Perfect Human —

Ayiii
4 min readDec 2, 2022

Setelah tertidur terlalu lama, akhirnya Eren membuka matanya. Netranya mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk,

“Papa?!” Lengan kecil mengenggam lengan Eren.

“R-aiden,” lirih Eren.

Ia mencoba untuk bangkit, Raiden menahan pergerakan Eren, “Papa jangan gerak dulu, sebentar Iden panggilin dulu dokternya.”

Raiden menekan tombol yang sudah di ajarkan Mikasa, tak lama setelahnya dokterpun datang memeriksa Eren.

“Papa sehat kan, om?” tanya Raiden.

Dokter Shirabu tersenyum teduh, ia mengelus surai Raiden, “Papa kamu sehat, cuman masih harus di rawat dulu ya, buat pemulihan.” ucapnya.

Raiden hanya mengangguk sembari mengucap terimakasih, dokter Shirabu berpamitan. Kini di ruangan itu hanya tinggal Eren dan Raiden.

“Yang bawa papa ke sini siapa?” tanya Eren

“Tante Marisa,” jawab Raiden, dengan lengan yang sibuk mengaduk bubur, lalu menyendokkannya pada mulut Eren.

Alih-alih mendengar jawaban si kecil Eren malah terfokus pada kegiatan yang sedang Raiden lakukan. Lengan kecilnya berusaha menyendokan bubur tersebut ke arah mulutnya, dengan tubuh kecilhya tentu Raiden tidak akan sampai, meskipun si kecil itu sudah menaiki kursi. Eren terkekeh kecil, dia memangku Raiden, memindahkan anaknya ke atas ranjang, lalu dengan mudah Raiden menyuapi Eren.

“Makan pa, jangan sakit lagi. Iden takut sendirian.” ujar Raiden.

Eren terpaku mendengar ucapan Raiden. Tega sekali dirinya mencoba mengakhiri hidup tanpa memikirkan Raiden,

“Maafin papa ya, Iden,” Eren mengelus surai Raiden dengan sayang.

Benar, kenapa dirinya malah bersikap bodoh, harusnya dia menjaga Raiden dengan sepenuh hati. Raiden adalah peninggalan berharga dari Mikasa, bisa bisanya dia akan membuat Raiden menderita. Raiden masih sangat kecil untuk hidup sendirian, dan dia tidak akan pernah sanggup.

Ayah dan Anak itu berbicara berbagai hal, Raiden bercerita bagaimana Tante Marisa mengajarinya berbagai hal, menceritakan tentang luar angkasa dan lautan pada Raiden. Eren hanya bisa mendengarkan cerita puteranya dengan penuh syukur. Siapapun tante Marisa itu, dia benar-benar berterimakasih karena telah memberikan apa yang Raiden butuhkan.

Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka, “Raiden?” panggilnya.

Eren mematung mendengar suara itu. Lalu, presensi mulai nampak di hadapan Eren.

“Mikasa?” lirih Eren.

“Tante, papa udah bangun. Aku udah suapin papa, kata dokter papa udah sehat, tapi harus tetep disini buat pemulihan!!” Mikasa tersenyum kecil,

“Makasih ya Raiden. Raiden udah makan? mau tante suapi?” tanya Mikasa.

“Raiden bisa sendiri tante,” Raiden turun dari ranjang rumah sakit itu, dia menghampiri Mikasa yang duduk di sofa, dan mulai mengambil makanan yang diberikan Mikasa.

Mikasa beralih pada Eren, wanita cantik itu mendekati Eren,

“Ada yang sakit?” tanya Mikasa lembut.

Eren terdiam, “Eren?” panggilnya.

“Bohongkan?” gumam Eren.

“Ini mimpi kan? gak mungkin Mikasa ada di sini.”

Mikasa memegang lengan Eren, “Ini aku, kalau kamu ada yang sakit bilang ya.”

“Kenapa?”

