Urgensi berkemahasiswaan: Diantara Minat dan Panggilan Hati

Wawancara bersama Ananda Rajendra Dwiputranto ( Dirjen Formasi Kementerian EPKM KM ITB)

Raden Dizi Assyafadi Putra
5 min readJul 6, 2022
Kongres KM ITB sumber: https://km.itb.ac.id/kongres/

Mahasiswa, seseorang yang menempuh pendidikan tinggi, seseorang yang memiliki privilege yang belum tentu dimiliki oleh semua orang, seorang penggerak. Banyak sekali definisi dalam menjadi mahasiswa dan tentu saja banyak pula cara dalam menjadi seorang mahasiswa.

Mahasiswa bukan hanya seorang yang terikat dengan kewajibannya terhadap universitas atau institut, namun juga kewajibannya terhadap lingkungan dan negerinya. Obligasi mahasiswa ini memunculkan beberapa pertanyaan dibenak saya dan mungkin kita semua. “Apa sebenarnya esensi dalam berkemahasiswaan? Apa benefitnya bagi diri kita? Bagaimana cara kita berkontribusi dalam mewujudkan idealisme tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya berbincang dengan salah satu stakeholder di KM ITB, yaitu Ananda Rajendra dari Teknik Sipil 2020 yang juga akrab disapa Rajen.

Panggilan Hati untuk berkemahasiswaan

“Kenapa akhirnya aktif di kabinet dan kesenatoran?”

“Panggilan hati.”

Itulah jawaban beliau atas pertanyaan yang terkesan lazim ditanyakan tersebut. Saya bertanya kembali, “Panggilan hati seperti apa yang anda rasakan?”

Awalnya ia mengikuti beberapa organisasi/departemen atau menjadi bagian dari BP Organisasi. Kemudian saat memasuki tahun kedua, ia menjadi bagian dari Himpunan Mahasiswa Sipil. Dari sana, banyak sekali pertanyaan yang terlontar dari benaknya.

Menurut beliau, berkemahasiswaan itu dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam maupun luar kampus. Namun, saat itu Kak Rajen melihat bahwa atmosfir kemahasiswaan sudah lumayan mati.

Melihat keadaan tersebut, beliau mendapat panggilan hati. Panggilan untuk berkontribusi untuk kampus.

“Gimana mau benerin negara sendiri kalau kampus sendiri belum bener?” ketusnya.

Dari sana, muncul ketertarikan untuk menjadi bagian Kesenatoran Kongres KM ITB. Kongres adalah bagian tertinggi dari struktur KM ITB. Kongres bisa menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi terutama untuk meluruskan hal-hal yang tidak selaras, karena itu menjadi bagian dari kongres merupakan suatu hal yang baik.

Akhirnya ia memutuskan untuk magang di kesenatoran yang setelah dijalani ternyata “enjoy, bisa stabil, dan kalau bosen bisa ke EPKM atau wisuda himpunan, ama acara BP. ” Tidak banyak yang berminat menjadi bagian Kesenatoran karena pemikiran bahwa mengurus kampus itu tidak penting. Padahal di balik itu banyak sekali urgensi yang bisa melibatkan banyak orang, terutama jika orang tidak lagi peduli akan suatu isu atau masalah.

Kak rajen ternyata juga tertarik akan isu kesehatan mental. Oleh karena itu, ia juga mengikuti kegiatan-kegiatan Kabinet KM ITB yang berhubungan dengan mental health.

Awalnya beliau mengikuti magang di Kabinet KM ITB. Lalu setelah beberapa proyek dan juga ketertarikannya, beliau diangkat menjadi Dirjen Formasi EPKM ITB.

Lalu, bagaimana beliau mengemban kedua jabatan krusial tersebut secara bersamaan? Kak Rajen mengatakan bahwa kita perlu bekal, percaya diri, belajar dari orang lain, dan nanya kalau enggak tau. “Ngikutin alirannya aja, apa yang bakal dipakai. Pahamin peran sebagai mahasiswa. Datengnya dari hati. Pikirin konsekuensinya kalau mau ngambil sesuatu.”

Saat ini, kak Rajen menjabat sebagai Wakil Senator HMS Kongres KM ITB dan Dirjen Formasi Kementerian EPKM KM ITB.

Esensi dari berkemahasiswaan

Merujuk pada keempat poin dari Sense of Community, Kak Rajen menitikberatkan pada poin ke-4 yaitu, ikatan emosional. Emotional connection berarti menumbuhkan rasa percaya satu sama lain, bukan sebagai profesional, tapi sebagai teman atau sahabat. Semua itu dibangun dari hati ke hati. Hal ini tuh penting sekali dan sangat esensial. Kalau kerja hanya secara formal, tidak akan ada emotional connection. Emotional Connection sangat penting karena jika sudah terpenuhi, “ngebangun dan berbincang hati ke hati tuh enak, bisa tau kebutuhan orang, orangnya bisa ngungkapin gagasan.” Bagi dirinya, atasan berperan sebagai teman/sahabat juga, bukan hanya sebagai pemimpin.

Hal itu menjadi esensi terbesar yang didapatkan dalam berkemahasiswaan. Setiap kegiatan yang dilakukan pada lingkungan yang mendukung dan aktif membuat setiap kegiatan menjadi terorganisir dan fun untuk dijalani.

“Berkemahasiswaan tu kewajiban atau hak?”

