raintikhujan
6 min readMay 30, 2023

Segara dan Intensitasnya

Dress hitam yang membalut tubuh Senada melekat dengan indah. Sedikit riasan di wajah cantiknya menambah kesan anggun yang hampir melewati batas. Walau sebenarnya tanpa riasan wajah sudah mendukung keanggunan yang dimiliki oleh Senada. Pandangannya jatuh pada surai yang harus ia apakan, bimbang. Ingin diikat atau terurai begitu saja. Kendati Karaga memberikan saran untuk tidak diikat. Tapi Senada tidak ingin hanya memberikan kesan cantik, mungkin harus ada sedikit bumbu sexy supaya Segara dapat meliriknya penuh minat. Maka dari itu, tangannya dengan terampil mengikat rambut panjangnya dan menyisakan anak rambut di setiap sisi kiri dan kanannya.

Suara ketukan dari luar pintu kamar menyadarkan Senada.

“Sebentar.” Langkah kakinya berjalan pasti. Kemudian membuka knop pintu yang menampilkan presensi seorang laki-laki tampan dengan pakaian serba berwana hitam. Seakan tanpa sengaja mereka berjanjian.

Kali ini, Karaga menggulung kemeja hitamnya sampai siku sehingga memperlihatkan tattoo yang mengelilingi lengan kanannya. Senada baru tau jika laki-laki itu memiliki ukiran seni yang sejak kemarin tersembunyi dengan rapi di balik pakaiannya yang panjang.

“Oh, Kak Gara sudah datang?” tanya Senada memastikan.

“Tidak, saya kesini menggantikan bibi Anne. Beliau sakit.” Karaga memberikan penjelasan dengan netra yang menatap Senada dari atas sampai bawah. Menilai penampilan sang majikan yang terlihat sempurna. Sayangnya, dress yang dipilihkannya tidak dipakai.

Mengerti jika Karaga mengangkat salah satu alisnya seperti meminta penjelasan, meskipun di balik sorot matanya menyimpan kekaguman. “Dress yang Karaga pilih tadi lengannya ketumpahan foundation. Nada jadinya pakai dress yang kedua.”

Karaga mengangguk mengerti. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Sebentar.” Menahan laki-laki itu untuk menunggu di luar, sedangkan ia memasuki kamar guna mengambil dress yang kotor tadi.

“Tolong kasihkan ini sama bibi Anne, Karaga. Nada gak tau cara cuci pakaian kalau ada warna putihnya, takut terkena luntur.” Dress kotor itu berpindah tangan pada Karaga.

“Baik, Senada.”

“Terimakasih sebelumnya, Karaga.”

Laki-laki itu menganggukan kepala. Matanya tanpa sengaja menangkap tali higheels yang tidak terpasang dengan benar. Karaga menunduk, meletakkan sikunya di atas lantai. Sedangkan Senada yang memperhatikan gerik Karaga mengernyit bingung.

“Tali yang Senada kenakan terlepas, tidak pantas seorang wanita yang berdandan cantik menyaingi para dewi terjatuh hanya karena kesalahan kecil.” Tangan Karaga tergerak membenarkan tali tersebut yang tanpa sengaja menyentuh kulit kaki putih sang puan. Mengantarkan getaran yang tak biasa dalam setiap gerakan.

Kaki jenjang itu, rasanya Karaga ingin membubuhkan kecupan ringan sebagai bentuk pujaan. Dan siapapun itu, termasuk dewi Yunani sekalipun yang terkenal dengan kecantikannya, harusnya merasa iri sebab memiliki saingan.

“Sekali lagi terimakasih Karaga.” Senada memberikan senyuman yang memabukkan. Tanpa memikirkan efek samping yang diterima oleh pria itu.

Belum sempat Karaga membalas perkataan Senada, suara deheman milik seorang pria mengisi partikel udara di ruangan itu. Mengubah suasana yang semula sedikit lepas menjadi mencekam.

Senada dan Karaga menolehkan kepala secara bersamaan, mengalihkan atensi sepenuhnya pada presensi pria yang menatap mereka penuh intimidasi seperti pencuri yang tertangkap basah oleh sang tuan. Kehadiran Segara dengan intensitas yang dimilikinya seolah dapat mengendalikan atmosfer diantara mereka.