“Kenapa kamu di sini, kenapa kamu masih mau ketemu sama aku, kenapa Mikasa?” Eren menatap Mikasa dengan air wajah yang sulit di artikan, sedih, rindu, perasaan bersalah, semuanya bercampur menjadi satu.

“Aku cuman mau kamu sembuh, kamu punya kewajiban ngurusin Raiden, kalau kamu ga bisa ngurusin diri kamu sendiri, gimana bisa kamu ngebesarin Raiden.” ucap Mikasa

“Kamu bisa aja bawa Raiden pergi, tanpa harus ngurusin aku.”

“Dan biarin Raiden nangisin papanya? aku ga se tega itu buat misahin Raiden sama papanya.”

Eren mendengus kasar, kalimat yang Mikasa ucapkan bagai sindiran utuknya.

“Tapi aku tega misahin kamu sama Raiden, padahal kamu mamanya.”

“Karna aku bukan kamu, dan aku ga akan pernah ngelakuin hal hina kaya yang pernah kamu lakuin,”

“Kamu ga lagi mau balas dendam kan, Sa?”

Mikasa tertawa culas mendengar pertanyaan dari Eren,

“Balas dendam buat apa? toh kamu udah dapet balasannya. Kalau aku yang balas dendam gaa akan mungkin setimpal, tapi Tuhan tau gimana caranya bales kejahatan kamu.”

“Kalau aku balas dendam, itu artinya aku sama kamu sama aja. Dan aku ga mau disamain sama kamu,”

Eren terdiam, tidak ada lagi perdebatan antara Eren dan Mikasa. Mikasa tengah sibuk membersihkan baju Eren yang kotor karena tumpahan bubur, dan Eren hanya diam sembari mengamati pergerakan Mikasa.

Andai saja, andai jika dirinya tidak melakukan kejahatan bersama Historia mungkin dirinya tidak perlu malu untuk ini, mungkin sekarang dia akan hidup bahagia dengan Mikasa dan Raiden.

Tentang Historia, wanita itu pergi setelah mendapat kabar jika Eren tidak sesempurna dulu, dia bilang tidak sanggup harus mengurus manusia cacat sepertinya. Jika Historia yang mencintainya saja tidak sanggup, lantas, kenapa Mikasa masih di sini? merawatnya?

Eren baru sadar, ternyata, satu satunya wanita yang menerima Eren dengan segala kekurangannya hanyalah Mikasa, tidak ada wanita yang lebih baik dari Mikasa, bahkan ibunya pun tidak pernah mau mengurusi Eren yang sudah cacat dan tidak berdaya ini.

Mikasa benar-benar malaikat, manusia sempurna yang pernah Eren patahkan. Fakta bahwa Eren pernah mematahkannya tidak membuat Mikasa mengabaikannya.

Hatinya benar murni, Eren sangat malu, bagaimana bisa dirinya bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa apa dan membiarkan Mikasa merawatanya?

“Kamu bisa pulang, aku bisa ngurus diri sendiri kok, Sa.” ujar Eren tiba-tiba.

“Orang yang bisa ngurus dirinya sendiri ga akan pernah minum obat tidur dengan dosis yang banyak,”

Eren lagi lagi terdiam, dia memang membutuhkan Mikasa, membutuhkan setidaknya satu orang yang melihatnya, membantunya.

“Sa, aku layak ya dapet hal ini dari kamu?”

“Layak gak layaknya gimana kamu aja. Aku ngurusin kamu karena rasa kemanusiaan aku aja sih, terlebih kamu punya Raiden. Aku ga mau anak aku di urus sama orang gila, jadi tolong pertahanin kewarasan kamu. Dan jangan berfikiran mau mati. Raiden masih butuh kamu, Raiden masih pengen diperhatiin kamu.”

“Makasih,”

lirih Eren, dia sudah tidka bisa membalas apapun lagi, maka yang bisa dia lakukan hanya terdiam sembari merenungkan kesalahannya.

--

--