(Ibu) Kota Ramah Manusia:
Masa Depan Kota Indonesia?
Pertama dipublikasikan pada tanggal 7 September 2019 di laman toposcope.id
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia (RI) agaknya sudah menjadi rencana yang tidak terelakkan lagi. Penjabaran mengenai gagasan rencana dan kriteria desain telah disiarkan langsung dan terbuka oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tanggal 1 Agustus 2019. Tiga kriteria utama yang dijabarkan adalah: IKN RI harus mencerminkan identitas bangsa; menjamin keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan; dan mewujudkan kota yang cerdas, modern, dan berstandar internasional. Tidak ada yang salah dari ketiga kriteria ini, bahkan ketiga kriteria ini sudah seharusnya diejawantahkan pada setiap rancangan kota di mana pun: sensitif terhadap identitas lokal, berkelanjutan, dan mengikuti standar yang ada.
Yang menarik dari penjabaran ini adalah penurunan dari kriteria desain menjadi urban design (rancangan kota), dengan tatanan yang kasat mata. Berbagai istilah perancangan kota dijabarkan, seperti kota ramah manusia, morfologi dan fungsi kota, integrasi ruang hijau dan biru, city in the forest, public dan community spaces, new urbanism, green building/infrastructure, kota yang compact dan inklusif, moda transportasi publik terintegrasi, kota cerdas, dan lain-lain. Sebagai seorang perancang kota, sangat lah menarik ketika istilah-istilah yang biasa kita dengar hanya di dunia profesi menjadi konsumsi khalayak umum.
Dua topik yang sangat menarik karena selama enam tahun terakhir telah menjadi fokus eksplorasi saya di dunia profesional dan akademik adalah kota ramah manusia (people-oriented city) dan perancangan kota baru (new town masterplanning). Pada artikel singkat ini, saya akan mencoba membahas kedua topik ini dalam kaitannya dengan rencana pemindahan IKN Republik Indonesia.
“Saya menyimpulkan bahwa dalam 50 tahun tidak ada yang secara sistematis menelaah habitat perkotaan yang bagus untuk Homo sapiens. Sangat sedikit buku yang menulis tentang itu. Hanya ada sedikit penelitian yang telah dilakukan. Kita lebih paham tentang habitat yang baik untuk gorila gunung, harimau Siberia, atau beruang panda daripada yang kita pahami tentang habitat perkotaan yang baik untuk Homo sapiens. Tidak ada yang tertarik.” (Jan Gehl, dalam wawancara dengan American Society of Landscape Architects)
KOTA RAMAH MANUSIA
Kita yang tinggal di kota (lebih dari setengah penduduk bumi) secara naluriah paham seperti apa kota yang baik. Kenapa? Karena kita tahu seperti apa kota yang buruk. Kalau kita merasa kesal dengan kemacetan ketika berangkat ke kantor dengan kendaraan pribadi, kita tahu bahwa kota yang baik adalah kota yang tanpa kemacetan dengan transportasi umum yang dapat diandalkan. Kalau kita tidak merasa nyaman berjalan kaki di jalan raya karena fasilitas pedestrian yang tidak mumpuni dan iklim yang tidak mendukung, kita tahu bahwa kota yang baik adalah kota yang membuat penduduknya nyaman berjalan di jalan raya. Kalau kita merasa ruang-ruang kota tempat kita tinggal tidak ramah untuk kita dan keluarga kita (dari anak-anak hingga lanjut usia), berarti kita tahu seperti apa kota yang ramah manusia. Kota ramah manusia adalah kota yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusianya, as simple as that.
Melihat sudut pandang Jane Jacobs dan Jan Gehl, dua pengamat kota yang sangat dikenal di dunia rancang kota dan penggagas awal konsep kota ramah manusia menjadi penting untuk menelaah bagaimana dan mengapa konsep ini muncul. Konsep ini dicetuskan lebih dari lima puluh tahun lalu di Kota New York (Amerika Serikat), dan Kota Copenhagen (Denmark) (hampir di waktu yang bersamaan walaupun kedua pengamat kota ini belum saling mengenal) sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana-rencana pemerintah kota yang akan menggusur lingkungan kota eksisting untuk proyek pengembangan kota skala besar (seperti jalan tol, permukiman kepadatan tinggi, dan kota baru). Terdengar serupa dengan situasi di kota-kota Indonesia? Walaupun dengan lokasi dan waktu yang berbeda, situasi saat itu dengan situasi di kota-kota Indonesia saat ini memang serupa. Jane Jacobs dan Jan Gehl memperjuangkan lingkungan kota eksisting dengan kualitas-kualitas yang ramah terhadap manusianya.
