Pustaka Catut
21 min readDec 26, 2023

oleh Bima Satria Putra

“Jika kamu tidak berhati-hati, surat kabar akan membuatmu membenci orang-orang yang tertindas, dan mendukung orang yang menindas.” – Malcolm X

Selama beberapa bulan di akhir tahun 2023, ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya asal Myammar (dulu disebut Burma) begitu merajela. Tapi sangat sedikit pembelaan yang muncul, baik dari kelompok liberal, apalagi yang mengaku dirinya revolusioner. Sepertinya pengungsi Rohingya masih belum jadi isu yang seksi bagi beberapa kelompok progresif yang latah.

Padahal, isu ini jauh lebih mengkhawatirkan. Selain karena kemalangan yang menimpa pengungsi Rohingya, tetapi juga politisasi isunya sampai berujung pada debat mana kandidat presiden yang menerima dan menolak kedatangan pengungsi. Sentimen anti-pengungsi berpeluang jadi bahan bakar bagi tumbuh suburnya fasisme, yakni ideologi yang sepanjang sejarahnya membenarkan otoritarianisme dan penindasan politik dengan mengobarkan kebencian terhadap musuh atau masalah palsu yang dibuat-buat. Strategi ini berguna hanya bagi kelas yang berkuasa karena mengaburkan akar permasalahan krisis kapitalisme yang sebenarnya. Akibatnya, kebencian ini mengalihkan kemarahan kita menjadi tidak tepat sasaran. Ini juga melemahkan kita dan menjauhkan terbangunnya kekuatan rakyat sejati yang mampu menumbangkan dan menuntut kelas penguasa yang bertanggungjawab atas penderitaan kita selama ini.

Balada dari Arakan

“Unsur paling bengis dalam masyarakat adalah ketidaktahuan.” – Emma Goldman

Kelompok etnis Rohingya lahir dari empat gelombang migrasi Muslim dari zaman kuno, abad pertengahan, hingga kolonialisme Inggris terutama di provinsi Rakhine (dulu disebut Arakan). Meski begitu ada juga yang berpendapat bahwa Rohingya adalah keturunan dari populasi pra-Arakan yang telah ada selama 3 ribu tahun dan gelombang Muslim yang berbaur akhirnya membentuk Rohingya modern.

Dipisahkan oleh pegunungan, wilayah Arakan berkembang lebih indipenden dari wilayah Burma lainnya dan memiliki kontak dekat dengan Bengalla. Arakan baru menjadi bagian penuh dari Burma akibat penaklukan Dinasti Konbaung pada 1785 dan tetap demikian hingga negara-bangsa Myanmar modern terbentuk. Selama ini ketegangan dengan mayoritas Bamar Buddha telah menyebabkan diskriminasi dan pelecehan nyaris di tiap rezim. Meski begitu sebagai fenomena modern, ia dipantik akibat perlakuan diskriminatif kolonial Inggris yang menggunakan Muslim India untuk meredam pemberontakan Buddha Myanmar. Ini meninggalkan bekas mendalam terhadap penduduk Burma.

Tumbuhnya nasionalisme Burma diiringi dengan sentimen anti-India dan anti-muslim. Rohingya dituduh pendatang asing dan menjadi target pembalasan yang mematikan pada kerusuhan 1931 dan 1938. Tapi Rohingya bukan satu-satu minoritas etnik yang menderita. Pemimpin etnik Chin, Kachin, dan Shan menandatangani Perjanjian Panglong yang menjanjikan otonomi penuh atas wilayah yang dihuni oleh tiga etnis minoritas tersebut, dengan opsi untuk memisahkan diri dari Burma sepuluh tahun setelah kemerdekaan. Namun, Perjanjian Panglong tidak dihormati oleh pemerintahan U Nu pasca kemerdekaan. Hal ini semakin memperburuk hubungan antara etnis mayoritas Bamar dan banyak etnis minoritas di negara tersebut (termasuk Rohingya), yang menghasilkan perang saudara terpanjang di dunia yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade.

Muslim Rohingya dieksekusi mati dengan tangan terikat dan posisi berlutut pada September 2017 di desa Inn Dinn.

Sebenarnya, ketika Burma merdeka dari Inggris, mayoritas Muslim di negara bagian Rakhine dianggap sebagai warga negara berdasarkan Konstitusi 1948. Tapi dengan Konstitusi 1973 yang baru di bawah kediktatoran militer Jendral Ne Win, Rohingya kehilangan hak kewarganegaraan. Ini disusul dengan UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 yang menolak akses warga Rohingya terhadap pendidikan, pekerjaan, perkawinan, reproduksi, dan kebebasan bergerak. Singkatnya, negara Myanmar mengakui 135 kelompok etnis, kecuali Rohingya.

Secara perlahan, tingkat kekerasan meningkat dalam serangkaian kerusuhan etnis. Pada 1977 penganiayaan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya menyebabkan 200.000 orang mengungsi ke Bangladesh. Lebih dari 260.000 warga Rohingya mengungsi lagi ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan yang mencakup penyitaan tanah, kerja paksa, pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan massal oleh militer Myanmar pada tahun 2001. Kekerasan berlanjut dengan beberapa serangan terhadap desa-desa Muslim yang menyebabkan 140.000 warga Rohingya terpaksa mengungsi, yang menjadi pengungsi internal di Myanmar pada 2013.

Pengungsi Rohingnya melintasi perbatasan Myanmar-Bangladesh pada Oktober 2017.

