Menelaah Ketidakterbatasan dan Multiverse dalam Kajian Kosmologi

Rafi C. Razikin
7 min readDec 10, 2022

--

Diskusi kosmologi berawal dari pertanyaan mendasar mengenai asal-usul alam semesta hingga menyentuh keluasan alam semesta. Dalam penelusuran keluasan alam semesta terbentuklah konsep ketidakterbatasan (The Infinity Turn) alam semesta; secara singkat, konsep ini muncul akibat pengaplikasian konsep tak terhingga dari matematika pada alam semesta. Penghitungan tak terhingga dicetuskan untuk pengukuran nilai hitung yang tidak bisa dijelaskan secara pasti dalam hitungan matematis sehingga hasil penghitungan yang tidak bisa dirumuskan dalam angka pasti ditentukan nilainya menjadi nilai tak terhingga. Tak terhingga berarti tidak memiliki batas ketentuan, dengan demikian konsep tak terhingga memiliki kesamaan makna dengan tak terbatasan. Dalam hal alam semesta, teori ketidakterbatasan alam semesta menyatakan bahwa luas dari alam semesta tidak memiliki patokan tertentu yang bisa diobservasi oleh alat saintifik sehingga mengindikasikan ketidakterbatasan alam semesta.

Distingsi antara keterbatasan dan ketidakterbatasan dicoba jawab oleh kajian kosmologi dalam kajian ruang dan tempat (space and place). Isu ketidakterbatasan berawal dari tes empirikal yang tidak dapat menjangkau sesuatu hal yang tidak dapat teramati (unobservable), sedangkan suatu hal yang dapat diamati adalah entitas yang telah terobservasi secara empirik. Apa yang disebut tidak dapat diamati? Tavakol dan Gironi (2017) mengemukakan sesuatu yang tidak dapat diamati merupakan variabel atau konsep yang memasuki penjelasan teoritis tanpa mitra yang dimanifestasikan secara fenomenologis, atau entitas teoritis yang terletak di luar batas observabilitas saat ini, tentang mana teori yang dimaksud diambil untuk membuat klaim yang benar dan yang memainkan peran kausal-penjelasan yang sangat diperlukan. Selanjutnya, entitas yang tidak termasuk dalam definisi teramati (unobservable) tersebut dinamakan sebagai Entitas Teoritis yang tidak dapat diamati (Unobservable Theoretical Entities ‘UTEs’), UTEs dapat diperlakukan sebagai teori yang lengkap atau benar secara harfiah, khususnya para realis yang menyatakan asalkan teori tentang keberadaan entitas telah mampu menjadi jelas untuk pengamatan saat ini dengan domain penerapanya. Entitas teoritis yang tidak dapat diobservasi (UTE) ini dibagi secara luas menjadi empat kategori, yaitu (i) entitas yang tidak dapat diamati pada zaman tertentu, tetapi kemudian menjadi dapat diamati, misalnya Partikel Subatomik (elektron), (ii) Konsep-konsep yang tidak dapat diservis menurut definisi atau dapat dikonstruksi, tetapi mengarah pada konsekuensi yang. diamati, misalnya fungsi gelombang dalam mekanika kuantum, (iii) UTE Spekulatif yang dipanggil sebagai ekstensi metafisik dari teori yang sukses dan prediktif untuk memberikan interpretasi alternatif tentang bagaimana teori tersebut dapat menjelaskan pengamatan tertentu, misalnya Many World Interpretation dari mekanika kuantum, dan (iv) UTE Spekulatif yang dipanggil untuk menjelaskan aspek yang diamati dari Alam Semesta dalam teori yang tidak lengkap, misalnya String Theory.

Kajian tentang entitas teramati dalam kosmologi masuk dalam wacana keluasan alam semesta yang dianggap tidak terbatas, dunia yang mana tidak dapat teramati ini adalah wujud dari desain ketidakterbatasan alam semesta. Dalam kosmologi modern, penelitian aspek ketidakterbatasan alam semesta harus teruji kebenaran makna “ketidakterbatasan”-nya melalui pendekatan metode saintifik terhadap alam, Melsen (1954) mengemukakan bahwa filsafat harus bisa melakukan pendekatan terhadap fenomena alam melalui sintesis dan analisis logis terhadap hasil-hasil sains, hal ini adalah awal dari kemunculan kajian kosmologi modern.

