Kudambakan Tubuh Indahku: Eksplorasi Perspektif Pandangan Diri (Self-Image) pada Orang dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD)

Adinda Putri Sholikhah
11 min readDec 29, 2023
Source: pexels.com

Pendahuluan

Masa remaja kerap kali dipercaya sebagai masa paling menyenangkan dalam kehidupan. Hal tersebut terwujud dalam bentuk kebebasan yang masih dimiliki oleh individu di masa remaja, seperti mengembangkan hubungan interpersonal dengan mengenal banyak teman (Jannah, 2016). Terlebih pada usia tersebut, individu berada dalam fase transisi menuju dewasa, yang menjadi penentu apakah akan sampai pada titik menjadi dewasa yang sehat atau sebaliknya. Indikator yang dapat mengindikasikan keberhasilan fase transisi adalah terpenuhinya tugas perkembangan remaja, salah satunya yakni mampu menerima keadaan fisik dirinya dengan segala keragaman dan kualitasnya (Jahja, 2011). Namun, tidak semua remaja berhasil untuk melewati fase tersebut dengan baik. Beberapa remaja terjebak dalam obsesi citra tubuh yang ideal, sehingga dirinya terus menerus berusaha memperbaiki kecacatan yang ada pada tubuhnya. Obsesi inilah yang menjadi salah satu kriteria individu tersebut mengalami gangguan dismorfik tubuh (body dysmorphic disorder) (Nourmalita, 2016).

Body dysmorphic disorder (BDD) ditandai dengan adanya perilaku berulang dan/atau tindakan mental yang terjadi sebagai respons terhadap preokupasi (gangguan pikiran yang terlalu terfokus pada suatu hal) dengan cacat atau kekurangan yang dirasakan dalam penampilan fisik (American Psychiatric Association, 2013). Preokupasi yang paling umum muncul pada penderita BDD berkaitan dengan rambut, hidung dan kulit. Namun, setiap bagian tubuh dapat menjadi fokus perhatian (Philips, 2009; Mancuso dkk, 2010). Lebih lanjut, BDD juga dapat diartikan sebagai perasaan ketidakpuasan yang berlebihan terhadap kondisi tubuh, dan timbulnya pikiran negatif yang irasional mengenai keadaan tubuh (Edmawati dkk, 2018). Perasaan ketidakpuasan tersebut seringkali diwujudkan dalam bentuk tindakan kompulsif, seperti melakukan ritual perawatan dengan skin picking atau melukai diri sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan mengubah, mengurangi, atau menghilangkan cacat pada tubuh (Wolrich, 2010). Oleh karena itu, gangguan dismorfik tubuh juga dikategorikan di bawah gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan terkait (OCRDs).

Meskipun BDD termasuk kejadian yang cukup langka untuk dapat dibuktikan secara nyata, prevalensi body dysmorphic disorder terjadi sebanyak 7% dan 15% pada pasien yang melakukan bedah kosmetik, serta 12% pada pasien yang berobat dermatologi (Philips, 2000 dalam Raman dkk, 2014). Gangguan tersebut menimbulkan dampak yang cukup signifikan pada fungsi psikososial. Individu dengan BDD akan lebih senang melajang, menghindari kencan, mengalami penurunan kualitas hubungan yang signifikan, dan hidup terisolasi secara sosial (Phillips, 2004). Dalam aspek fungsi sosial, penderita BDD akan merasakan perasaan sedih, depresi, cemas, khawatir, panik, takut, serta perasaan negatif lainnya saat muncul pikiran negatif tentang penampilannya (Philips, 2009). Oleh karena itu, salah satu dimensi yang menarik untuk dieksplorasi pada penderita BDD adalah sisi perilaku kognitif. Berdasarkan pandangan Veale (2004), diperkirakan bahwa siklus BDD dipicu oleh pikiran negatif, situasi sosial yang mengancam atau ketika citra aktual (mental) dari penampilan seseorang dilihat. Citra mental didefinisikan sebagai ‘isi kesadaran yang memiliki kualitas sensorik (yang nampak), berbeda dengan yang murni verbal atau abstrak’ (Horowitz, 1970 dalam Veale, 2004). Bahkan, dalam penelitian tentang daya tarik wajah (Buhlmann dkk, 2008), peserta BDD terbukti terganggu dalam pemrosesan emosional dan evaluatif negatif dari citra diri. Ketika diminta untuk mengevaluasi daya tarik wajah, peserta BDD cenderung melebih-lebihkan ketampanan orang lain, dan meremehkan daya tarik fisik mereka sendiri (Buhlmann dkk, 2008). Oleh karena itu, esai ini akan mengeksplorasi secara mendalam berkaitan dengan pandangan diri melalui perspektif kognitif penderita body dysmorphic disorder.