Ketika Aung San Suu Kyi berkuasa setelah menang telak dalam pemilihan umum, dua kampanye genosida besar-besaran dilakukan oleh militer di bawah pengawasannya pada bulan September 2016 dan Agustus 2017. Kampanye pertama mengusir lebih dari 87.000 orang Rohingya ke Bangladesh dan kemudian disusul oleh lebih dari 754.000 orang. Sebuah survei memperkirakan bahwa genosida Rohingya membunuh sedikitnya 25.000 orang Rohingya, pemerkosaan berkelompok serta bentuk kekerasan seksual lainnya terhadap 18.000 perempuan dan anak perempuan Rohingya. Diperkirakan 116.000 orang Rohingya juga dipukuli dan 36.000 orang lagi dibakar. Semua angka-angka ini dengan cepat disalip oleh pembantaian yang juga tengah berlangsung di Gaza!

Palestina-Rohingya Memikul Beban yang Sama

“Saya benar-benar bebas hanya jika semua umat manusia, laki-laki dan perempuan, sama bebasnya. Kebebasan orang lain tidak meniadakan atau membatasi kebebasan saya, sebaliknya, malah menjadi syarat dan penegasan yang diperlukan.” – Mikhail Bakunin

Myanmar adalah salah satu negara pertama di Asia yang mengakui kemerdekaan Israel dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Keduanya sama-sama merdeka pada 1948. Tetapi lebih dari itu, U Nu, Perdana Menteri pertama Burma, menunjukkan sikap yang sangat simpatik terhadap Israel dan berkunjung pada tahun 1955. Ini dibalas oleh Perdana Menteri Israel pertama, David Ben-Gurion, yang mengunjungi Burma pada tahun 1961. Tangan kotor kedua orang itu jelas berjabatan karena sentimen kebencian yang sama.

Perdana Menteri Burma U Nu melambaikan tangan saat kunjungannya di Tel Aviv.

Selain kerjasama pertanian dan teknologi, perdagangan dan bantuan utama Israel ke Myanmar berkaitan dengan persenjataan dan militer. Israel mengirimkan puluhan pesawat tempur, onderdil serta melatih para pilot Myanmar. Kesepakatan utama lain adalah pengiriman 30 ribu senjata api pada 1954, dua kapal mengangkut misil anti-tank dan pelontar granat pada 1984, dan 500 pistol mitraliur uzi pada 1991. Ini belum termasuk delegasi militer Israel yang membantu di bidang kedokteran militer, organisasi sekolah terjun payung, dan pembelian berbagai meriam. Tambahkan pula tender untuk sistem navigasi canggih, perangkat penglihatan malam, bom berpemandu laser dari berbagai model, dan peningkatan 12 pesawat yang dilengkapi rudal udara-ke-udara. Semua pengetahuan, peralatan dan senjata Israel yang dipakai untuk membantai Palestina ini juga yang dipakai dalam pembantaian Rohingya (dan etnik lainnya) oleh militer Myanmar dan milisi nasionalis Bamar sejak 1977.

Genosida mereda berkat pecahnya perlawanan bersenjata dari kelompok etnik dan aktivis pro-demokrasi, yang membuat junta militer Min Aung Hlaing yang baru menjadi teralihkan waktu dan perhatiannya untuk melanjutkan genosida. Meski begitu, 1,1 juta orang Rohingya kadung melarikan diri ke negara sekitar. Kamp pengungsi terbesar dan terpadat di dunia bukan di Gaza, tapi Kutupalong di Bangladesh, yang menampung hampir 600 ribu pengungsi Rohingya. Badan pengungsi dunia UNHCR sendiri mencatat bahwa jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh adalah 960 ribu orang, di Malaysia 107 ribu orang, dan India 22 ribu orang.

Banyak yang menyalahkan pengungsi Rohingya karena kabur dari penindasan Myanmar, membandingkan mereka dengan perjuangan Palestina. Sama seperti Palestina punya H*mas, Rohingnya juga memiliki Rohingya National Army (RNA) dan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) sebagai kelompok perlawanan. Pengungsi Rohingya tidak ingin meninggalkan tanah airnya (dan bukannya tanpa perlawanan bersenjata). Mereka terpaksa. Andai perbatasan Rafah Mesir pun dibuka, pengungsi Gaza pasti juga sama banyaknya dengan Rohingya. Rohingya dengan penduduk Gaza karena itu belum dapat dibandingkan, sebab penduduk sipil Gaza terkurung, tidak dapat mengungsi dan dibantai ditempat. Sebaliknya Rohingya dapat melintas Bangladesh dengan mudah.

Kebakaran yang melanda kamp pengungsi Bangladesh pada Maret 2021 menewaskan 15 orang dan membuat sekitar 45.000 orang mengungsi. Dalam foto, seorang wanita melihat tempat penampungannya yang hancur sementara api masih berkobar.

Pengungsi Rohingya mengalami diskriminasi serius di semua negara tempat mereka melarikan diri. India menolak membiarkan para pengungsi masuk ke negaranya karena dianggap dapat menimbulkan ancaman keamanan nasional dan telah menangkap dan memenjarakan mereka meskipun UNHCR telah mengeluarkan kartu identitas. Sementara itu, pihak berwenang Bangladesh telah melarang sekolah-sekolah yang didirikan oleh para guru Rohingya akibat kurangnya pendidikan formal dan tingkat menengah di kamp-kamp pengungsi, dan menutup madrasah yang menyediakan pendidikan agama Islam. Sisanya seperti anda ketahui, adalah ujaran kebencian yang menjijikan di Malaysia, Thailand dan Indonesia pada kelompok etnis yang menurut PBB adalah salah satu yang paling teraniaya di dunia.