“Engga dua-duanya”

Setiap orang ada yang masuk kampus, namun tidak peduli dengan kemahasiswaan, dan itu juga tidak salah. Mungkin saja dia memiliki kesibukan/hal lain yang lebih penting. Itu tidak dapat kita nilai. Kalau kemahasiswaan dijadikan kewajiban, itu karena kita mahasiswa dan memang harusnya melakukan kegiatan kemahasiswaan. Belum tentu orang yang kita kira tidak ikut kemahasiswaan itu sebenarnya tidak berkemahasiswaan. Dia mungkin saja menjalani posisi dia sebagai mahasiswa dan akan menjalani peran saat nanti lulus. Semua ini hanya masalah waktu.

PoPoPe?

Topik penting yang mungkin dibahas dalam wawancara ini adalah mengenai Posisi, Potensi, dan Peran Mahasiswa.

Menurut Kak Rajen, Posisi itu tentang bagaimana kita memposisikan diri, cara menempatkan diri. Contohnya seperti harus bisa memposisikan diri sebagai masyarakat, jangan ngerasa lebih hebat dan advanced dibandingkan dengan mereka karena pada akhirnya kita bakal kembali ke masyarakat.

Potensi itu hal yang suatu hal yang dapat dikembangkan dari posisi. Contohnya seperti bisa bermanfaat di masyarakat. Menjadi mediator, katalisator di masyarakat, bisa membantu posisi di masyarakat. Kewajiban itu adalah potensi yang dapat dikembangkan. Key result kita dapat menjadi potensi.

Peran. Keberlangsungan, bagaimana kita memaksimalkan posisi dan potensi. Sebenarnya ada alasan mengapa posisi ditaruh duluan, lalu potensi, dan terakhir peran. Kalau urutan tersebut dibalik, nanti kita tidak dapat mengetahui posisi kita sebagai apa dan dimana. Kalau hal tersebut saja tidak dapat kita identifikasi, tentu saja dampaknya buruk bagi lingkungan sekitar kita.

Kita tumbuh bersama masyarakat, kita membantu dan sadar bahwa kita punya kemampuan lebih, namun strata kita tidak lebih tinggi daripada mereka. Kita bisa membantu mengarahkan mereka, bukan provokasi. Ada konsekuensinya juga dari hal yang kita lakukan sehingga kita harus tahu apa dampaknya untuk diri sendiri, lingkungan, dan orang yang terlibat di dalamnya.

Urgensi Berkemahasiswaan?

Lalu apa esensinya?

Menurut Kak Rajen, Urgensi dalam berkemahasiswaan adalah sebagai wadah aspirasi, wadah untuk menyampaikan pendapat. Mahasiswa adalah bagian penting masyarakat karena suara mahasiswa dapat berpengaruh terhadap pandangan rakyat terhadap penguasa.

Berkemahasiswaan itu adalah ketika kita mencoba melakukan aktivitas bersama mahasiswa lain dan itu merupakan sebuah pilihan. Karena sekarang kemahasiswaan semakin redup, Mahasiswa harus “dipanasin” sehingga semangat berkemahasiswaan dapat kembali lagi.

Merujuk kembali ke PoPoPe, Kak Rajen memberi banyak contoh implementasi yang dapat kita lakukan.

  1. Posisi.” Kalau ngambil staff di kepanitiaan/organisasi, tapi posisinya disana tuh bukan staff, kita tetep bisa narahin. Mahasiswa tuh kayak kadiv, yang ngarahin, tapi sebenernya mereka setara aja. Staff bisa bantu kadiv.”
  2. Potensi. “Lihat jobdesknya. Apa yang bisa dikembangin dari jobdesk yang ada, apa yang bisa dikembangin/ diperbaiki. Potensinya bisa semua, tapi jangan jadi egois/ngerasa lebih. Misal jadi staff, jangan jadi semena mena dan ngelangkahin kadiv”
  3. Peran. “Tergantung posisinya, tergantung perannya. Bertanggung jawab, inget lagi potensinya dan jalanin perannya semaksimal mungkin. Peran itu ibaratnya cerminan diri. Ini yang keliatan sama orang orang.Kalau mau gali semangat kemahasiswaan, maksimalin apa itu mahasiswa, gimana cara apply itu. Kita menghargai orang, kerja sama, komunikasi, berdampak ke orang lain juga sebagai peran. Harus punya suara penting, dimaksimalin. Kalau tau peran harusnya tau cara ngatur emosi, enggak boleh ngelibatin emosi pas jalanin semua itu. Kebanyakan keresahannya jadi egosentris dan berpusat ke diri kita. Itu enggak sesuai sama posisi kalau jadi staff ngeliat kadiv, kabid, ketuanya, kalau ketua jadi cara ngebimbing bawahnya.

Setelah wawancara tersebut, banyak pertanyaan saya yang akhirnya terjawab. Keinginan untuk menjadi pemantik api kemahasiswaan, menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari kita. Kita memiliki privilige untuk melakukan hal tersebut dan selayaknya kita berkontribusi demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Diantara Minat dan Panggilan Hati, akan kita temukan asa untuk memprakarsai perubahan.

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater.

Dokumentasi Wawancara Sumber: Dokumentasi Pribadi

Artikel ditulis oleh Raden Dizi Assyafadi Putra|Kelompok 100|Bata 10

--

--