Ujian Seorang Pemimpin

Raka Eka Pramudito
6 min readDec 1, 2016

--

Akhir September 2016, saya dipanggil ke ruang kepala divisi. Disana sudah hadir beliau bersama dengan kepala departemen. Pastinya ada hal penting yang akan disampaikan karena pada saat itu hanya ada saya seorang tanpa anak Management Development Program (MDP) lainnya.

“Raka lusa kamu berangkat ke Masohi ya, pimpin cabang disana sementara waktu”.

Kalimat simpel itu sontak membuat saya kaget. Bukan karena sebelumnya saya sudah mendapatkan informasi penugasan untuk memimpin tim operasional di Bengkulu, tapi karena kantor cabang di Masohi akan ditutup dalam waktu dekat. Fyi, Masohi adalah sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Jaraknya sekitar 3 jam dari Ibukota Provinsi Maluku, Ambon, menggunakan kapal cepat karena berbeda pulau.

“Kenapa saya? Ada pilihan 22 anak MDP lainnya dan kenapa bukan salah satu dari mereka? Lalu, kenapa di Masohi?”

Monolog yang terus bergaung sementara kepala divisi dan kepala departemen memberikan motivasi. Mereka berucap bahwa saya harus membuktikan diri bahwa saya mampu mengubah penilaian perusahaan bahwa cabang tersebut mampu meningkatkan target penjualan. Entahlah, apakah memang seharusnya seperti itu? Ditempat lain, kepala departemen hrd berkata bahwa saya memang khusus ditugaskan disana sementara menunggu penutupan resmi, karena apapun yang terjadi kantor cabang itu akan tetap ditutup.

“Ah kasih aja ke anak baru ini, ya daripada hire orang baru kan mending dipake yang nganggur”

Mungkin seperti itu. Mungkin.

Tibalah saya di Masohi. Pukul 7 malam tepat kapal cepat dari Tulehu sukses bersandar di Pelabuhan Amahai. Gelap, sunyi, khas daerah timur Indonesia. Saya dijemput oleh kepala cabang yang besok akan berangkat ke Manokwari untuk pindah memimpin cabang disana. Bercerita panjang dengan beliau dan saya mendapatkan sebuah benang merah.

Kantor ini tidak ditutup, hanya dipusatkan ke Ambon agar semua penjualan dan operasional di wilayah Maluku akan terkonsentrasi di Ambon

Lalu bagaimana dengan karyawannya?

Keesokan paginya saya bertemu dengan semua penghuni kantor. Memang, kantor cabang di Masohi ini terhitung kecil. Isinya hanya 15 karyawan, bentuknya pun rumah sederhana. Tugasnya hanya fokus pada penjualan. Namun, menjadi perhatian bahwa saya akan memimpin orang-orang yang berbeda dengan saya secara adat, budaya, dan kebiasaan.

Namun, pada dasarnya kami adalah rakyat Indonesia yang ramah. Maka tidak butuh lama bagi kami untuk segera akrab. Tidak sulit bagi saya juga untuk mengenal mereka satu per satu secara personal karena mereka mudah didekati. Mungkin ini kali pertama bagi mereka dipimpin oleh orang Jawa.

Memang tugas saya selama memimpin kantor cabang adalah fokus pada target penjualan. Namun, seiring jalannya waktu saya selalu berpikir tentang nasib anak-anak yang tidak mengetahui bahwa dalam waktu dekat kantor ini akan ditutup. Hingga pada awal oktober seorang kepala divisi hadir di kantor cabang kami mengumumkan mengenai penutupan.

Semua terdiam. Beberapa menahan kaget. Beberapa lagi hanya saling lirik. Mungkin mereka saling mempertanyakan nasib mereka. Saya teringat betul dan tidak akan pernah lupa bagaimana reaksi wajah mereka saat itu.

“Lalu, bagaimana dengan nasib kami Pak?”

Hanya pertanyaan itu yang keluar dari salah satu mulut karyawan. Kepala divisi tersebut menjelaskan bahwa management tetap memberikan kesempatan untuk karyawan disini pindah mutasi ke Ambon. Management tidak akan melakukan PHK karena ini bukan penutupan, tapi pemindahan pemusatan kegiatan kantor cabang.

Seperti tidak puas dengan jawaban kepala divisi tersebut, sontak mulai hari itu karyawan disini mulai malas kerjanya. Terkadang masuk, tapi lebih sering tidak ada di kantor. Ketika ditanya, mereka berdahlih bahwa sedang mencari pekerjaan lain. Hal itu memang dipersilahkan oleh management ketika mereka tidak mau mutasi ke Ambon.

Saya coba berbicara dengan mereka satu per satu. Mencoba mengetahui mengapa mereka tidak mau pindah ke Ambon. Atau mengapa mereka semudah itu putus asa.

Alasannya beragam. Namun, lebih sering saya mendengar mengenai malas pindah kota, gajinya sama saja, pengeluaran lebih banyak. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk menetap di Masohi untuk menjadi supir oto (angkot dalam bahasa ambon), kuli bangunan, atau kurir rokok ketimbang bekerja sebagai karyawan yang mempunyai penghasilan tetap. Padahal sebagian besar dari mereka adalah lulusan S1. Mereka berpikir bahwa butuh uang hanya untuk hidup di bulan itu saja, untuk makan, beli bensin, dan bayar kontrakan.