Apa yang dialami pengungsi Rohingya juga dialami oleh semua pengungsi di seluruh penjuru bumi. Lagi-lagi kita harus membandingkan dengan pengungsi Palestina (dan Asia Barat lainnya) di Eropa. Tapi jangan jauh-jauh. Anda mungkin pernah melihat video orang Palestina di Gaza menangis di antara reruntuhan dan bertanya “dimanakah dunia Arab, kenapa mereka meninggalkan kami?” –yah, begini gambarannya: Jika kita tengok ke Lebanon, negara mayoritas muslim yang menjadi tetangga mereka saja, para pengungsi Palestina telah lama menghadapi diskriminasi di mana mereka dilarang terlibat dalam 39 lapangan pekerjaan, termasuk di bidang kesehatan dan hukum. Mesir mengatakan eksodus massal dari Gaza akan membawa Hamas atau militan Palestina lainnya ke wilayahnya, dan oleh karena itu tidak ada kamp pengungsi di Mesir, meski diperkirakan ada 50-60 ribu pengungsi Palestina di Mesir “yang tidak terlihat” menghadapi diskriminasi, kemiskinan dan ketiadaan akses terhadap layanan dasar.

Rohingya dan Palestina punya masalah yang persis sama: Palestina menjadi korban dari zionis Israel, sementara Rohingya korban dari mayoritas etnis Bamar beragama Buddha di Myanmar. Tanpa analisis yang memadai, kita dapat dengan mudah terhasut menjadikan Yahudi dan Buddha sebagai musuh kita. Tapi harusnya tidak demikian. Masalah utamanya bukan kelompok agama tertentu, melainkan ambisi dari proyek pembentukan negara etno-nasionalis. Oleh karena itu, Myanmar dan Israel (bersama Jerman) adalah contoh sempurna untuk menggemakan kembali peringatan anarkis yang sejak lama mewanti-wanti tentang betapa bahayanya negara.

Di balik kampanye kekerasan militer Myanmar yang menyasar warga sipil secara sistematis, terdapat kisah suram tentang upaya sembrono untuk mendapatkan keuntungan dari pembangunan industri. Genosida Rohingya secara tidak langsung diduga berkaitan dengan jalan tol India-Myanmar-Thailand (IMT) sepanjang 1.400 km yang akan melewati negara bagian Rakhine dan investasi Cina dalam proyek senilai USD 7,3 miliar untuk mengembangkan pelabuhan di Rakhine. Yang paling utama adalah proyek pembangunan pipa gas dan minyak sepanjang 793 km yang menghubungkan Rakhine ke Yunnan, Cina, yang memancing penyitaan tanah ilegal terhadap warga Rohingya dan kerja paksa untuk mempercepat pembangunan pipa. Di Rakhine sendiri diperkirakan terdapat 4,5 triliun kaki kubik cadangan gas lepas pantai.

Dunia Lama Terlalu Banyak Membenci

“Tak seorang pun akan menempatkan anak-anak mereka di perahu kecuali lautan lebih aman ketimbang daratan.” – Warsan Shire

Kebencian yang dihasilkan kepada para pengungsi biasanya adalah kurangnya simpati akibat tidak memahami penderitaan orang lain. Jadi mari kita belajar memahami.

Kondisi keamanan di kamp-kamp Bangladesh yang sesak telah memburuk secara signifikan selama beberapa waktu terakhir. Puluhan kamp di Bangladesh telah menjadi medan pertempuran bagi kelompok-kelompok bersenjata yang bersaing menggunakan pemukiman tersebut sebagai pos untuk menyelundupkan narkoba dan manusia. Polisi mengatakan keamanan di kamp-kamp tersebut semakin memburuk, dengan lebih dari 60 pengungsi tewas dalam perang wilayah dan bentrokan terkait narkoba tahun ini, jumlah tertinggi yang pernah tercatat.

Seorang wanita Rohingya berdiri di air setinggi dada saat banjir tahun 2021. Kamp pengungsi di Bangladesh rentan terhadap bencana alam termasuk banjir, kebakaran, dan tanah longsor.

Hal ini mendorong banyak keluarga pengungsi Rohingya untuk melakukan perjalanan yang sangat berbahaya dalam mencari keselamatan dan stabilitas. Tapi karena mereka tidak memiliki kewarganegaraan, tidak ada jalur legal yang memungkinkan pengungsi Rohingya untuk berpindah-pindah wilayah dengan mudah di kawasan ini. Akibatnya, mereka sering memilih perjalanan perahu berbahaya yang ditawarkan oleh para penyelundup manusia.

Perjalanan dengan kapal dapat memakan waktu berminggu-minggu, sering kali menggunakan kapal yang tidak layak untuk berlayar dan tidak dilengkapi cukup makanan, air bersih, atau sanitasi. UNHCR juga mendapat laporan kekerasan fisik dan seksual di atas kapal. Pengungsi Rohingya terus mencari keselamatan dengan menempuh perjalanan kapal yang berbahaya di laut meskipun telah mengetahui resikonya. Tahun lalu, 2022, adalah salah satu tahun paling mematikan dalam sejarah pergerakan maritim pengungsi Rohingya di Asia Tenggara, dengan 348 orang secara tragis dipastikan tewas atau hilang, termasuk anak-anak.

Sekitar 240 Muslim Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak, terapung di lepas pantai Aceh Utara, Indonesia setelah dua upaya pendaratan diusir oleh penduduk setempat pada November 2023.

Saat saya menulis artikel ini, penduduk Indonesia tengah ramai membincang dan menolak para pengungsi Rohingya yang jumlahnya “sangat mengkhawatirkan”: 1.600 orang. Meski Indonesia menjadi negara yang paling sedikit menampung pengungsi Rohingya (0,1%) dari total 1,1 juta orang Rohingya yang melarikan diri, tapi mungkin kebencian kita jauh lebih banyak –seolah kesengsaraan mereka masih belum cukup. Saya tidak sanggup lama-lama membaca berbagai komentar itu, tapi mereka bisa digolongkan dalam dua jenis.