Pembahasan tentang ketidakterbatasan memiliki sejarah yang panjang ketika mulai digunakan sebagai konsep matematis, pun dalam kosmologi modern digunakan untuk penyebutan ruang yang tidak dapat teramati (unobservable place). Tavakol dan Gironi (2017) menyebutkan giliran penggunaan ketidakterbatasan (infinity turn) sebagai keterbatasan relatif dalam menjelaskan alam semesta (Relative or Real Infinities in Explaining the Universe), penyebutan ini muncul berawal dari eksplanasi kosmologi tradisional yang memandang alam semesta sebagai suatu sistem dengan satu realitas terbuka yang terhubung, kemudian pada kosmologi modern alam semesta dipandang sebagai spektrum penuh nilai parameter multiplisitas ketidakterbatasan alam semesta. Kedua pandangan tersebut memunculkan dua trend perkembangan, yaitu teori ketidakterbatasan ini mengandung ketidaklengkapan teori yang menunjukkan. posibilitas perkembangbiakan alam semesta dan kebutuhan untuk menjelaskan fine-tuning dari parameter kosmologis tertentu. Ketidakterbatasan relatif (relative infinity) ini digunakan dalam berbagai literatur kosmologi, misalnya Many World Interpretation of QM. (interpretasi tentang mekanika kuantum), salah satu upaya spekulatif pertama ke arah ini dilakukan oleh Everett (1973) yang memberikan interpretasi mekanika kuantum yang sesuai dengan fungsi gelombang diperlakukan sebagai deskripsi nyata dan literal dunia, yang selalu berkembang secara kesatuan, dengan demikian ia menyangkal keruntuhannya dalam proses pengamatan ke satu keadaan yang diamati. Sebaliknya, dia mendalilkan bahwa semua hasil percabangan lain yang tersirat oleh superposisi adalah mungkin sejarah alternatif, masing-masing mewakili ‘dunia’ (atau ‘alam semesta’) yang aktual dan nyata secara fisik diisi oleh salinan pengamat yang sedikit berbeda. Hal ini merupakan contoh lompatan ontologis tak terbatas (infinite ontological jump), yaitu memperlakukan semua yang ada berpotensi mungkin (ada) karena sebenarnya benar-benar ada. (Tavakol dan Gironi, 2017).

Gagasan ketidakterbatasan pada perkembangan kosmologi selanjutnya memunculkan konsep multisemesta (Multiverse). Skenario Multiverse adalah contoh ide yang lahir berdasarkan potensi hasil spekulatif dari teori yang tidak lengkap yang sedang dibangun tanpa ambiguitas konfirmasi empiris dibandingkan teori yang secara implisit dianggap lengkap dan kemungkinan konsekuensi spekulatifnya dianggap nyata secara ontologis. Dengan demikian, sains tentu saja terbuka untuk kemungkinan bahwa di beberapa titik di masa depan yang mungkin mendukung beberapa jenis hipotesis Multiverse yang ada saat ini.

Dalam akhir jurnalnya, Tavakol dan Gironi (2017) mengemukakan mengenai gagasan “closure” ‘lengkap/selesai’ yang memainkan peran penting dalam berbagai bidang dari gagasan infinity dalam penjelasan ilmiah dan filosofis. Dalam kasus yang pertama, seperti di Many Worlds of QM, penalaran antropik tentang Multiverse memiliki dorongan untuk berasumsi bahwa pemahaman kita saat ini tentang hukum alam kita sudah selesai (lengkap). Dengan kata lain, hukum Fisika yang kita ketahui saat ini adalah sudah lengkap, terlepas dari potensi pengamatan di masa depan. Gagasan “closure” ini adalah salah satu sifat manusia sebagai observer dalam meneliti soal alam semesta, manusia selalu memiliki dorongan untuk memiliki penjelasan ‘total’ tentang realitas, entah melalui penjelasan mistik, mitologis, hingga saintifik.

Tujuan dari penjelasan kosmologis seharusnya adalah memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang alam semesta kita, tetapi potensi akan adanya Multiverse sebagai alam semesta lain menggeser esensi penjelasan kosmologis dari semesta terbatas yang dapat diamati sehingga menjadikan banyak kemungkinan semesta relatif yang tak terbatas. Pemahaman kita tentang alam semesta telah berubah selama beberapa abad terakhir, dan saat ini pemahaman kosmologis kita terbukti jauh lebih mendalam dan akurat daripada setengah abad yang lalu. Meskipun begitu, bukan berarti model kosmologis kita saat ini paling akurat, sains terus berubah dan berevolusi mengikuti perkembangan teknologi, pun pemahaman dan bukti bukti yang sifatnya empiris, misalnya kita bisa melihat mulai dari pemahaman soal bentuk bumi dari datar ke bulat, konsep revolusi benda langit dari geosentris ke heliosentris, lingkup semesta dari hanya sebatas tata surya ke sebatas galaksi kita, hingga saat ini kita tahu bahwa galaksi kita hanya satu dari jutaan galaksi lain di semesta raya. Maka dari itu, pemahaman kita sekarang sekali lagi ditantang oleh sebuah konsep bahwa alam semesta kita hanya satu dari banyak semesta lain. Untuk saat ini, hal yang utama soal konsep Multiverse adalah bahwa sejauh ini kita tidak memiliki bukti pengamatan maupun teknologi yang mampu atau dapat mengkonfirmasi perihal keberadaan semesta lain diluar semesta kita sendiri, dan hal inilah yang menjadi satu-satunya alasan untuk mengakhiri salah satu debat besar abad ke 21 ini.

