Dari Sebuah Tulisan, Maka Kutuliskan
1. Ratu Shima
Di tengah suasana lebaran yang sepi di komplek perumahan, di mana mertua tinggal — untuk menghapus kebosanan saya membaca “Kritik, Fakta, Fiksi”. Buku yang ngawe-awe ketika saya membereskan pakaian yang akan saya bawa mudik ke Cikampek. Saya bersyukur, akhirnya ia terselip diantara lipatan baju, turut menikmati perjalanan yang santai dengan motor dari Bandung.
Mendung menggayut di langit, namun hujan rasanya berbelas kasih pada pemudik. Hanya rintik sebentar di sepanjang perjalanan, jadilah ini perjalanan yang sangat mengasyikkan. Jalanan sepi, entah di tol, saya nggak mau berpusing dengan berita-berita di lini masa. Hanya berdoa, semoga mereka para pemudik itu bergembira di jalan. Membayangkan suka ria di kampung halaman. Bertemu teman masa kecil, melihat perubahan-perubahan yang terjadi, mencicipi masakan orang terkasih, atau kalau perlu lupakan rasa malu untuk bermain-main di sawah sembari mengajak anak-anaknya.
Berjarak 3 jam perjalanan dari Bandung, cuaca Cikampek 180 derajat berkebalikan dengan Bandung. Rasa kering di tenggorokan seketika hinggap. Untungnya istri yang saya bonceng takut dengan kecepatan motor. Sehingga motor hanya melaju dengan kecepatan maksimum 60 km/jam. Dan menjadi berkah ketika sampai di Cikampek, energi tak terkuras karena yak-yak-an di jalan.
Sore hari pada 1 Syawal, saya nikmati bermotor ke Utara Cikampek. Menghapus kebosanan menghadapi meja tamu yang sesak dengan keler kue kering, dan Marjan dengan es batu yang tak juga menghilangkan haus. Utara Cikampek yang asri dengan sawah luas, udara yang bertiup sepoi-sepoi menjadi obat jitu pada gerah yang mendera. Mata juga menjadi nyaman dengan pemandangan alam terbuka. Sayang sekali panen raya tampaknya sudah berlalu beberapa pekan di belakang. Tapi cukuplah, hamparan sawah dengan sisa batang padi yang telah dipotong, dan bebek-bebek yang bernyanyi menjadi penghiburan. Saya dan istri menikmati perjalanan sore.
Melewati jalan yang mulus di tengah sawah, dan kawanan burung yang sesekali turun di pematang. Dalam perjalanan, melihat buah pembangunan, tiba-tiba terlintas sebuah tulisan Bung “Bre Redana” di buku “Kritik, Fakta, Fiksi”. Sebuah judul di buku itu terlintas, “Ratu Shima”.
Sependapat dengan beliau, jika saja pada setiap proyek yang berlabel pembangunan itu tidak menjadi ajang korupsi. Jika para pelaku korupsi mendapatkan hukuman sebagai mana penguasa Kalingga memperlakukan para kriminal. Jika saja-jika saja yang berputar-putar di kepala menemani suara mesin motor yang laju. Bisa dibayangkan kemakmuran yang kita rasakan.
Tanpa terasa saya sampai di Pasar Wadas, Karawang. Tertarik dengan gerobak mie ayam dan bakso yang penuh pembeli. Saya parkirkan motor dan mengambil tempat di kursi yang tersisa. Memesan semangkok mie ayam dan semangkok bakso, sembari memperhatikan mobil dan motor berdesakan di perempatan. Lihatlah, entah apa yang menjadi sebab orang-orang merasa ingin didahulukan. Mengapa mereka menjadi orang yang ingin dikemudiankan pada kematian?.
Saya mengunyah mie ayam dengan perlahan. Saya kembali teringat buku yang ngawe-awe itu. Saya ingin rebahan di kursi beranda rumah sembari membaca satu judul di buku itu. Mungkin Ratu Shima akan saya baca ulang.