1. Yang pertama, mendehumanisasi pengungsi sebagai kriminal, entah penyakit masyarakat, sumber masalah, atau stereotip kejahatan lainnya, misalnya, pemerkosa (rape-fugees), pencuri dan pembunuh. Banyak beredar hoax pengungsi Rohingya memperkosa penduduk lokal, merusak tempat pengungsian, berdemonstrasi menuntut wilayah, yang semua sudah dipastikan terbukti tidak benar. Dalam esai ini saya tidak perlu lagi meluruskan fakta, tetapi mengandaikan, bagaimana jika semua tuduhan itu sungguh terjadi?

Negara-negara yang tidak membedakan “imigran ilegal yang tidak terdokumentasi” dengan pengungsi, biasanya melakukan penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap pengungsi, di penjara khusus imigran. Tanpa identifikasi dan dokumen yang tepat, pengungsi secara resmi tidak memiliki status kewarganegaraan, tanpa perlindungan dan pelayanan negara, dan pergerakan mereka sangat dibatasi. Akibatnya, kadang mereka terpaksa tinggal di kamp-kamp liar dan kumuh. Pembatasan akses dan peluang menyingkirkan mereka ke sektor ekonomi informal yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan karena pendapatan mereka sangat tidak stabil.

Dalam situasi seperti itu, pada umumnya kita sepakat (meski saya harus mengutip riset) bahwa masyarakat yang lebih tidak setara cenderung memiliki tingkat kejahatan yang lebih tinggi, serta kepercayaan sosial yang lebih rendah. Pengungsi dan migran, bersama tahanan, minoritas gender dan seksual, dalam hal ini jadi bagian dari komposisi kelompok paling termarjinalkan dari yang termarjinalkan (jika miskin saja susah, bayangkan rasanya menjadi orang asing yang miskin).

Seperti semua manusia, pengungsi juga dapat melakukan tindakan kekerasan ketika mereka berulang kali merasa ditolak oleh sistem. Dengan semakin banyaknya migran yang ditolak status suakanya dan dikembalikan (dideportasi) ke asal mereka, kejahatan yang mereka lakukan mungkin lebih disebabkan oleh rasa frustrasi. Kehilangan rumah, tergusur dan lapar, kehilangan anggota keluarga, dan terasingkan, mendorong para pengungsi ke titik putus asa dan melakukan tindakan yang nekat. Tidak perlu gelar sarjana untuk paham hal ini.

Terlepas dari itu, jumlah kejahatan oleh pengungsi seringkali dilebih-lebihkan atau tidak proporsional. Kita telah terbiasa dengan kejahatan oleh orang dari suku, bangsa atau warga negara yang sama. Akan sangat melelahkan dan menimbulkan lebih banyak konflik jika kita mencecar tiap kejahatan. Oleh karena itu, kejahatan oleh orang kita bukanlah berita. Beda halnya jika ada pendatang yang berbeda melakukannya kejahatan. Hal ini mudah memancing kehebohan dan bakal nampak mencolok, karena kita lebih berani menyalahkan orang dan kelompok yang lebih punya sedikit hubungan dan ikatan dengan kita. Kasus kejahatan itu rentan berbuah jadi hukuman kolektif atas seluruh kelompok etnik: semuanya dianggap “bersalah” akibat persentase tindakan kriminal yang sangat kecil. Motifnya oleh karena itu sangat rasis dan xenofobik.

Saya tidak bermaksud untuk bilang bahwa pengungsi tidak boleh disalahkan atau kesusahan mereka membenarkan kejahatan. Mereka bisa dihukum sebagaimana warga negara yang lain. Yang jadi masalah seringkali karena kita hanya ingin mereka dihukum tetapi di saat bersamaan mereka tidak mendapatkan hak atau akses yang sama seperti kita. Kesetaraan kita melulu soal hukuman. Mungkin kita sedang membenci keadaan kita sendiri sehingga respons cepat kita akan kesamaan dan keadilan adalah menuntut agar pengungsi juga harus merasakan sakit.

2. Jenis-jenis kebencian kedua kurang lebih berhubungan dengan ekonomi. Jika seseorang ingin memantik kebencian etnis, cara termudah untuk melakukannya adalah dengan berkonsentrasi pada cara-cara yang aneh dan menyimpang di mana kelompok lain dianggap sedang mengejar kesenangan. Misalnya, dengan menganggap pengungsi Rohingya datang untuk mengeksploitasi Indonesia atau keramahan masyarakatnya.

Setelah semua kesengsaraan yang mereka hadapi, saya tidak bakal mempermasalahkan jika pengungsi Rohingya makan nasi rendang Padang sementara saya makan mie instan. Tapi itu soal lain. Saya ini sedang berdebat dengan orang-orang yang ingin agar pengungsi tetap ada di bawah standar kesusahan mereka. Jadi saat pengungsi Rohingya melakukan mogok makan untuk menuntut tempat dan makanan layak, muncul tuduhan bahwa pengungsi tidak bersyukur. Artinya, pengungsi tidak boleh dalam keadaan yang sama baik, apalagi yang lebih baik dari kita. Bisa dipastikan orang yang berkata demikian adalah orang yang sama yang akan menghina protes buruh untuk kenaikan upah. Bukankah argumen yang sama dipakai oleh kolonialis Belanda saat berkata bahwa pribumi mestinya bersyukur sebab mereka telah membangun rel kereta api, pelabuhan dan perkebunan di Indonesia?