Yang perlu dicatat, Jane Jacobs dan Jan Gehl bukan lah seorang perancang kota murni, melainkan seorang aktivis dan pengamat kota. Oleh karena itu, kualitas ramah manusia ini muncul berdasarkan observasi pribadi mereka akan apa yang terjadi sehari-hari di lingkungannya, bukan berdasarkan apa yang menurut mereka ideal. Contohnya, berdasarkan observasi mereka, kota ramah manusia adalah kota dengan ruang publik dan komunitas yang berfungsi; ruang kota di mana siapa pun bebas beraktivitas di ruang luar; orang-orang saling mengenal dan menjaga satu sama lain; fungsi kota yang beragam (tidak hanya rumah tinggal) sehingga memudahkan beragam aktivitas kota terjadi; perpaduan antara bangunan baru dan lama; dan ruang-ruang dengan kepadatan manusia yang tinggi. Dengan contoh deskripsi ini, bagian mana dari kota tempat Anda tinggal yang terbayang?
Pertanyaannya, jika kita tahu seperti apa kota yang ramah manusia, apakah berarti kita semua tahu cara membangun kota yang ramah manusia? Di sinilah esensi seorang perancang kota berada, seperti yang dijabarkan oleh Jane Jacobs (1961), “… Alih-alih berusaha untuk mengandaikan kehidupan [kota] dengan sebuah [karya] seni, perancang kota seharusnya kembali kepada pendekatan yang menyeimbangkan keduanya: pendekatan yang memberi pencerahan tentang kehidupan [kota] dan membantu menjelaskan kepada kita (khalayak umum) makna dan tatanannya…”.
Dari berbagai macam sudut pandang, pada intinya sebagai perancang kota, kami pun mengalami kehidupan kota layaknya khalayak umum. Perbedaannya, kami mendalami pengalaman yang kami alami, mengobservasi apa yang khalayak umum alami, menelaah pengaruh tatanan ruang kota (yang terlihat maupun yang tidak terlihat) terhadap kehidupan kota, mempelajari seperti apa tatanan ruang kota yang baik, dan tentunya merancang ruang kota — dan kehidupan di dalamnya. Penekanan pada kehidupan kota sebagai hal yang tidak terlepas dari ruang kota amatlah penting karena tanpa kehidupan kota, ruang kota hanya akan menjadi ruang mati.
Sayangnya, fenomena kota mati ini terjadi di banyak negara berkembang, terutama di kota-kota baru yang dirancang dari nol. Di sinilah salah satu kenyataan di mana dunia perancangan kota berada.
