Empat Wajah Imam Bonjol

Randi Reimena
6 min readAug 5, 2022

--

Rerpo dari buku Tuanku Imam Bondjol Perintis Djalan ke Kemerdekaan (Penerbit Djambatan: Jakarta, 1951)

Pada mulanya Tuanku Imam Bonjol bukanlah pahlawan nasional sebagaimana ia dikenal hari ini. Selain pahlawan nasional, beragam wajah telah dilekatkan pada Tuanku Imam Bonjol, mulai dari pahlawan agama sampai pahlawan Minang. Imagenya sebagai pahlawan nasional merupakan hasil dari suatu proses sejarah yang berkelindan dengan politik penulisan sejarah.

Mungkin banyak yang tidak tertarik dengan kegiatan penelusuran sejarah penulisan sejarah kepahlawanan Imam Bonjol ini. Namun dari kegiatan yang terlihat tidak bermanfaat ini, kita justru dapat memahami sejarah secara lebih jelas. Tulisan ini tidak bertujuan untuk menambah sesaknya pasar penulisan sejarah Orang Besar, melainkan berupaya memperlihatkan bagaimana Orang Besar dibentuk oleh politik penulisan sejarah.

Wajah Pertama: Pahlawan Agama

Ketokohan Imam Bonjol mulai ditulis oleh sendiri oleh pribumi setidaknya sejak 1930-an. Sebelumnya para sarjana Belanda telah menulis tentang Imam Bonjol dengan tendesi menyudutkan kaum Paderi.

Pada masa-masa itu, apa yang disebut sebagai bangsa Indonesia masih samar-samar. Meski para pemuda dari kalangan elit bumiputra telah mengumandangkan adanya bangsa dan bahasa Indonesia, apa yang disebut nasionalisme masih dalam proses pembentukan.

Dalam masa yang sama, pada 1939 terbit sebuah buku berjudul Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bonjol Sebagai Pahlawan Islam. Pada buku yang L DT R Dihoeloe ini, Tuanku Imam Bonjol dihadirkan bertolak belakang dengan narasi sejarah bikinan Belanda. Ia bukanlah biang rusuh, penggangu ketertiban melainkan, tokoh yang “dipandang dalam mata sedjarah sebagai pahlawan Islam jang dipoedja-poedja”.

Jika buku seperti ini dilihat sebagai perwakilan dari cara pandang umum terhadap Imam Bonjol pada paro pertama abad ke-20, maka kita akan mendapat gambaran bahwa pada masa-masa itu, Imam Bonjol belumlah dilihat sebagai pahlawan nasional yang berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Dalam buku tersebut Dt. R. Dihoeloe beberapa kali mengaitkan Tuanku Imam dengan suatu ‘bangsa’, namun ‘bangsa’ tersebut tidak merujuk pada entitas yang konkret dan pasti, bukan bangsa Minang, bukan juga bangsa Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena pada masa-masa tersebut, identitas kebangsaan Indonesia masih dalam proses pembentukan.

Penggambaran Imam Bonjol sebagai pahlawan bagi bangsa Indonesia, pahlawan yang berjuang dalam konteks perjuangan nasional baru muncul pada masa pendudukan Jepang.

Wajah Kedua: Pahlawan Bangsa, Pahlawan Kemerdekaan

Berkuasanya Jepang ikut mengubah cara pandang terhadap Imam Bonjol. Para pujangga seperti Sanusi Pane, mulai menulis sejarah Indonesia di bawah pengawasan Jepang. Imam Bonjol yang dalam buku-buku sejarah karangan sarjana Belanda diposisikan sebagai pemberontak kini ditulis sebagai pahlawan bangsa Indonesia.

Lewat dua jilid buku Sedjarah Indonesia yang pertama kali terbit pada masa pendudukan Jepang, Sanusi Pane menghadirkan Imam Bonjol sebagai tokoh sentral dalam perang melawan kolonial Belanda yang “berakar berurat dalam perasaan kebangsaan”. Kebangsaan di sini jelas merujuk pada Indonesia, bukan bangsa dalam pengertian etnis atau kesatuan pemeluk agama yang sama. Dalam tahap ini, terjadi semacam sekularisasi kepahlawanan, dari pahlawan agama menjadi pahlawan nasional (pada 1930-an, tidak hanya Imam Bonjol yang dianggap pahlawan agama namun juga Diponegoro dan Teuku Umar).

