Eksistensi Berpikir Kritis

Rangga M
Feb 27, 2023

--

( Kebutuhan Mendasar )

( Sumber : Pinterest )


Sebagai premis awal untuk tulisan yang akan saya buat, mari saya antarkan kepada sebuah jurnal tentang Manusia “ Ragawi dan Rohani “ yang ditulis oleh Budiman Sulaeman ( Dosen IAIN Parepare). Beliau menyampaikan: Nilai manusia, memang tidak terlalu mahal jika ditakar dari fisiknya. ‘ Hanya ' jutaan rupiah. Mayat yang diawetkan ( Cadaver ) dan dipakai pembelajaran anatomi, bedah, otopsi mayat atau praktikum mahasiswa di Laboratorium Fakultas Kedokteran pada kisaran harga 5-20 juta. Lalu apa yang membuat nilai manusia bisa tinggi dan mahal? Jawabannya karena adanya unsur metafisik: Ilmu, Agama, dan moral. Itu sebabnya, Agama Islam memandang manusia sebagai mahkluk unggulan.

Kemuliaan manusia terletak pada keseluruhan kepribadiannya yang meliputi kemampuan intelektual, moral dan spiritualnya. Ketiga kemampuan ini yang membuat manusia terhormat, sehingga tidak ada diatas manusia kecuali Tuhan. Sebagai contoh, dari segi akal, manusia memiliki akal kreatif, malaikat mempunyai akal normatif. Disamping nalar kreatif, manusia juga diberi konsesi oleh Tuhan untuk memiliki pengetahuan kreatif. Ini berarti Nabi Adam memiliki ilmu yang bersifat interdisipliner ( pendekatan yang digunakan untuk melakukan pemecahan masalah melalui dua atau lebih disiplin ilmiah ).

Dari sini kita bisa simpulkan bahwa manusia dengan setiap kelebihan yang ia miliki dapat menciptakan ekosistem baru terhadap kelayakan hidup masing-masing. Mulai dari: ekosistem biologi, ekosistem pemukiman ; kota dan desa, hingga ekosistem digital ( tentu ada ekosistem alam dan lain sebagainya, namun yang membuat berbeda dengan ekosistem buatan manusia, merupakan sebuah kesepakatan bersama— atau bahkan hanya segelintir orang, untuk tidak mengganggu makhluk hidup atau lingkungan yang ada di sekitar manusia itu sendiri). Dari sini permasalahan muncul, alih-alih memberdayakan semua potensi akal kreatif, manusia mulai merenggut setiap apa yang ada di dekatnya. Sehingga siapapun yang yang memiliki kendali, modal, relasi, dan semacamnya mulai menjejakkan kaki masing-masing pada lingkungan. Sebagai contoh; perampasan ruang hidup, hak asasi manusia, media, tanah dan yang menjadi ‘keuntungan’ bagi pihak-pihak tertentu.

Berbagai sumber masalah yang manusia itu lakukan—dan manusia itu juga yang mencari solusi atas apa yang telah dibuatnya, mendasari tulisan ini, tentang kegelisahan yang tak mungkin rasanya saya sampaikan melalui bicara dari satu teman ke teman lainnya adalah akar dari semua masalah yang tak kian mereda.

Saya akan sedikit—banyak berbicara tentang bagaimana berpikir kritis dalam dunia yang menurut banyak orang sebagai revolusi digital.
Mari saya ajak untuk berpikir dan menjawab sedikit, apa bayangan anda tentang kehidupan digital ? Tentu banyak perbedaan dari yang disimpulkan oleh kalian, tapi benang merah yang dapat saya ambil adalah ‘dunia’ digital merupakan sebuah ilusi atau imaji tentang membangun profil baru terhadap diri kita sendiri. Sebuah dunia baru dengan harapan dapat membahagiakan orang banyak dengan sarana serba cepat untuk memperoleh informasi. Jangan lupa bahwa semakin cepat perkembangan, semakin besar margin of errornya. Oleh daripada itu, secara tidak langsung manusia merasa ‘cukup’ terhadap semua komponen informasi yang didapatnya dengan begitu cepat ( tanpa meneliti atau mencari sebuah kebenaran secara mendalam tentang informasi yang diperoleh melalui layar gadget masing- masing) untuk kemudian hidup hari ini dengan sekantong informasi yang didapatnya tadi. Saya tidak mengatakan bahwa semua manusia melakukan itu, tetapi ketika dadu mulai dikeluarkan, fakta berbicara. Bahwa semakin banyak hoax yang ada pada masyarakat sudah cukup untuk membuktikan apa yang saya katakan tentang kesalahan mendasar mengolah informasi yang dijalani oleh mayoritas dari kita semua alami menjadi kebenaran yang mutlak. Disinilah peran yang saya angkat sebagai tema muncul, untuk berpikir secara kritis ( dalam memperoleh informasi ) dan bernalar sehat berada. Dan mungkin, obat dari rasa ‘ sakit ' yang dialami oleh mayoritas dari kita semua.

Mengacu pada apa yang disampaikan David Graeber tentang “ Kepingan – Kepingan Antropologi Anarkis “ ( 2004 ) . Graeber dalam tulisannya dengan jelas mengatakan : Jika ada satu kesalahan logis yang mendasari semua ini, maka hal itu bersandar pada cara kita membayangkan perubahan sosial atau bahkan teknologi yang mengambil bentuk yang sama dengan apa yang disebut Thomas Kuhn sebagai “ struktur revolusi ilmiah “. Kuhn menambahkan : secara tiba tiba ada terobosan intelektual dan sesudahnya, alam semesta berbeda. Diterapkan pada apapun selain revolusi ilmiah, hal itu menyiratkan bahwa dunia benar benar setara dengan pengetahuan kita tentangnya, dan ketika kita mengubah prinsip
– prinsip yang menjadi dasar pengetahuan kita, realitas juga berubah. Ini hanyalah semacam kesalahan intelektual mendasar yang dikatakan oleh para psikolog, perkembangan bahwa kita seharusnya mengatasi hal-hal tersebut di masa kanak-kanak, tetapi tampaknya hanya sedikit dari kita yang benar-benar melakukannya. Kenyataannya, dunia tidak berkewajiban untuk memenuhi harapan kita, dan sejauh ‘ realitas ' mengacu pada apapun itu, merujuk tepat pada apa yang tidak pernah bisa sepenuhnya diolah oleh kontruksi imajinatif kita. Realitas selalu lebih berantakan daripada itu.

--

--