Apa yang Terjadi pada Mereka?

Memiliki keindahan fisik seringkali dikaitkan dengan kebahagiaan, kepuasan hidup, kebebasan bersosial, dan beribu ‘beauty privilege’ lainnya. Dengan alasan ini, orang ingin menjadi cantik dan sempurna tanpa cela untuk meningkatkan kualitas hidup serta kepuasan pribadi. Tuntutan akan ketiadaan ‘cacat’ penampilan atau obsesi terhadap kesempurnaan fisik yang berlebihan dapat menjadi gejala BDD. Body dysmorphic disorder adalah suatu gangguan terkait persepsi akan diri (Vashi, 2016). Mereka dengan BDD menganggap hal kecil dari penampilan fisiknya sebagai masalah dan gangguan besar. Misalnya, alis yang terlalu melengkung, lubang hidung terlalu besar, bentuk bibir yang aneh, wajah yang tidak simetris, kerutan wajah, bekas luka, warna kulit, rambut wajah, rambut yang tipis, lipatan mata, dagu, pipi, rahang, dan ribuan hal lainnya bisa menjadi alasan untuk mereka merasa buruk akan penampilannya sendiri.

BDD adalah obsesi yang sangat mengganggu pengidapnya tetapi seringkali dirahasiakan atau tidak terlihat secara kasat mata. Individu dengan BDD sering merasa disalahpahami jika ada komentar terkait fisiknya, meskipun komentar tersebut berupa pujian. Tidak tanggung-tanggung, mereka dengan BDD akan melakukan apapun untuk menyembunyikan ‘kekurangan’ itu. Mereka duduk dalam posisi yang aneh untuk menyembunyikan bagian tubuh, mencungkil kulit yang dianggap merusak penampilan, menghindari kencan dan tempat umum, bahkan rela mengubah banyak bagian dari tubuhnya melalui tindakan medis untuk terus menutupi atau mengatasi pandangan negatif akan diri mereka sendiri.

Banyak klinisi berpendapat bahwa ciri kognitif utama BDD adalah pemikiran berlebihan terkait penampilan ditambah dengan keyakinan bahwa pemikiran tersebut menunjukkan kekurangan.

“Saya terlihat cacat, orang lain memperhatikan dan tertarik pada kekurangan saya, mereka memandang saya tidak menarik dan menilai saya secara negatif, akibatnya penampilan saya membuktikan sesuatu yang negatif pula tentang karakter dan harga diri saya.”

Kurang lebih, itulah isi pikiran individu dengan BDD terkait dirinya sendiri menurut Rosen (1996). BDD juga erat kaitannya dengan pemikiran yang dilebih-lebihkan dan delusi. Individu dengan BDD sangat meyakini pemikiran yang dilebih-lebihkan olehnya akan dirinya sendiri. Keyakinan akan dirinya tersebut mengakar dan dirasa masuk akal meski terkadang mereka juga menyadari bahwa hal tersebut tidaklah benar. Individu dengan BDD juga menunjukkan adanya obsesi. Kondisi BDD ditemukan menyerupai obsesi yang menimbulkan kecemasan, terus-menerus, berulang, dan sulit dikendalikan (Phillips et al., 1995). Individu dengan BDD selalu sibuk memikirkan kesempurnaan, simetri, dan kekhawatiran bahwa ‘ada sesuatu yang tidak beres’ yang juga ditunjukkan dalam perilaku memeriksa berulang-ulang dan mencari kepastian (Phillips & Diaz, 1997).