Kaki yang masih berada dalam jangkauan Karaga ditariknya ke arah belakang. Mundur beberapa langkah. Entah sejak kapan suaminya itu berada di sana, yang jelas Senada tidak menyadari kehadiran Segara sebab tidak mendengar suara langkah yang biasanya menggema.

“Karaga tadi bantuin Nada pasang tali.” Senada memberikan penjelasan berdasarkan kenyataan, tanpa memikirkan Segara yang membutuhkan penjelasannya atau tidak. Tapi meskipun begitu Senada harus meluruskan kejadian beberapa menit lalu agar tidak terjadi kesalah pahaman diantara mereka berdua — Segara dan Senada.

“Kak Gara baru sampai? Mau berangkat sekarang? Nada ambil tas dulu ya.” Kakinya kembali melangkah ke dalam kamar, meninggalkan kedua pria tampan yang saling melemparkan tatapan tajam. Seakan kedua pria itu bersaing tentang kekuatan otoritas yang dimilikinya.

Karaga bangkit dari posisinya, berdiri dengan dress kotor milik Senada yang sempat terlepas kini berada dalam genggamannya lagi. Dagunya terangkat dengan senyuman miring tipis yang dapat Segara tangap maksudnya. Tanpa sadar jemari Segara terkepal kuat sampai buku-buku tangannya berwarna putih. Rahangnya mengeras dengan napas panas yang terlepas. Entah sejak kapan perasaan sesak sebab amarah tertahan merangkul diri Segara.

Tak lama kemudian, Senada kembali dengan tas clutch dalam genggaman. Menyadari suasana tegang di antara suami dan bodyguarnya, lantas ia menghampiri sang suami tanpa ragu.

Segara membalas senyuman miring Karaga yang telah lenyap. Merangkul pinggang istrinya dengan tegas serta menghapus jarak antara ia dan Senada. Jempolnya mengusap punggung Senada yang terbuka. Posisi wanita itu menghadapnya dan membelakangi Karaga. “Seharusnya sepatu itu sadar jika letaknya selalu di bawah dan tidak akan pernah bisa menggantikan posisi topi yang posisinya jauh lebih tinggi.”

Karaga mendengar perkataan sang majikan laki-laki dengan seksama. Sorot matanya semakin menajam bersamaan dengan gemuruh dalam dada menghantam kenyataan.

Lapisan udara yang membaca emosi keduanya terlempar kesana kemari tiada henti. Pada akhirnya, situasi seperti ini berakhir dengan Segara yang membawa Senada pergi. Meninggalkan sosok Karaga yang menatap keduanya dengan gejolak api cemburu di dalam hati.

*

Selama makan malam di kediaman Dirga Ragnala — Ayah dari Segara Ragnala. Senada dan suaminya itu melakoni perannya dengan baik. Menunjukkan sandirawa sebagai sepasang suami istri yang harmonis di hadapan publik sampai mereka tidak menyadari jika salah satu dari keduanya benar-benar menyelam ke dalam peranan itu. Melupakan sejenak keterdiaman mereka di mobil satu jam yang lalu. Entah Senada yang takut memulai pembicaraan sebab garis wajah Segara menampilkan amarah yang jelas. Atau mungkin Segara yang bingung untuk mengangkat topik pembicaraan, sebab sejak kapan ia merasakan amarah yang mengendap karena perasaan sedikit terbakar di dalam hati yang mulai menggerogoti? Entahlah. Walaupun begitu Segara masih terlalu abu-abu untuk Senada yang telah memberikan warna nyata.

Tapi untuk saat ini, Segara dan Senada berbaur dengan keluarga besar Ragnala seperti tidak ada kecanggungan yang pernah menghampiri. Keduanya bahkan tidak grogi untuk saling bersentuhan fisik. Kata para sesepuh, sentuhan fisik itu bukti otentik dari sebuah perasaan cinta itu ada. Kalau tidak demikian, mereka tidak akan hadir di dunia. Meskipun begitu perkataan mereka tidaklah serius, hanyalah sebuah candaan, sekedar ingin menggoda Segara dan Senada saja.

Tidak terasa malam semakin pekat, beberapa anggota keluarga mulai meninggalkan kediaman Ragnala. Pun dengan Senada dan Segara yang ikut berpamitan. Sempat diajak menginap oleh Delia, namun Senada menolaknya dengan halus. Bersembunyi dibalik alasan jarak antara kantor suaminya terlalu jauh jika menginap. Padahal kenyataannya tidak begitu, ia tidak ingin membuat sang mertua terkejut karena mereka tertidur tidak dalam satu ranjang yang sama.