Mengapa masih ada pemikiran seperti itu? Apa ini hasil kerja mereka selama ini?

Saya merasa, pimpinan mereka selama ini hanya memberikan tuntutan, bukan tuntunan.

Saya kumpulkan mereka. Di satu ruangan kecil di belakang kantor. Saya berbicara dengan nada yang cukup tinggi. Saya marah semarah marahnya dengan pola pikir mereka. Dengan pola pikir bahwa hidup hanya sekedar hidup. Hidup tanpa mimpi. Apa indahnya?

“Saya adalah manusia termuda di kantor, kalian jauh lebih tua daripada saya. Lalu, apa kalian pernah berpikir kenapa saya bisa ada di posisi ini? Pernah berpikir apa yang sudah saya lakukan ketika kalian tidak melakukannya?”

Mereka terdiam. Semua diam. Memang selama ini saya sama sekali tidak pernah menuntut target penjualan ke mereka. Saya hanya menuntut perubahan pola hidup dan pikiran mereka. Saya selalu menyakinkan ke mereka bahwa hidup harus meningkat, dari hari ke hari. Dari hal sederhana saja, makanan misalnya. Selama ini mereka hanya tahu makan untuk kenyang, lalu saya ajarkan bagaimana menikmati makanan dari soal selera makan. Mereka mulai memilih makanan yang akan mereka makan. Sebuah contoh simpel bagaimana hidup harus meningkat.

Selama saya menempuh pendidikan karir ini, banyak atasan berkata pada saya bahwa sebagai leader kita jangan terlalu dekat dengan bawahan. Bila terlalu dekat, mereka akan ngelunjak. Akan ada ikatan emosi antar atasan dan bawahan yang mengakibatkan atasan sulit menegur bawahannya ketika salah. Itu memang benar, saya rasakan ketika saya menjadi leader penjualan di kantor cabang Mataram.

Namun, apakah lantas seorang leader harus memberikan jarak kepada bawahannya?

Tidak. Bukan seperti itu berlaku sebagai seorang leader. Saya menyakini bahwa setiap orang yang saya pimpin nantinya harus mempunyai hidup yang lebih baik, ditempat yang sama atau ditempat lain dia berpijak. Untuk itu tidak bisa kita hanya dengan memberikan mereka tuntutan atas target yang ditetapkan perusahaan. Kita harus mengenal mereka, tahu mereka siapa dan bagaimana mengatasi mereka satu per satu. Saya percaya bahwa kita tidak bisa memperlakukan orang secara sama. Akan ada treatment berbeda untuk orang-orang yang kita pimpin.

Lalu, tantangan dan ujian apa bagi saya di Masohi?

Jika dari awal saya datang dan saya hanya akan memberikan mereka tuntutan target penjualan, maka seketika pilihan hidup mereka akan semakin sempit.

Pindah ke Ambon atau menjadi pengangguran.

Namun, ketika saya berhasil masuk ke hidup mereka, bukan sebagai seorang kepala cabang melainkan sebagai seorang teman, saya mempunyai kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka. Setidaknya, bila saya tidak berhasil menyelamatkan perusahaan, saya sudah berhasil menyelamatkan hidup mereka. Meskipun, banyak diantara mereka jauh lebih tua daripada saya, mempunyai anak, tanggungan banyak. Apalah saya anak muda berumur 24 tahun dibandingkan mereka.

Bila saya tidak berhasil masuk ke hidup mereka, tidak akan pernah seorang karyawan menangis di hadapan saya membicarakan pilihan hidupnya sebagai seorang ibu muda dan bekerja sebagai sales.

Bila saya tidak berhasil masuk ke hidup mereka, tidak akan pernah seorang karyawan bercerita mengenai masalah cintanya yang ditolak oleh keluarga karena permasalahan agama.

Bila saya tidak berhasil masuk ke hidup mereka, tidak akan pernah seorang karyawan mengetuk pintu kosan saya tengah malam untuk curhat masalah anaknya.

Hal yang akan terjadi bila saya tidak masuk ke hidup mereka adalah saya hanya akan kehilangan mereka sebagai karyawan.

Hal yang mungkin perlu dipelajari untuk semua (calon) pemimpin bahwa mendekati mereka yang kamu pimpin adalah hal yang mutlak dan tidak terbantahkan. Satu-satunya yang memberikan jarak antara kita dengan mereka yang kita pimpin adalah rasa profesionalitas.

Hari ini, 1 Desember 2016 kantor mulai tidak beroperasi. Satu per satu karyawan pergi meninggalkan saya. Bukan untuk mencari pekerjaan baru, tapi pergi berangkat untuk mutasi ke Ambon dan berusaha menghadirkan banyak pilihan mimpi bagi hidupnya. Siang ini mereka memeluk saya satu per satu, mengucap terima kasih atas penyadaran yang sudah saya lakukan terhadap mereka. Saat itu, saya hanya bisa terharu sedih, bukan karena saya ditinggal sendiri disini menunggu waktu kepulangan saya ke Jakarta, tapi karena saya mempunyai arti lain bagi hidup mereka, orang-orang yang saya pimpin 2 bulan ini.

--

--