Bagi saya pribadi, pengungsi dan migran punya hak untuk mogok dan mengajukan tuntutan untuk kehidupan yang lebih layak kepada pemerintahan asing di penjara barunya. Hak yang sama berlaku bagi tahanan lokal di penjara Indonesia mengajukan tuntutan yang sama, juga tuntutan kaum buruh untuk kondisi kerja dan upaya layak di pabriknya. Di Indonesia sendiri telah terjadi 47 kasus kerusuhan penjara selama 2012-2022 untuk perjuangan kondisi penjara yang tidak manusiawi. Jika kepada tahanan warga negara sendiri kondisinya menyedihkan, bisa bayangkan perlakuan aparatur negara ini pada pengungsi asing?

Pengungsi Rohingya di Indonesia bukanlah satu-satunya kelompok pengungsi yang mogok makan. Puluhan pengungsi Suriah dan Palestina yang ditahan di Mesir juga pernah melakukan mogok makan pada 2013. Pengungsi Palestina di Yunani juga mogok makan memprotes kondisi yang kumuh pada 2017 dan pengungsi Palestina di Swedia mogok makan berjuang demi suaka pada 2014. Ratusan pengungsi Uyghur melakukan mogok makan di Thailand pada 2017. Di Amerika Serikat sendiri pemogokan oleh pengungsi dari Amerika Latin dan Asia begitu sering terjadi. Ini bukan masalah adab dan sopan santun, tetapi akibat perlakuan tidak manusiawi di pusat penahanan. Silahkan cari tahu apa yang terjadi dengan tiga buruh migran Indonesia yang tewas di Detensi Tahanan Imigrasi (DTI) Malaysia pada 2022. Jika seseorang sudah berjuang lewat mogok makan, harap maklum: dia tidak punya banyak pilihan dan siap mati menderita demi tuntutannya terpenuhi.

Mereka yang berpendapat bahwa migran-pengungsi harus patuh pada pemerintah asing dan pasrah pada keadaan menyedihkan yang mereka alami, berarti membela logikanya negara dan kapitalisme. Dua struktur ini melembagakan hierarki dan pembagian kelas, memisahkan antara segelintir elit dengan massa, orang kaya dan miskin, penindas dan ditindas. Hierarki punya lapisan penindasan yang beragam, antara yang agak menderita, sangat menderita dan yang paling menderita. Sentimen anti-pengungsi menyalahkan-nyalahkan orang yang berada di lapisan terbawah, tetapi tutup mulut atas orang di lapisan atas yang tidak bekerja tapi mendapatkan kekayaan dengan menghisap hasil kerja orang lain atau dengan cara tidak adil lainnya. Kita dengan demikian melestarikan hierarki, dan yang paling diuntungkan dari hierarki adalah mereka yang berada di lapisan teratas.

Itu sebabnya rasisme juga dipromosikan oleh para kapitalis dan politikus karena membantu memecah belah kelas pekerja. Ketika kelas pekerja terpecah secara ras, mereka tidak mempunyai solidaritas yang diperlukan untuk melawan dan mengalahkan para kapitalis dan politikus. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengalihkan kemarahan yang dirasakan pekerja pribumi terhadap pengangguran dan upah rendah, kepada pekerja imigran yang dikatakan “merebut lapangan pekerjaan”. Rasisme berguna agar pekerja pribumi fokus dalam menyingkirkan calon pekerja saingan sementara di saat bersamaan lapangan pekerjaan dengan upah murah, berbahaya dan tanpa perlindungan tidak dipermasalahkan.

Kebencian yang lain berwujud rasa iri, khawatir dan geram akan ancaman keamanan, dimana komunitas lokal merasa bahwa sumber daya yang langka perlu dialokasikan secara lebih eksklusif untuk komunitas lokal dibandingkan dengan komunitas asing. Padahal sebelum ramai kedatangan pengungsi saja, saudara kita di Pegunungan Yahukimo Papua sedang sekarat akibat kelaparan. Tidak ada jaminan jika pengungsi Rohingya diusir, maka saudara di Papua berhenti kelaparan.

Salah satu argumen untuk menolak membantu Rohingya adalah karena kita mesti memprioritaskan “bangsa Indonesia” terlebih dahulu, karena bangsa ini sendiri tengah dihantam masalah. Padahal jika argumen ini sungguh diterapkan, itu artinya kita tidak akan pernah dapat membantu orang lain sebab tanpa ada perubahan struktural yang berarti, kita tetap memiliki masalah internal. Argumen ini dipakai untuk mencegah bantuan untuk Rohingya, padahal Indonesia paling lancar dalam membantu pengungsi Palestina.

Misalnya, pemerintah telah mengalokasikan Rp 31,9 milyar untuk Palestina. Indonesia sendiri luncurkan pelatihan bisnis bagi pengungsi perempuan Palestina di Yordania. Belum cukup, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memutuskan meningkatkan kontribusi sukarela kepada Palestina sebesar tiga kali lipat melalui Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Desember 2023 ini. Ada sekitar 5.000 pengungsi Palestina di Indonesia (3x lebih banyak ketimbang Rohingya) pada 2019. Salah satu orang Palestina di Indonesia mengakui bahwa negara Indonesia merupakan salah satu negara sahabat yang selalu konsisten mendukung rakyat Palestina: “Tidak hanya secara politik, bahkan di semua level tinggi.” Saya agak curiga bahwa solidaritas kita pada pengungsi jangan-jangan sifatnya agak rasis untuk mereka yang berkulit gelap.