BDD timbul karena banyak hal yang meliputi faktor biologis, psikologis, dan budaya. Secara biologis, BDD ditemukan memiliki keterkaitan dengan disregulasi serotonin dan gangguan neurologis. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa BDD disebabkan oleh gangguan lobus temporal yang menghasilkan sensasi pembengkakan di seluruh tubuh seseorang sehingga orang tersebut merasa tubuhnya terdistorsi dan menganggapnya begitu (Biby, 1998). Model kognitif perilaku dari BDD juga menjadi sorotan. Model ini mengkolaborasikan faktor budaya, predisposisi biologis, kerentanan psikologis, dan juga pengalaman masa kecil sebagai pemicu timbulnya BDD. Pengalaman traumatis yang melibatkan penampilan fisik seperti perundungan, komentar dan kritik terus menerus terkait fisik, keluarga yang kurang menunjukkan kasih sayang dan penerimaan, pelecehan seksual, dan kondisi lainnya yang menimbulkan rasa takut akan penolakan dapat meningkatkan risiko terjadinya BDD. Faktor budaya terutama perilaku yang menekankan pentingnya penampilan dan daya tarik fisik juga dipercaya memiliki kaitan dengan BDD. Dengan perilaku semacam itu, penampilan fisik berbeda akan dipandang sangat negatif (Biby, 1998). Pembanding-bandingan dengan standar ideal dan tekanan dari umpan balik sosial juga merupakan aspek yang memicu BDD dalam pandangan faktor budaya.

Bagaimana Mereka Melihat Dirinya Sendiri?

Individu dengan BDD terlibat dalam perilaku yang berulang dan memaksa seperti memandangi cermin berulang-ulang, berulang kali berganti pakaian, dan bertanya pada orang lain tentang cacat yang dibayangkan dan kulit. Seperti halnya dengan OCD, BDD sering melibatkan keasyikan dengan simetri dan kesempurnaan. Penderita BDD khawatir bahwa beberapa bagian pada tubuhnya terlihat buruk. Penderita akan melihat bagian tubuh tersebut sebagai area yang cacat, tidak menarik, dan mengerikan hingga menjijikkan. Penderita BDD akan sibuk memikirkan kekurangannya dan dapat menghabiskan waktu setidaknya 3–8 jam perhari.

Munculnya BDD ditandai dengan beberapa hal seperti kekhawatiran yang berlebih pada penampilannya, biasanya pada wajah, contohnya kerutan pada wajah, bulu wajah lebat, hingga bentuk dan ukuran hidung (Davison, 2010). Sebuah studi yang dilakukan pada penderita BDD menerangkan bahwa terdapat beberapa lokasi pada tubuh yang secara umum dianggap memiliki kekurangan yaitu kulit (73%), rambut (56%), hidung (37%), mata (20%), payudara, dada, puting (21%), perut (22%), dan ukuran maupun bentuk wajah (12%) (Phillips, 2005 dalam Butcher, 2010).

Banyak penelitian tentang BDD menggambarkan kondisi ini sebagai ketakutan akan keburukan dan kelainan bentuk. Individu yang didiagnosis dengan BDD akan memandang diri sebagai objek estetis dan memiliki standar artistik tinggi yang tidak realistis, Veale dan Lambrou (2002). Hal ini mungkin karena mereka lebih sensitif secara estetis dibandingkan orang lain. Oleh karena itu, seperti orang dengan kecemasan sosial, mereka memandang dirinya dari perspektif spasial tertentu, yaitu sebagai pengamat luar (miss Clark & Wells, 1995). Dengan demikian, lebih tepatnya seperti orang dengan SAD, mereka memandang diri mereka sendiri dari sudut pandang orang luar. Veale mengusulkan bahwa untuk pasien BDD, “diri” ditandai oleh penampilan dan dipandang sebagai cacat. Persepsi diri diperkirakan bergantung pada informasi yang diperoleh di awal kehidupan, dan terbentuk sebagai hasil interaksi dengan orang-orang penting, serta pengalaman dan ingatan unik. Selain itu, individu dengan BDD merasa bahwa mereka mengalami lebih banyak ejekan dan terdapat korelasi positif antara laporan ejekan dan tingkat keparahan gejala BDD.