“Dulu arsitek terbaik melakukan pekerjaan terbesar sementara pekerjaan kecil diserahkan kepada arsitek yang lain. Sekarang, yang terjadi adalah sebaliknya. Sementara arsitek pemenang Pritzker Prize (penghargaan paling bergengsi di dunia arsitektur) merancang botol vodka dan kalung perhiasan, pengembang yang tidak dikenal membangun sebuah kota dari nol di Timur Tengah dan Tiongkok. Di era ‘metropolis yang dibangun dari nol’, panggilan untuk arsitek (yang baik) kembali ke rancangan-rancangan besar menjadi lebih penting daripada sebelumnya.” (Visionary Cities: vol.1)
PERANCANGAN KOTA BARU
Ketika Jane Jacobs dan Jan Gehl mendasarkan argumennya pada kualitas kota eksisting ramah manusia yang ingin dipertahankan, Le Corbusier, seorang arsitek asal Perancis mendasarkan argumennya pada kualitas buruk dari kota Perancis saat itu. Dengan revolusi industri saat itu, kualitas ruang kota mengalami penurunan yang drastis. Perkembangan kota menjadi tidak teratur, menyebabkan permasalahan-permasalahan untuk manusia yang tinggal di dalamnya (seperti kesehatan, kebersihan, dan keamanan), sehingga mendorong perubahan dalam merancang kota. Terdengar serupa pula dengan kota-kota di Indonesia? Dari sinilah Le Corbusier mendasarkan gagasan perancangan kotanya, “Saya menciptakan istilah ‘La ville radieuse’: faktanya, arsitektur, perancangan kota, dan perencanaan kota, adalah satu permasalahan yang sama, mereka hanya membutuhkan satu solusi, dan ini hanyalah pekerjaan untuk satu profesi saja [profesi arsitek].” (Wawancara Le Corbusier dengan BBC pada tahun 1958)
Le Corbusier mengandaikan perkembangan kota yang dapat dimulai dari nol, perkembangan dari lembaran kosong, sehingga lingkungan kota yang ideal dapat diciptakan. Imajinasi ini diejawantahkan untuk berbagai kota di dunia, contohnya Kota Paris, Perancis. Le Corbusier merancang bagian kota tua Paris dengan berbagai masalahnya untuk digusur, diganti dengan bangunan-bangunan kepadatan tinggi yang tertata rapi, menghasilkan lingkungan yang bersih, terstruktur, dan sehat. Beruntungnya, rancangan ini tidak direalisasikan saat itu, sehingga kualitas kota lama Paris masih terjaga hingga saat ini. Kenyataannya, ide merancang kota baru dari nol ini mulai diadopsi di berbagai penjuru dunia hingga saat ini. Iming-iming merancang kota dari nol dengan segala keteraturannya sulit untuk ditolak baik dari pihak publik seperti pemerintah kota maupun dari pihak privat seperti pengembang (developer).
Lalu apa hubungan antara Le Corbusier dengan rancangan ibu kota baru Indonesia? Rancangan pusat Kota Brasilia (ibukota baru negara Brazil yang dibangun dari nol pada tahun 1956), yang dirujuk Kepala Bappenas sebagai contoh sukses pemindahan ibu kota negara, sangat dipengaruhi oleh paham La ville radiuse Le Corbusier (Holston, 1989). Contoh ini menjadi penting untuk menelaah hubungan antara rancangan ibukota baru dengan keberhasilan dan kegagalan program pemindahan ibukota Brazil. Ketika rancangan kota baru Brasilia yang unik (kota ini terlihat seperti burung raksasa jika dilihat dari luar angkasa) berhasil menjadi simbol baru Brazil (kriteria yang notabene dirujuk Bappenas dan PUPR untuk ibukota baru Indonesia), terdapat berbagai permasalahan yang ditimbulkan dari rancangan kota baru ini, seperti: skala kota yang tidak manusiawi (hampir mustahil untuk berjalan kaki mengelilingi kota ini karena ukuran blok yang sangat besar); ketergantungan terhadap kendaraan pribadi (kebanyakan ruang kota hanya memiliki satu fungsi, sehingga kendaraan pribadi dibutuhkan untuk mengakses fungsi lain); dan segregasi sosial (kontras antara pusat administrasi yang direncanakan dari nol dengan favela (kampung-kota) di sekeliling kota sangatlah mengkhawatirkan).
Jadi, apa yang salah dari ide Le Corbusier untuk merancang kota dari nol? Jika tidak ada yang perlu digusur, lahan sudah tersedia, tidak merusak alam (situasi-situasi yang notabene sangat jarang terjadi), bukankah sebuah keputusan yang logis untuk membangun kota dari nol? Dari berbagai diskursus mengenai kota baru, permasalahan utamanya memang bukan pada ide awal maupun rancangan kota baru itu sendiri, melainkan dari proses pengembangan kota baru ini.