Kita bukannya tidak punya cukup sumber daya untuk dibagi. Sebenarnya, kita punya lebih banyak kekayaan untuk dinikmati oleh semua orang. Hanya saja pemerintah tidak mengutamakan perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya, melainkan terus membiayai mesin pembunuh rakyat. Pemerintah Indonesia lebih buruk dari Israel yang bahkan mengalokasikan 46% anggarannya untuk layanan sosial. Untuk menindas protes ketimbang mendengarkan aspirasi rakyat, negara telah menggelontorkan Rp 150 milyar untuk pengadaan gas air mata pada 2022 saja. Perhatikan anggaran militer dan polisi dalam susunan APBN 2023:

· Kementrian Pertahanan: Rp 131,9 triliun

· Kementrian PUPR: Rp 125,2 triliun

· Polri: Rp 107,8 triliun

· Kementrian Kesehatan: Rp 88,5 triliun

· Kementrian Pendidikan: Rp 80,2 triliun

· Kementrian Sosial: Rp 78,2 triliun

· Kementrian Agama: 70,4 triliun

Jika digabungkan, anggaran tujuh kementrian itu masih tidak mampu melampaui Hartono bersaudara, yaitu Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, sebagai orang terkaya di Indonesia pada 2023 dengan total kekayaan US$48 miliar atau sekitar Rp744 triliun. Seandainya kita menerapkan pajak pendapatan yang lebih besar bagi orang-orang berpendapatan tinggi (pajak progresif) saja, ini dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin. Apalagi data menunjukkan bahwa 10% penduduk Indonesia memiliki sekitar 60% kekayaan nasional. Ini sangat cukup untuk menyisihkan 1% bagi solidaritas pengungsi. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, pemerintah terus menggenjot pengampunan pajak (tax amnesty).

Negara saat ini sedang memberi makan 373 ribu tahanan dan narapidana (hampir separuhnya adalah pengguna atau pengedar narkoba yang dikriminalisasi). Oleh karena itu ketambahan 1.600 saudara baru tidak akan mampu membuat kita jatuh miskin, membuat negara bangkrut, atau menciptakan krisis ekonomi nasional. Permasalahan sebenarnya, sekali lagi, terletak pada konsekuensi dari struktur negara dan kapitalisme yang menyebabkan ketidakadilan distribusi sumber daya dan kesenjangan ekonomi yang ekstrim. Di tengah kemiskinan kita, rasa iri dan cemburu adalah penyakit yang cepat menular.

Solidaritas Tanpa Batas (dan Perbatasan)

“Yang saya maksud dengan semangat anarkis adalah sentimen kemanusiaan yang mendalam, yang bertujuan untuk kebaikan semua orang, kebebasan dan keadilan bagi semua orang, solidaritas dan cinta kasih di antara masyarakat; yang tidak menjadi ciri eksklusif yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mendaku diri anarkis, tapi mampu mengilhami semua orang yang bermurah hati dan berpikiran terbuka.” – Errico Malatesta

Solidaritas kita kepada pengungsi dan migran berangkat dari prinsip anarkisme untuk ketiadaan perbatasan negara (no borders). Perbatasan negara menarik garis tegas, mengasumsikan bahwa ini adalah wilayah kita, dan itu adalah wilayah mereka. Padahal di banyak kasus, “kita-mereka” yang dimaksud di sini, adalah orang-orang di dua sisi perbatasan yang biasanya punya lebih banyak kesamaan ketimbang perbedaan.

Saya kasih contoh: orang Tetun di Timor Barat dan Timor Leste, atau orang Dayak Iban di Kalimantan Barat dengan saudara Iban mereka di Sarawak, Malaysia, atau orang Marind di Merauke dengan Papua Nuigini. Perbatasan dengan ketiga negara itu secara historis merupakan warisan kolonialisme Eropa untuk menandai yang mana wilayah jajahannya Belanda dengan jajahannya Portugal (Timor Leste), Inggris (Serawak), dan Jerman-Inggris (Papua Nuigini). Apa yang membagi dan memecah kita hari ini adalah apa yang orang Eropa lakukan untuk membagi dan memecah kita di masa lalu. Di mata penjajah, kita umpama sebuah kue utuh, yang sebenarnya berada dalam satu loyang yang sama.

Pengungsi Rohingya di perahu dalam upaya mencari tempat aman.

Perbatasan dan konsep kebangsaan telah berupaya membangun pagar pembatas untuk kemanusiaan kita. Bahkan meski dalam kasus ini, jarak dari Aceh ke Myanmar jauh lebih dekat ketimbang ke Surabaya. Kedekatan ini juga mencakup fakta sejarah: Arakan dulunya menjadi jalur penghubung perdagangan dan persebaran Islam dari Arab dan Timur Tengah lewat Laut Andaman menuju ke Aceh, Selat Malaka dan akhirnya ke Jawa. Sulit untuk membayangkan bagaimana Islam dapat menyebar ke Indonesia tanpa melalui perkembangan pesat terlebih dahulu di Arakan, yang rajanya menerima gelar Islam meskipun beragama Buddha, melegalkan penggunaan koin dinar Bengalla, membandingkan diri mereka dengan Sultan dan meniru penguasa Mughal, serta mempekerjakan umat Islam di posisi bergengsi dalam pemerintahan.

Perbatasan negara-bangsa yang terbentuk, yang menentukan bagaimana kita hari ini memperlakukan tanah dan manusia, hanya meneruskan praktik pemusatan kekuasaan kolonial. Saat itu, sebenarnya kolonialisme Eropa mencoba membatasi dan melakukan pasifikasi suku-suku pribumi pemberontak yang menolak untuk dijajah. Ini adalah bagian dari pengendalian dan pengawasan. Di lapangan, perbatasan punya realitas berbeda. Sebuah rumah dua negara yang fenomenal di Nunukan, memiliki ruang tamu di Indonesia dan dapur di Malaysia. Apa yang sungguh memisahkan rumah satu atap itu selain garis khayalan putus-putus di atas peta?