Bagaimana Mereka Terlepas dari Gangguan BDD?

Tahap awal untuk mengobati pasien dengan BDD yaitu dengan terapi non-farmakologis dengan cara mengintervensi psikologi pasien yang dilakukan oleh psikolog. Terapi yang dikenal dalam menangani pasien tersebut yaitu dengan pendekatan Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa terapi kognitif-perilaku (CBT) mungkin berpengaruh untuk BDD. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) dirancang untuk membantu individu memperoleh insight terhadap permasalahannya sehingga individu tersebut dapat mengganti pikiran yang terdistorsi menjadi pemikiran rasional sehingga memunculkan perilaku yang adaptif (Spiegler & Guevremont, dalam Siregar & Siregar, 2013) . Spiegler & Guevremont (dalam Siregar & Siregar, 2013) menyatakan bahwa CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara langsung, yaitu ketika individu mengubah pikiran maladaptifnya (maladaptive thought) maka secara tidak langsung juga mengubah tingkah lakunya yang tampak (overt action).

Selain itu, penggunaan CBT juga didukung oleh Yusuf & Setianto (2013) yang berpendapat bahwa upaya untuk menurunkan stres yang disebabkan oleh faktor psikologis adalah melalui Cognitive Behavior Therapy. Cognitive Behavior Therapy adalah sebuah psikoterapi yang menekankan pentingnya peranan kognitif terhadap apa yang kita rasakan dan lakukan. Cognitive Behavior Therapy / CBT adalah terapi yang memfokuskan pada bagaimana mengubah pemikiran atau keyakinan yang negatif (Beck, 1995).

Kebanyakan studi telah meneliti kombinasi komponen kognitif (misalnya, restrukturisasi kognitif yang berfokus pada perubahan asumsi terkait penampilan dan kepercayaan) dengan komponen perilaku, terutama terdiri dari paparan dan pencegahan respon untuk mengurangi penghindaran terhadap sosial dan perilaku kompulsif. Terapi CBT akan berkesinambungan dengan terapi farmakologis yang diberikan. Tujuan dari farmakoterapi pada pasien dengan BDD adalah untuk mengurangi gejala dan morbiditas dengan mencegah komplikasi. Inhibitor reuptake serotonin (SSRI) berguna dalam pengobatan kondisi ini. Untuk sebagian besar, kelas-kelas lain dari obat, termasuk antidepresan trisiklik (TCA), benzodiazepin, neuroleptik, dan antikonvulsan, yield minimal atau tidak ada perbaikan. Secara umum, penggunaan obat dianjurkan dalam hubungannya dengan intervensi psikososial.

Dampak body dysmorphic disorder (BDD) dapat menjadi masalah bagi remaja jika tidak ditangani dengan tepat. Untuk itu perlu adanya intervensi yang bersifat kuratif untuk mengurangi body dysmorphic disorder (BDD) salah satunya melalui konseling kelompok dengan teknik cognitive restructuring. Cognitive restructuring merupakan pendekatan CBT yang bertujuan mengubah pikiran irasional konseli menjadi pikiran yang rasional dan adaptif (Cash et al., dalam Edmawati, Hambali & Hidayah, 2018).

Body dysmorphic disorder dilatarbelakangi terjadi proses kognitif maladaptif yang menyebabkan individu memiliki gambaran diri (self-image) negatif. Hal ini memicu individu sulit menerima keadaan diri dengan berfokus pada kekurangan, keterbatasan, kelemahan yang ada pada diri individu tersebut sehingga memicu rendahnya perasaan menerima diri, kesulitan mencintai diri sendiri dan merasa tidak puas dengan keadaan diri. Apabila masalah tersebut tidak diatasi maka dapat menyebabkan terganggunya penyesuaian diri dan penyesuaian sosial individu sehingga menimbulkan frustasi, berkurangnya kepercayaan diri pada remaja, rendahnya self respect, dan depresi (Edmawati, Hambali & Hidayah, 2018).