Jalanan kota sedikit lengang dari biasanya, mungkin karena malam hari jadi mobil bisa lebih leluasa berlalu-lalang.

“Gue minta maaf,” ucap Segara memecahkan keheningan, sedikit susah payah menahan untuk tidak mengatakan kalimat itu sejak mereka menginjakkan kaki di kediaman orang tuanya.

Senada menolehkan kepala, memandang wajah Segara yang sibuk pada jalanan depan. “Kak Gara ada buat salah?” Dahinya mengerut menggambarkan ekspresi bertanya.

Sebelum membalas perkataan Senada, ia sedikit melirik wanita yang duduk di kursi samping melalui ujung mata.“Tentang malam itu,”

“Gak papa, Kak,” sambarnya. Senada mengalihkan tatapannya ke depan, tidak lagi menatap Segara. Gerakannya itu memberikan arti menghindari topik sensitive yang menyangkut dirinya. Segara yang telah mengetahui perihal serangan panic yang ia miliki dan ia tidak ingin dipandang lemah oleh sang suami.

Sedetik kemudian hening. Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka.

“Kalau gue memberhentikan Karaga jadi bodyguard lo?” tanya Segara.

Tiba-tiba? Senada terdiam. Ada gelak tawa dalam hati yang tidak dapat ia pungkiri. Apa benar Segara cemburu mengenai Karaga yang memasangkan tali sepatunya tadi?

“Kak Gara cemburu?” Senada melemparkan pertanyaan lain.

Segara melirik sekilas kembali wanita di sampingnya. “Gak,” pungkirnya.

“Terus kenapa kak Gara mau memberhentikan Karaga?” Senada bertanya menahan tawa yang sudah berada di ujung lidahnya.

“Ada supir pribadi gue yang siap antar lo kemanapun,”

“Tapi kak Gara lebih butuh supir pribadi daripada Nada. Kerjaan kakak mendukung, kalau Nada cuma bolak-balik kampus dan itupun gak tiap hari. Tapi, semua keputusan itu ada di kakak. Kalau kak Gara mau memberhentikan Karaga, Nada tidak keberatan.”

Memang benar. Bagi Senada bukanlah masalah besar. Tapi bagi Segara ini adalah permasalahan sedikit serius, ia bisa saja memberhentikan Karaga sebagai salah satu bawahannya. Namun, keputusan itu harus disetujui oleh Darka — Kakak laki-laki Senada. Perihal Karaga yang bekerja di bawah kendalinya bermula saat ia yang menghubungi sang ayah untuk membantunya mencari supir yang dapat mengantar-jemput Senada ketika gadis itu ingin bepergian. Berdalih pekerjaan kantor yang menumpuk, Dirga pun menyetujuinya dengan senang hati. Tidak hanya masuk dalam kualifikasi supir, Dirga mencarikan bodyguard yang dapat menjaga menantu kesayangan keluarga Ragnala sebab pesaing bisnis diluaran sana bisa dibilang tidak sedikit bisa saja melukai Senada. Kendati itu hanya pikiran buruknya saja, tapi tidak ada salahnya bukan bersikap lebih waspada?

Maka dari itu, Dirga meminta bantuan Darka untuk mencarikan bodyguard untuk Senada. Sebab, Dirga tau jika Darka sama protektifnya dengan dirinya. Ditambah koneksi Darka jauh lebih luas. Segara yang saat itu bertemu dengan Darka untuk membicarakan perihal seorang pekerja untuk Senada, ia menyetujui segala hal yang diberikan oleh kakak iparnya itu. Termasuk Karaga yang hanya dapat diberhentikan kerjanya oleh Darka. Kalau dilihat kebelakang lagi, ada setitik rasa penyesalan dalam diri Segara saat ini karena menyetujui perjanjian itu.

“Gak jadi. Gue takut supir pribadi gue ada cuti mendadak di hari kerja dan gue belum siap antar-jemput lo dari kampus ke rumah sedangkan kerjaan gue lebih penting,”

Ya, selalu seperti ini. Sejak kapan Senada menjadi bagian ‘penting’ dalam hidup Segara? Harapan Senada terlalu tinggi untuk menembus sebuah ekspektasi yang keajaibannya selalu dinanti.