Perbatasan oleh karena itu adalah barang baru. Kita tidak melanggar perbatasan, tetapi perbatasan yang melanggar kita. Saya tidak bermaksud untuk bilang bahwa pada zaman dahulu, tidak terdapat pembagian wilayah adat yang jelas dalam konsep masyarakat adat. Bukan. Leluhur kita juga melakukan klaim atas suatu wilayah, menentukan patoknya berdasarkan tanda khas di alam (pohon, batu, anak sungai tertentu), membaginya antara suku, lalu antara marga atau klan. Tujuannya seringkali adalah untuk memberikan jaminan akan ketersediaan sumber daya bagi keturunannya. Bedanya leluhur kita tidak membangun tembok. Mereka tidak membentuk tentara untuk mengawasi dan berpatroli di perbatasan. Mereka tidak menangkapi tetangga atau memenjarakan orang asing yang melewati perbatasan. Mereka juga tidak mendeportasi. Yang melakukan ini hanyalah aparatus negara-bangsa, yang semakin menjadi-jadi di zaman modern.

Sebaliknya, leluhur kita sangat toleran terhadap pengungsi. Mitologi dan cerita rakyat nusantara diwarnai oleh berbagai kisah kedatangan sekelompok orang asing (terkadang para pengungsi politik) dari negeri yang jauh. Mereka tidak ditangkap atau diusir. Para pendatang malah diterima dan mendapatkan tempat terhormat di masyarakat yang baru. Misalnya, orang Maluku di Kepulauan Kei punya cerita ketika mereka menerima kedatangan rombongan Kasdew dari Bali. Begitu pula, Dayak Tomun di Kalimantan Tengah punya legenda kedatangan Datuak Parpatiah Nan Sabatang asal Minangkabau, yang diperkirakan mengungsi akibat kekuasaan Adityawarman. Orang Visaya di Panay, Filipina punya legenda bahwa mereka kabur dari Kalimantan untuk menghindari penindasan Raja Makatunaw. Suku Baduy juga punya cerita bahwa mereka adalah pasukan Prabu Siliwangi yang melarikan diri saat kerajaan Pajajaran kalah perang.

Leluhur manusia telah bermigrasi selama ribuan tahun, entah mencari peruntungan, kabur dari raja tiran atau perang sipil. Proses ini menghasilkan suatu keberagamaan bahasa yang menakjubkan, yang dalam kasus ekstrim, bisa membuat suatu kampung berbeda bahasa dengan kampung tetangganya. Jauh di pedalaman Kalimantan Barat, suku Dayak Tamambaloh terisolasi secara linguistik karena menuturkan suatu bahasa yang digolongkan ke dalam rumpun bahasa Bugis. Memang, bahasa adalah warisan yang hidup bersama penuturnya. Orang-orang Madagaskar di Afrika hari ini misal, menggunakan bahasa nasional yang akarnya sama dengan rumpun bahasa Barito yang masih digunakan oleh orang Dayak Ma’anyan di Kalimantan Tengah. Semua ini artefak yang menjadi bukti dalam melacak suatu asal-usul dari zaman tanpa perbatasan negara.

Menyalurkan Kemarahan Kita

“Musuh tidak datang naik perahu. Dia datang naik mobil plat merah.”

Saya tidak bisa berpura-pura punya harapan membuncah untuk masa depan revolusioner yang tidak pasti (apalagi utopia pasca-kematian yang disebut “surga”). Sejauh yang saya ketahui, masa depan kita cenderung suram. Saya mendesak anda untuk bersimpati, untuk menjawab partanyaan klise: bagaimana jika anda yang dalam posisi sebagai pengungsi? Sebagai seorang yang pernah menjadi tunawisma, saya tahu rasanya menjadi pengungsi di negeri sendiri. Tapi kesusahan saya tidak menjadi alasan untuk mengumbar kebencian kepada sesama kelas tertindas dari negeri berbeda. Saya tidak menimpakan penderitaan saya pada pengungsi; sebaliknya tangan saya menunjuk pada kelas penguasa.

Di tengah industrialisasi yang menyeret kita pada kepunahan massal keenam, pemerintah terus menyulap hutan hujan menjadi perkebunan dan tambang, hamparan sawah menjadi kawasan pabrik dan menyingkirkan kampung kota menjadi pusat ekonomi yang dikuasai kapitalis. Proses ini berlangsung dengan penggusuran dan perampasan lahan yang terjadi secara terang-terangan, menciptakan gelombang pengungsi lokal dalam jumlah besar yang suaranya tidak mendapat tempat.

Dalam skala global, industrialisasi bertanggungjawab atas krisis iklim yang menjelang, yang membuat permukaan laut meningkat dan menghancurkan komunitas pesisir. Sebagian lagi menghadapi kerusakan ekosistem seperti penggurunan dan deforestasi yang mendorong perpindahan menuju tempat yang lebih layak huni. Masa depan yang lebih memanas secara iklim dan sosial itu akan menjadi tempat yang pas untuk perkembangbiakan kerusuhan rasial, pemberontakan bersenjata, dan akhirnya perang sipil. Siapa bilang bahwa Indonesia tidak bisa berakhir seperti Suriah, Libya dan Myanmar? Menjelang peralihan abad ke-21, sebagian besar wilayah Indonesia pernah menjadi tempat bagi berlangsungnya “kiamat kecil”, dari Aceh, Sampit, kerusuhan anti-Cina, kerusuhan Poso, Ambon, pemberontakan Timor Lesta dan Papua. Ketegangan ini bakal semakin meningkat di masa depan seiring tekanan-tekanan sistemik yang tak tertahankan.