Kesimpulan

Memiliki keindahan fisik seringkali dikaitkan dengan kebahagiaan, kepuasan hidup, dan lain sebagainya, sehingga orang ingin menjadi sempurna tanpa cela untuk meningkatkan kualitas hidup serta kepuasan pribadi. Tuntutan berlebihan tersebut dapat menjadi gejala BDD. Body dysmorphic disorder adalah suatu gangguan terkait persepsi akan diri (Vashi, 2016). BDD adalah obsesi yang sangat mengganggu pengidapnya tetapi seringkali dirahasiakan atau tidak terlihat secara kasat mata. Individu dengan BDD sering merasa disalahpahami jika ada komentar terkait fisiknya, meskipun berupa pujian. Orang dengan BDD akan melakukan apapun untuk menyembunyikan ‘kekurangan’. BDD juga erat kaitannya dengan pemikiran yang dilebih-lebihkan, delusi, dan obsesi. BDD timbul karena banyak hal meliputi faktor biologis, psikologis, dan budaya. Model kognitif perilaku dari BDD juga menjadi sorotan, di mana mengkolaborasikan faktor budaya, predisposisi biologis, kerentanan psikologis, dan juga pengalaman masa kecil sebagai pemicu timbulnya BDD. Gejala BDD memiliki kesamaan dengan gejala OCD sehingga terkadang salah didiagnosis sebagai OCD. BDD melibatkan pikiran obsesi yang terus-menerus dan berulang yang menyusahkan dan tidak terkendali. Penderita BDD khawatir bahwa beberapa bagian tubuhnya terlihat buruk dan melihatnya sebagai cacat, tidak menarik, mengerikan hingga menjijikkan. Penderita BDD mampu menghabiskan waktu setidaknya 3–8 jam perhari untuk memikirkan kekurangannya dan bereaksi berlebihan sehingga mempengaruhi kehidupannya. Munculnya BDD ditandai beberapa hal seperti kekhawatiran berlebih pada penampilannya, biasanya pada wajah (Davison, 2010). Veale dan Lambrou (2002) menyatakan bahwa orang yang didiagnosis dengan BDD memandang diri sebagai objek estetis dan memiliki standar artistik tinggi yang tidak realistis. Tahap awal untuk mengobati pasien dengan BDD yaitu dengan terapi non-farmakologis dengan cara mengintervensi psikologi pasien yang dilakukan oleh psikolog. Pendekatan yang dapat digunakan adalah Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) yang dirancang untuk membantu individu memperoleh insight terhadap permasalahannya sehingga dapat mengganti pikiran yang terdistorsi menjadi rasional dan memunculkan perilaku adaptif. Terapi CBT akan berkesinambungan dengan terapi farmakologis yang diberikan. Tujuan farmakoterapi pada pasien dengan BDD adalah mengurangi gejala dan morbiditas dengan mencegah komplikasi. SSRI juga berguna dalam pengobatan kondisi ini. Secara umum, penggunaan obat dianjurkan dalam hubungannya dengan intervensi psikososial. Dampak BDD dapat menjadi masalah bagi remaja jika tidak ditangani dengan tepat sehingga perlu intervensi kuratif salah satunya melalui konseling kelompok dengan teknik cognitive restructuring, yaitu pendekatan CBT yang bertujuan mengubah pikiran irasional konseli menjadi rasional dan adaptif (Cash et al., dalam Edmawati, Hambali & Hidayah, 2018). Apabila masalah pada orang dengan BDD tidak diatasi maka dapat menyebabkan terganggunya penyesuaian diri dan penyesuaian sosial individu dan menimbulkan frustasi, berkurangnya kepercayaan diri, rendahnya self respect, dan depresi (Edmawati, Hambali & Hidayah, 2018).

DAFTAR PUSTAKA

Adlya, S. I., & Zola, N. (2020). Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 4(2). doi : https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/1655220

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.