Pertanyaan selanjutnya: apa saja proses yang terjadi pada pengembangan kota? Secara umum, proses perancangan kota dapat dibagi menjadi empat proses (Carmona, 2014): proses perancangan (design process); proses pengembangan (development process), proses manajemen (management process), dan penggunaan ruang (space in use). Jika diibaratkan dengan bidang kuliner, waktu yang dibutuhkan dari proses peracikan/perancangan, hingga masakan itu dikonsumsi (penggunaan) rata-rata mungkin dapat diselesaikan dalam hitungan jam. Untuk sebuah bangunan, rata-rata waktu yang dibutuhkan mungkin tidak lebih dari satu hingga dua tahun (untuk bangunan tunggal). Sedangkan untuk perancangan kota baru, waktu yang dibutuhkan hingga kota baru itu dapat digunakan seutuhnya membutuhkan setidaknya dua puluh tahun. Permasalahan dari proses yang panjang ini adalah, proses perancangan yang ‘hanya’ memakan waktu setidaknya enam hingga dua belas bulan akan sangat menentukan bagaimana proses-proses selanjutnya berjalan. Ditambah lagi, bahkan dengan tanpa pengetahuan akan apa yang akan terjadi di masa depan, studi pasca okupansi benar-benar langka di ranah perancangan kota (Carmona, 2014).
Contohnya, Kota Baru Bumi Serpong Damai, Tangerang, Indonesia memulai pengembangannya pada tahun 1989 dengan total area sekitar 6,000 hektar. Tiga puluh tahun setelah pembangunan dimulai, kota baru ini telah berfungsi, namun masih belum mencapai target awal rancangannya. Contohnya, populasi saat ini masih sepertiga dari target awal (Keeton, 2011). Jadi, untuk sang perancang kota yang merancangnya pada tahun 1994 (salah satunya Doxiadis Associates, perancang kota asal Yunani) mengetahui bagaimana rancangannya diwujudkan membutuhkan waktu yang relatif panjang. Dengan durasi yang panjang ini, proses-proses pembangunan kota ini menjadi sangat kompleks dan sering kali berbelok dari apa yang semula dirancang dan direncanakan. Apa yang dirancang pada tahun 1994 belum tentu sesuai dengan kondisi 25 tahun setelahnya atau bahkan 5 tahun atau bahkan 1 tahun setelahnya. Oleh karena itu, salah satu kunci berhasilnya suatu rancangan kota baru adalah kemampuan untuk beradaptasi — bukan beradaptasi alamiah layaknya makhluk hidup namun, adaptasi yang secara sadar direncanakan dan dirancang sebagai bagian dari keseluruhan proses perancangan kota.
Mikki Brammer: “Ketika kota-kota menjadi semakin padat, apakah pelajaran [tentang kota ramah manusia] dari Eropa masih relevan?”
Jan Gehl: “Ya, karena saya tidak melihat tanda-tanda bahwa homo sapiens tidak akan menjadi homo sapiens di masa depan.” (Q&A: Jan Gehl dalam Making Cities Healthier and the Real Meaning of Architecture. Metropolis Magazine. 11 Agustus 2015. Mikki Brammer)
(IBU) KOTA BARU — RAMAH MANUSIA?
Seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini, dalam enam tahun terakhir, topik perancangan kota ramah manusia dan kota baru telah menjadi ambisi saya untuk saya eksplorasi lewat karya akademik maupun karya profesional. Dari eksplorasi saya, saya menyimpulkan bahwa pengejawantahan konsep kota ramah manusia seperti yang saya jabarkan di atas sangat jauh dari kenyataan yang terjadi di kota-kota di Asia. Yang saya temukan selama berpraktik sebagai perancang kota dan masterplanner di kota-kota di Asia adalah perancangan kota-kota baru dari nol. Permasalahannya, ketika proyek kota baru menjadi komoditas utama pengembang privat dan pemerintah kota di Asia dengan dampak yang sangat besar untuk kota (rata-rata luas kota baru setidaknya 300–500 hektar), tidak banyak akademisi atau pengamat kota yang membahas tentang kota baru, terutama di Indonesia.
Eksplorasi ini mencapai titik balik ketika pada musim panas 2017 saya berkunjung ke Kota Paris (Perancis) dan Kota Tianducheng (Tiongkok), di mana saya secara kebetulan menemukan dua menara Eiffel — salah satunya jelas mencoba untuk meniru lainnya. Fenomena mengejutkan ini menggambarkan secara gamblang ide dari penelitian saya ketika menempuh gelar magister dalam bidang urbanism di TU Delft (Belanda), menjukstaposisi dua ide: konsep kota ramah manusia yang merupakan ambisi saya, sebagaimana tergambar di kota Paris; dan konsep kota baru, yang merupakan keahlian saya, sebagaimana tergambar di kota-kota baru yang dirancang dari nol seperti Kota Tianducheng.