Buku Sanusi Pane ini terus dicetak ulang dan menjadi referensi utama bagi buku-buku teks pelajaran sejarah sampai terbitnya teks sejarah resmi, Sejarah Nasional Indonesia, pada masa-masa awal Orde Baru. Sejak saat itu, bisa dikatakan status Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional mulai mapan.

Dalam buku-buku pahlawan nasional yang terbit setelahnya dalam kurun 1950-an dan 1960-an, citra Tuanku Imam sebagai salah satu pahlawan nasional atau pahlawan kemerdekaan menjadi makin stabil. Tokoh-tokoh pahlawan seperti Imam Bonjol tidak lagi dilekatkan lagi dengan dimensi keagamaan seperti pada masa-masa 1930-an. Misalnya alam buku Tuanku Imam Bondjol (1951) karangan Dawis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki atau dalam buku Batjaan Anak2 Kenalilah Pahlawan Kemerdekaan (1962) yang dikarang oleh S. Koesman, terbit pada 1962. Dalam buku-buku seperti ini, Imam Bonjol digambarkan secara kaku sebagai “perintis djalan ke kemerdekaan” atau “pahlawan kemerdekaan” yang dengan semangat nasionalisme berperang melawan penjajah Belanda demi memerdekakan Indonesia.

Wajah Ketiga: Pahlawan Minang

Runtuhnya Orde Baru beriringan dengan pudarnya narasi besar sejarah Nasional yang ditulis di bawah rezim tersebut. Pada awal-awal 2000-an terjadi semacam desentralisasi dalam penulisan sejarah di Indonesia. Perlawanan sembunyi-sembunyi atas narasi sejarah yang terpusat, mulai muncul terang-terangan dalam skala cukup besar begitu Suharto tumbang. Klaim-klaim sejarah yang nasionalistik mulai digugat, coba diganti dengan narasi sejarah yang lebih lokal-sentris seperti. Memakai kalimat Gery Van Klinken (2001), masa-masa peralihan ini adalah masa the battle for history.

Pelokalan narasi kepahlawanan yang bersinggungan dengan etnisitas menjadi bagian dari pertarungan tersebut, termasuk kepahlawanan Imam Bonjol. Citra Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional yang telah mapan sejak 1950-an, mulai dibentuk ulang, dikaitkan dengan etnisitas.

Sebuah literatur tentang Tuanku Imam Bonjol berjudul Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784–1832) yang ditulis oleh Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Maradjo, mencoba menempatkan Imam Bonjol sebagai sosok intelektual yang berjuang untuk etnis dan umatnya.

Buku ini diterbitkan pertama kali pada 1988 dan setelah direvisi diterbitkan kembali untuk ketigakalinya pada 2008 dalam momen 200 tahun Imam Bonjol. Penggambaran Sjafnir mengenai Imam Bonjol jauh dari kesan pahlawan gagah perkasa yang maju berperang demi nasionalisme. Sebaliknya buku ini mencoba menggeser dasar perjuangan Imam Bonjol. Jika dalam narasi sejarah nasional landasan itu adalah nasionalisme, maka bagi Sjafnir adalah “hukum adat Ber-sendi syarak”.

Karena itu pula, apa yang menjadi tujuan perjuangan Imam Bonjol bukan lagi persatuan nasional namun terutama untuk mewujudkan “…solidaritas (uchuwah islamiyah), persatuan dan konsepsi keadilan, dan keadilan dalam bermasyarakat”. Bagi Sjafnir, ketimbang semangat nasionalisme, inilah yang mendorong terjadinya “Perlawanan Rakyat Minangkabau”.

Ini adalah semacam gambaran mengenai Imam Bonjol yang telah dilekatkan sedemikan rupa dengan etnisitas. Ada kesan kuat bahwa di sini Imam Bonjol dikurung dalam idealisasi atas etnis Minang yang memiliki bakat khusus sebagai intelektual, dan di saat yang sama tidak meninggalkan nilai-nilai Islam sebagai pijakan utama. Pendek kata, Imam Bonjol di sini di-Minangkan sedemikian rupa meski Imam Bonjol sendiri tidak pernah mendaku Minang.