Baillie, A., Hudson, J., Mond, J., Schneider, S., & Turner, C. (2018). The Classification of Body Dysmorphic Disorder Symptoms in Male and Female Adolescents. Journal of Affective Disorders, 225, 429–437. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.jad.2017.08.062

Buhlmann, U., Etcoff, N. L., & Wilhelm, S. (2008). Facial Attractiveness Ratings And Perfectionism In Body Dysmorphic Disorder And Obsessive-Compulsive Disorder. Journal of Anxiety Disorders, 22(3), 540–547. doi:10.1016/j.janxdis.2007.05.004

Clerkin, E., & Teachman, B. (2008). Perceptual And Cognitive Biases in Individuals with Body Dysmorphic Disorder Symptoms. COGNITION AND EMOTION, 22(7), 1327–339. doi: http://dx.doi.org/10.1080/02699930701766099

Cororve, M., & Gleaves, D. (2001). Body Dysmorphic Disorder: A Review Of Conceptualizations, Assessment, And Treatment Strategies. Clinical Psychology Review, 21(6), 949–970. doi :

https://doi.org/10.1016/S0272-7358(00)00075-1

Edmawati, M. D., Hambali, I., & Hidayah, N. (2018). Keefektifan Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Restructuring untuk Mereduksi Body Dysmorphic Disorder. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 1076–1079.

Jahja, Y. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Prenada Media.

Jannah, M. (2016). Remaja dan Tugas-Tugas Perkembangannya dalam Islam. Jurnal Psikoislamedia, 1(1), 243–255.

Mancuso, S. G., Knoesen, N. P., & Castle, D. J. (2010). Delusional Versus Nondelusional Body Dysmorphic Disorder. Comprehensive Psychiatry, 51(2), 177–182. doi:10.1016/j.comppsych.2009.05.001

McElroy, S., Phillips, K., & Siniscalchi, J. (2004). Depression, Anxiety, Anger, And Somatic Symptoms In Patients With Body Dysmorphic Disorder. Psychiatric Quarterly, 75(4), 309–320. doi : https://doi.org/10.1023/B:PSAQ.0000043507.03596.0d

Nourmalita, M. (2016). Pengaruh Citra Tubuh Terhadap Gejala Body Dysmorphic Disorder Yang Dimediasi Harga Diri Pada Remaja Putri. Psychology Forum UMM. Malang.

Nurlita, D., & Lisiswanti , R.(2016). Body dysmorphic disorder. Jurnal Marority, 5(5), 80–85. doi : https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/928

Phillips, K. A. (2009). Understanding Body Dysmorphic Disorder: An Essential Guide. New York, NY:Oxford University Press.

Phillips, K. A. (2004). Psychosis In Body Dysmorphic Disorder. Journal of Psychiatric Research, 38(1), 63–72. doi:10.1016/S0022–3956(03)00098–0

Prastuti, Endang & Mulyani, Hanifah. (2020). Harga diri dan citra tubuh sebagai prediktor kecenderungan body dysmorphic disorder pada remaja perempuan. Persona:Jurnal Psikologi Indonesia. 9. doi : https://doi.org/10.30996/persona.v9i2.3472

Raman, K., Ponnudurai, R., & Ravindran, O. S. (2014). Body Dysmorphic Disorder: Borderline Category Between Neurosis and Psychosis. Indian Journal of Psychiatry, 56(1). 144–150.

Santoso, M. V., Fauzia, R., & Rusli, R. (2020). Hubungan antara kepuasan citra tubuh dengan kecenderungan body dysmorphic disorder pada wanita dewasa awal di Kota Banjarbaru. Jurnal Kognisia, 2(1), 55–60. doi :

https://ppjp.ulm.ac.id/journals/index.php/kog/article/view/1608

Silver, J., & Reavey, P. (2010). “He’s a good-looking chap aint he?”: Narrative and visualizations of self in body dysmorphic disorder. Social Science & Medicine, 70(10), 1641–1647. doi : https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2009.11.042

Silver, J., Reavey, P., & Anne Fineberg, N. (2010). How do people with body dysmorphic disorder view themselves? A thematic analysis. International journal of psychiatry in clinical practice, 14(3), 190–197. doi: https://doi.org/10.3109/13651501003735492

Veale, D. (2004). Advances In A Cognitive Behavioural Model Of Body Dysmorphic Disorder. Body Image. 1: 113–125.

Wolrich, M. K. (2010). Body Dysmorphic Disorder and Its Significance to Social Work. Clinical Social Work Journal, 39:101–110.

--

--

Adinda Putri Sholikhah
0 Followers

Mahasiswa psikologi yang tertarik dalam berbagai isu dan fenomena terkini seputar dunia psikologi.