Efisiensi sistem infinite real adalah hal penting yang harus dipertanyakan dalam sains. Usaha untuk menemukan efisiensinya bukan merupakan pekerjaan yang mudah, akan tetapi kriteria lain yang dapat dipertimbangkan untuk mengukurnya adalah dengan melihat kerelatifan konten informasi di dalamnya. Untuk mencoba menemukan efisiensi itu kita bisa menggunakan analogi kompleksitas Kolmogorov:

Kompleksitas urutan S hanya jika panjang program yang dibutuhkan untuk menghasilkan urutan

Jika panjang program terpendek sama dengan panjang urutan, maka urutan menjadi random (acak)

Jumlah partikel teramati dalam observable universe adalah sejumlah ~O (10^80), dengan demikian yang menjadi pertanyaan penting yaitu apa yang yang akan menjadi status fisik dari infinite yang relatif (relatively infinite) seperti 10^100 atau 10^1000 dalam alam semesta (universe)? → Kemudian apakah penjelasan tentang jumlah partikel yang terbaru sekarang yaitu sejumlah ~O (10^80) akan mengimplikasikan ansambel atau nomor konstituen 10^100 atau 10^1000 akan menjadi infinite secara relatif? Atau apakah kemungkinan status fisik itu dapat dikatakan infinite — secara ukurannya — dalam fakta? Tentu saja, probabilitas alam semesta adalah tidak terbatas (infinite) → tetapi ketidakterbatasan itu apakah dapat ditentukan secara operasional dalam ukuran waktu yang terbatas (finite time)? Serta bagaimana cara mengasosiasikan informasi ketidakterbatasan itu dalam alam semesta? (Tavakol dan Gironi, 2017)

Kesimpulan

Konsep tak terbatas dipakai sebagai alat untuk menjelaskan alam semesta menyiratkan bahwa. himpunan tak terbatas harus mencakup ruang kemungkinan yang diperlukan, termasuk kejadian yang dekat dari yang diperlukan untuk menjelaskan fitur yang sedang dipertimbangkan.

Apakah konsep ketidakterbatasan adalah loncatan pondasi pemikiran manusia karena tidak bisa mencapai realitas yang belum teramati? Atau ketidakterbatasan itu hanya merupakan konsep imajiner seperti pola pilihan-pilihan yang bisa terjadi atau hanya merupakan pilihan dalam imajinasi.

Dengan gagasan penutupan, ketidakterbatasan relatif, dan penekanan konten informasi dari sebuah penjelasan, maka kita dapat berargumentasi bahwa penjelasan saintifik tentang infinite universe yang dapat diamati (melibatkan ketidakterbatasan aktual atau relatif) cenderung problematik atau gagal menjadi penjelasan yang reasonable (masuk akal). Sementara itu, ide-ide spekulatif dan lompatan kreatif telah memainkan peran penting yang tidak dapat disangkal sepanjang sejarah sains serta berkemungkinan akan tetap dilakukan untuk penelusuran sains mendatang, padahal teori ilmiah harus mengikuti beberapa kriteria kebermaknaan empiris. Misalnya kita tidak menolak skenario Multiverse karena sifatnya yang spekulatif, tetapi kegagalannya. menjadi penjelasan yang benar hipotesis dan untuk memprediksi fenomena — sekaligus gagal berkontribusi pemahaman ilmiah kita tentang alam semesta.

Kritik terhadap pekerjaan aktual dan relatif dari ketidakterbatasan dalam penjelasan ilmiah termasuk dalam hipotesis Multiverse telah dikemukakan dari sudut pandang fisik/filosofis. Namun, faktor sosial politik juga tidak harus dilupakan bahwa beberapa usaha pengejaran usaha atas teori berkaitan dengan penelitian mana yang layak didanai atau tidak. Kita memiliki jantung kemajuan ilmu pengetahuan, melalui keyakinan kita bersama bahwa penjelasan ilmiah dapat melahirkan pemahaman yang mendorong emansipasi manusia. (Tavakol dan Gironi, 2017)

Referensi

Tavakol, R., & Gironi, F. (2017). The infinite turn and speculative explanations in Cosmology. Foundations of Science, 22(4), 785–798.

--

--