Hingga hari ini, citra Imam Bonjol sebagai pahlawan Minang masih bertahan. Bentuknya bisa beragam. Namun munculnya cara pandang ini juga beriringan dengan munculnya tawaran lain untuk melihat sosok Imam Bonjol.

Wajah yang Hilang: Wajah Manusia Peto Sjarif

Dalam banyak epos kepahlawan, si pahlawan sering digambarkan sebagai manusia nyaris-sempurna, termasuk dalam epos sejarah nasional Indonesia. Tokoh-tokoh pahlawan dalam narasi sejarah nasional ditampilkan nyaris tanpa emosi kecuali kobaran semangat untuk memerdekakan bangsanya. Penggambaran seperti itu, di satu sisi mencerminkan kebutuhan-kebutuhan pada masa-masa dibentuknya sejarah nasional Indonesia. Namun di sisi lain, penggambaran yang kaku atas seorang pahlawan akan segera jatuh pada pengsakralan, dan lebih berbahaya lagi ialah pemfosilan.

Dalam kaitannya dengan Imam Bonjol, imaji yang kaku dan pejal atas Imam Bonjol dalam narasi sejarah nasional telah tertanam demikian kuat. Keyakinan yang bersifat doktriner bahwa Imam Bonjol adalah sosok manusia-nyaris sempurna membuat sebagian orang tidak bisa menerima gambaran lain mengenai Imam Bonjol. Jika ada penggambaran terhadap sisi lain Imam Bonjol yang lebih humanis, maka penggambaran itu bisa ditentang habis-habisan. Dramawan Wisran Hadi pernah ditolak mementaskan karyanya tentang Perang Paderi karena gambaran yang ditawarkan Wisran mengenai Imam Bonjol yang penuh keragu-raguan, sedikit lemah dan sedikit nakal, berbeda dengan versi sejarah nasional atau versi Islami-Minangkabau. “Peto Sjarif namaku,” salah satu dialog dalam naskah drama seri Perang Paderi itu, menegaskan upaya Wisran untuk menampilkan sosok Imam Bonjol yang lebih manusiawi.

Sejarawan Jeffrey Hadler juga menunjukkan betapa penggambaran pahlawan dalam narasi sejarah nasional telah membuat orang melupakan kemampuan reflektif Imam Bonjol. Dalam bukunya Sengketa Tiada Putus (2010) yang bisa dikatakan sudah jadi karya klasik itu, Hadler memperlihatkan secara langsung atau pun tidak langsung bahwa Imam Bonjol adalah manusia yang berdaya-pikir, mampu membuat inisiatif sendiri, bukan manusia pasif yang melulu disetir semangat nasionalisme ataupun semangat keagamaan.

Dalam satu fase dalam sejarah Perang Paderi, Hadler menunjukkan bahwa Imam Bonjol pergi menyepi untuk beberapa waktu. Di waktu itu, Imam Bonjol memikirkan ulang segala tindakannya. Ia merasa sudah bertindak terlampau jauh. Ia kemudian mengutus anak kemenakannya pergi ke Mekah untuk mempelajari lagi hukum Islam. Sekembali dari Mekah, para utusan itu menyampaikan apa yang dipelajarinya, bahwa Islam yang kaku dan keras sudah tidak lagi dipakai. Dari keterangan tersebut Imam Bonjol merenung untuk beberapa saat dan kemudian mengumumkan bahwa ia akan meninggalkan cara dakwahnya yang lama, mengembalikan harta rampasan perang serta memulihkan kekuasaan para penghulu. Di titik ini, Imam Bonjol mengakhiri Perang Paderi sebagai perang untuk memperbaharui Islam.

Dengan melihat Imam Bonjol lewat cara seperti ini, Hadler mencoba menunjukkan bahwa konflik-konflik seperti Perang Paderi bukan tidak mungkin untuk menemukan penyelesaian secara internal. Di dalam konflik-konflik semacam itu, menurut Hadler ada berbagai piranti kebudayaan yang akan bekerja untuk menyelesaikan persoalan tanpa perlu campur tangan pihak luar. Campur tangan yang dimaksudnya ialah berbagai invasi militer atas nama pemberantasan terorisme (dan juga nasionalisme). (*)

--

--

Randi Reimena

Jurnalis Lepas | Alumni Program Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Andalas