] Harry A. Poeze. Tan Malaka : Strijder voor Indonesië's Vrijheid : Levensloop van 1897 tot 1945 (1976), hlm 267.
[19] Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (2016), hlm 40.
[20] Alimin. Riwajat Hidupku (1954), hlm 27.
[21] Lembaga Sedjarah PKI. 1961. Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926). Hlm 110-111.
[22] Alimin Prawirodirdjo, Analysis (2015), hlm 39 dan 31.
[23] “Dunia jeung Jaman Anyar” [Dunia dan Zaman Baru], dalam Sora Merdika, Edisi 20, 17 Agustus 1920.
[24] McVey. 1he Rise of Indonesian Communism (2006), hlm 426.
[25] Tjokroaminoto, Islam & Sosialisme (Cetakan V, Tanpa Tahun), hlm 6.
[26] Kahin, “In Memoriam: Mohammad Hatta, (1902-1980)” dalam Indonesia, No.30 (Oktober 1980), hlm 118.
[27] Musso, Jalan Baru untuk Republiek Indonesia (2017), hlm 52.
[28] Jafar Suryomenggolo, Organising under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945‒48 (2013), hlm 63.
[29] Leclerc, Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka (2011), hlm 14.
[30] Dingley, The Peasants' Movement in Indonesia (1927), hlm 57.
[31] Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (2016), hlm 40.
[32] “Russische Nihilisten” dalam Sinar Djawa, 28 Maret 1918; 2 April 1918.
[33] “Merebahkan Pemerintah” dalam Sinar Hindia, 27 Maret 1919. Lihat Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (2016), hlm 97.
[34] “Dunia jeung Jaman Anyar” [Dunia dan Zaman Baru], dalam Sora Merdika, Edisi 20, 17 Agustus 1920.
[35] Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (2016), hlm 40.
[36] “Soesah sekali?” dalam Soeara Ra’jat, No.3-4, 16 dan 28 Februari 1921.
[37] “Akratie” dalam Soeara Ra’jat, No.6, 21 Maret 1921.
[38] “Pembicaraan Buku De Groote denkers der eeuwen”, Sinar Djawa, 22 Desember 1917. Lihat Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (2016), hlm 97.
[39] Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (2016), hlm 40.
[40] Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (2016), hlm 40.
[41] Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942 (1990), hlm 196-198.
[42] Larson, ibid, hlm 369.
[43] Takashi Shiraishi, An Age of Motion (1990), hlm 277-278.
[44] McVey. 1he Rise of Indonesian Communism (2006), hlm 71.
[45] Leclerc, Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka (2011), hlm 13-14.
[46] McVey. 1he Rise of Indonesian Communism (2006), hlm 478.
[47] Risalah Rapat VSTP. 25/26 Desember 1925, Hotel Pasar-Pon, Surakarta (tanpa judul naskah, dalam bahasa Indonesia) hlm. 6-7. Arsip International Institute of Social History. Dikutip dari McVey. 1he Rise of Indonesian Communism (2006), hlm 471.
[48] McVey. 1he Rise of Indonesian Communism (2006), hlm 478.
[49] Tan Malaka, Aksi Massa (2013), hlm 92 dan 99.
[50] Hatta, Kumpulan Karangan (1976), hlm 393.
[51] Aidit, Pilihan Tulisan Djilid 1 (1959), hlm 20.
[52] Lembaga Sedjarah PKI. 1961. Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926). Hlm 8.
[53] McVey. 1he Rise of Indonesian Communism (2006), hlm xiii.
[54] Klaas Stutje. “‘Volk van Java, de Russische Revolutie houdt ook lessen in voor U’: Indonesisch socialisme, bolsjewisme, en het spook van het anarchisme” dalam Tijdschrift Voor Geschiedenis (2017), hlm 440.
[55] Harry J. Benda, “The Rise of Indonesian Communism” dalam The Journal of Asian Studies, Vol.26, No.2, Februari 1967, hlm 343.
[56] Arif Dirlik. “Anarchism and The Question of Place: Thoughts From The Chinese Experience”, dalam Anarchism and Syndicalism in the Colonial and Postcolonial World, 1870–1940 (2010), hlm 134.
[57] Saul Rose, Socialism in Southern Asia (1959), hlm 144.
[58] Takashi Shiraishi, An Age of Motion (1990), hlm 341.