Singkatnya, pertanyaan yang saya eksplorasi melalui penelitian saya di TU Delft adalah, “Bagaimana caranya merancang kota ramah manusia, dari nol?”
Kembali ke topik ibu kota baru Indonesia, saya tidak menyangka kalau pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang sangat relevan untuk didiskusikan di Indonesia saat ini. Untuk menjawab pertanyaan ini, esensi dari kedua topik perlu diinterpretasikan khusus untuk topik IKN RI. Dari konsep kota ramah manusia dan konsep kota baru, setidaknya ada lima hal utama yang dapat kita ambil:
Pertama, salah satu esensi utama konsep kota ramah manusia adalah pada penitikberatan perancangan kota berdasarkan kebutuhan dasar manusia. Manusia harus menjadi pusat dari perancangan kota baru, dan khususnya untuk IKN RI, manusia Indonesia. Penekanan pada manusia Indonesia — bukan manusia negara lain — menjadi penting karena kebutuhan dasar kita akan berbeda dengan yang lainnya. Bahkan untuk Indonesia pun, dengan keberagaman kita, sangat sulit untuk menemukan satu generalisasi untuk manusia Indonesia. Satu-satunya penyatu: kita semua adalah homo sapiens, dengan kebutuhan dasar biologis dan sosial yang serupa. Inilah yang menjadi dasar prinsip kota ramah manusia yang dipromosikan oleh Jan Gehl.
Contohnya, sebagai manusia pada dasarnya kita membutuhkan aktivitas berjalan kaki, baik sebagai bentuk sosialisasi, rekreasi ataupun kesehatan, terlepas dari asal-usul manusia itu (Gehl, 2013). Sehingga kota yang memudahkan manusianya berjalan kaki untuk menuju destinasi sehari-hari sering dijadikan sebagai indikasi kemajuan dan kelayakan sebuah kehidupan kota. Dari kriteria yang terkesan sederhana ini, dampaknya untuk kriteria perancangan kota sangat lah besar: untuk mempromosikan kemudahan berjalan kaki, dibutuhkan transportasi publik yang terintegrasi, tata guna lahan dan struktur kota yang kompak, rancangan ruang publik yang manusiawi, iklim alami maupun buatan yang mendukung, ruang hijau yang cukup, dan masih banyak lagi.
Kedua, karena fungsi pemerintahan negara merupakan fungsi utama IKN RI ini, rancangan yang diciptakan harus merefleksikan pemahaman akan bagaimana fungsi pemerintahan bekerja. Bukan dari pemahaman simbolis akan hierarki tata pemerintahan, tetapi fungsi sehari-hari pemerintahan. Seperti, hubungan kerja antara lembaga-lembaga negara: struktur kota seperti apa yang mendorong kolaborasi antar lembaga negara? Atau hubungan antara aparatur negara dengan pemerintahan: bagaimana pergerakan sehari-hari aparatur negara dari tempat tinggal dan tempat bekerja? Struktur kota seperti apa yang dapat meningkatkan kualitas hidup aparatur negara? Infrastruktur dan fasilitas apa saja yang diperlukan? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab dengan terlebih dahulu menelaah bagaimana fungsi pemerintahan saat ini bekerja di Kota Jakarta dari sisi baik maupun buruknya.
Selain fungsi pemerintahan, IKN RI pada dasarnya akan menjadi sebuah kota mandiri. Sehingga fungsi-fungsi utama sebuah perkotaan seperti tempat tinggal, tempat rekreasi, dan tempat bekerja perlu direncanakan layaknya kota pada umumnya. Kuncinya, kembali kepada pemahaman akan bagaimana manusia Indonesia sehari-harinya tinggal, berekreasi dan bekerja. Mengambil inspirasi dari best practice dari luar negeri tentu saja penting, namun ketika pengejawantahannya pada rancangan kota menjadi tidak sesuai dengan esensi manusia Indonesia, dampaknya akan kehidupan kota tidak akan baik. Ketika salah satu kriteria IKN RI adalah identitas bangsa, kriteria perancangan ruang-ruang kehidupan sehari-hari inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Ketiga, adaptasi rancangan menjadi kunci ketika proses pengembangan menjadi salah satu permasalahan dalam perancangan kota baru. Adaptasi ini harus diejawantahkan dalam keempat proses pengembangan IKN RI (perancangan, pengembangan, pengelolaan, dan penggunaan ruang kota).