Protes pengungsi Rohingya: "Kami takkan kembali ke Myanmar tanpa hak dan kewarganegaraan kami "

Di tengah industrialisasi yang menyeret kita pada kepunahan massal keenam, pemerintah terus menyulap hutan hujan menjadi perkebunan dan tambang, hamparan sawah menjadi kawasan pabrik dan menyingkirkan kampung kota menjadi pusat ekonomi yang dikuasai kapitalis. Proses ini berlangsung dengan penggusuran dan perampasan lahan yang terjadi secara terang-terangan, menciptakan gelombang pengungsi lokal dalam jumlah besar yang suaranya tidak mendapat tempat.

Kita warga negara Indonesia tengah menghadapi rezim developmentalisme perampas tanah ala Zionis, yang terus melakukan militerisasi macam junta Myanmar. Kita semua dapat bernasib sama dengan Rohingnya. Solidaritas kepada pengungsi oleh karena itu jadi bagian tidak terpisahkan dari praktik politik revolusioner, karena ia juga menyediakan kritik pada negara dan kapital, sekaligus jalan bagi masa depan macam apa yang hendak kita tempuh.

Saya mengusulkan agar pintu kita terbuka lebar dan memberi pengungsi kesempatan untuk berkontribusi kepada masyarakat di mana mereka tinggal. Ini berlangsung sambil berharap pada keberhasilan para pemberontak dan milisi etnik dalam perjuangan melawan kediktatoran militer Myanmar. Semoga perjuangan demokratik itu memberikan pengungsi Rohingya peluang untuk kepulangan secara sukarela bagi yang memilih demikian, sembari membiarkan siapapun yang memilih menetap di tempat yang baru. Kebanyakan pengungsi Rohingya berharap dapat pulang ke Myanmar jika kondisinya memungkinkan. Oleh karena itu, mendeportasi mereka ke negara yang telah mengusir dan membunuh mereka sama saja memberikan hukuman mati.

Kita mesti menolak terbangunnya penjara baru bernama rumah detensi imigran atau kamp pengungsi. Kita harus menolak pendekatan yang memposisikan pengungsi terus-terusan sebagai pengungsi, yang dibuat dalam posisi ketergantungan dan disuapi makanan. Sebaliknya, kita harus percaya mereka juga mampu untuk berdikari, mengurus dan mengembangkan diri pribadi dan kelompok dengan akses, kesempatan dan sumber daya yang memadai. Itu artinya hak kewarganegaraan dan dokumen legal lain jika diperlukan, bantuan modal usaha, lahan pertanian, akses pendidikan, pelatihan bahasa dan kebebasan bergerak. Mereka harus dibiarkan berbaur ketimbang dikurung. Mempertahankan status dan kedudukan mereka sebagai pengungsi sama saja membuat mereka menjadi tahanan: dipenjara, tetapi disalahkan karena tidak mampu mencari makan sendiri. Dalam posisi rentan, pengungsi paling mudah untuk disalahkan. Kerja-kerja solidaritas pengungsi ini juga idealnya dikerjakan oleh relawan yang berdedikasi, bukan pegawai sipil yang diupah tapi nir-empati, hanya bekerja karena menjalankan tugas.

Kita juga mesti menjegal segala macam kebencian yang telah melanggengkan praktik eksploitasi dan dan menggagalkan persatuan kaum tertindas. Ini semua adalah sifat-sifat dari dunia yang lama yang tidak patut dipelihara. Kita harus menyeret surga jatuh ke bumi detik ini juga, dengan segala daya upaya kita, di tempat kita berpijak, sekecil atau sesingkat apapun: sebuah komunitas manusia yang memberi kemerdekaan bagi semua insan. Ini kemewahan yang tidak tersedia di bawah patriarki, rasisme, negara dan kapital.⊛

Saran bacaan

· Azeem Ibrahim. 2018. The Rohingyas: Inside Myanmar's Hidden Genocide. Hurst & Company City. Klik untuk unduh.

· Natural Resources and Ethnic Conflict: A Geo-strategic Understanding of the Rohingya Crisis in Myanmar. Dalam Jadavpur Journal of International Relations, Volume 26, Issue 2.

Apa yang dapat kamu lakukan?

· Kami menganjurkan pemutaran film dokumenter Love and Revolution (2018) karya Yannis Youlountas, yang telah disertai subtitle Bahasa Indonesia di akun channel Youtube Kolektif Anarkis. Film ini memberikan inspirasi yang berharga tentang upaya anarkis Yunani merajut solidaritas dengan para pengungsi Afrika dan Asia Barat, melalui berbagai prakarsa dan infrastruktur di kawasan yang relatif otonom di Exarchia (dijuluki “Exarchistan”), Athena.

· Bagikan tulisan ini, atau cetak yang telah tersedia dalam bentuk pamflet. Kami merekomendasikan ini bagi jaringan anti-otoritarian di jalur timur Sumatra (Aceh-Medan-Pekanbaru-Palembang-Lampung) yang mungkin paling rentan terhadap krisis imigran.

· Cetak stiker “Pengungsi Boleh Masuk” sebagai wujud kampanye solidaritas untuk pengungsi dan migran, menangkis ujaran kebencian yang merajalela, untuk tumbuh suburnya ruang yang menjaga toleransi bagi semua kelompok termarjinalkan.

· Dukung Pustaka Catut terus menulis dan menerbitkan artikel. Ikut berdonasi.

Solidaritas Anarkis untuk Pengungsi Rohingya

Ruáingga Refúji la Anarkíst Ettefáki

ရိုဟင်ဂျာဒုက္ခသည်များနှင့် မင်းမဲ့ဝါဒီ ညီညွတ်ရေး

রোহিঙ্গা শরণার্থীদের সাথে নৈরাজ্যবাদী সংহতি

Pustaka Catut

🏴‍☠️Penerbit anarkis, dikelola dari penjara/ Anarchist publisher, managed from prison/ Editorial anarquista, gestionada desde la cárcel/ 監獄から運営されているアナキスト書籍出版社