Dalam proses perancangan ruang kota, dibutuhkan rancangan yang koheren, yang memperhitungkan aspek ruang dan waktu. Tentu saja tidak ada rancangan yang lekang oleh waktu, oleh karena itu, dibutuhkan sebuah rencana induk (masterplan) sehingga proses adaptasi (atau yang biasa disebut dengan amandemen dalam dunia perancangan kota) dapat dilakukan. Proses amandemen berkala ini dapat memastikan bahwa rancangan IKN RI dapat menyesuaikan perkembangan zaman.
Dalam proses pengembangan dan pengelolaan ruang kota, dibutuhkan fleksibilitas yang terencana. Ketika pengembangan IKN RI diinisiasi oleh pihak pemerintah, seiring berjalannya waktu, peran pihak privat akan sangat dibutuhkan baik dalam proses pengembangan maupun proses pengelolaan kota. Keseimbangan antara pihak pemerintah dan pihak privat inilah yang membutuhkan fleksibilitas yang terencana. Ketika keseimbangan ini tidak terjaga, hasilnya adalah seperti kondisi banyak kota baru di Indonesia di mana pihak privat mendominasi.
Dalam proses penggunaan ruang kota, perilaku kita sebagai pengguna kota akan sangat menentukan keberhasilan dari pengembangan IKN RI ini. Manusia akan selalu menggunakan ruang kota sesuai dengan nalurinya, sehingga terkadang rancangan kota menjadi tidak sesuai dengan bagaimana ruang tersebut pada kenyataannya digunakan. Di sinilah adaptasi menjadi penting, dan adaptasi ini harus dikelola dengan baik antara penggunanya (masyarakat umum) dan pengelolanya (pemerintah).
Keempat, proses pengembangan kota pada dasarnya akan membutuhkan waktu yang panjang (setidaknya dua puluh hingga lima puluh tahun). Oleh karena itu, proses ideasi visi (visioning) kota untuk IKN RI dengan berorientasi pada masa depan menjadi sangat penting saat ini. Pertanyaan-pertanyaan ‘what if’ penting untuk ditanyakan pada proses awal perancangan karena pada proses inilah risiko-risiko pengembangan kota masih sangat kecil. Keputusan pemerintah untuk membuka proses perancangan ini kepada publik dengan mengikutsertakan ahli-ahli pengembangan kota (seperti Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), dan Ikatan Ahli Perencana (IAP)) patut untuk diapresiasi. Selanjutnya, adalah untuk tetap mengawasi keberjalanan proses ini.
Terakhir, perancangan IKN RI ini dapat dijadikan momentum penting untuk mengubah paradigma business as usual pengembangan kota di Indonesia. Perubahan paradigma ini akan membutuhkan utamanya generasi muda saat ini sebagai penggeraknya. Mengapa? Karena generasi muda saat ini lah yang akan menduduki posisi-posisi penting di masa depan. Untuk itu, kontribusi generasi muda dari berbagai lini masyarakat menjadi sangat penting pada proses ini. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, sebagai penduduk kota, kita semua paham seperti apa kota yang kita harapkan. Oleh karena itu, siapa pun Anda, apa pun pekerjaan dan latar belakang Anda, mari berikan kontribusi untuk pengembangan IKN RI ini, dengan harapan untuk menciptakan kehidupan kota Indonesia yang lebih baik dan manusiawi.
Sumber:
Carmona, M. (2014). The place-shaping continuum: A theory of urban design process. Journal of Urban Design, 19(1), 2–36.
Gehl, J. (2013). Cities for people: Island press.
Holston, J. (1989). The modernist city: An anthropological critique of Brasília. University of Chicago Press.
Jacobs, J. (1992). The death and life of great American cities. 1961. New York: Vintage.
Keeton, R. (2011). Rising in the East: Contemporary New Towns in Asia: International New Town Institute, SUN
Maas, W. S. A. and Waugh, E., 2009. Visionary Cities.