Paras POLRI di Alam Demokrasi Indonesia

--

Ditulis oleh Ilham Maududi & Rafi Sandya R

Abstraksi

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan kajian berdasarkan data dan ditambah perspektif penulis mengenai alam demokrasi di Indonesia dan bentuk ideal suatu instansi kepolisian di suatu negara demokratis yang direfleksikan ke dalam kondisi di Indonesia saat ini. Tulisan ini juga menyajikan konseptualisasi Polisi dalam pandangan para ahli dan penjelasan fungsi hingga power yang dimiliki Polisi secara umumnya dan POLRI secara khususnya. POLRI sebagai institusi belakangan ini tengah mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat Indonesia akibat kasus-kasus yang terjadi. Pemberitaan media mengenai POLRI seolah datang bertubi-tubi. Kritikan masyarakat dari berbagai kalangan terhadap POLRI menunjukkan terdapat permasalahan di dalam institusi ini. Pada artikel ini akan membahas mengenai kepolisian, konseptualisasi polisi, fungsi serta power pada polisi, polisi di negara demokrasi, peranan POLRI dalam demokrasi Indonesia, serta berbagai problematika yang hendaknya dibenahi oleh POLRI.

Kata Kunci: POLRI, Demokrasi, Power, Fungsi

Pendahuluan

Kepolisian merupakan sebuah instansi dalam suatu negara yang memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan kehidupan sosial di tengah masyarakat. Dalam pelaksanaan tugasnya, instansi kepolisian memiliki tugas utama yaitu untuk mengayomi masyarakat, namun dalam masyarakat modern ini polisi sering kali menyalahi wewenang kekuasaannya dalam menangani suatu kasus di tengah masyarakat, hal semacam ini sering terjadi di berbagai belahan dunia. Menurut Eduard Nazarski, Instansi Kepolisian bisa menjadi salah satu pelanggar hak asasi manusia di kalangan masyarakat, namun pada saat yang bersamaan Kepolisian juga memegang peran penting dalam perlindungan hak asasi manusia itu sendiri.

POLRI sendiri merupakan instansi kepolisian yang dimiliki oleh Indonesia. Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002, POLRI memiliki tugas penting dalam menunjang keamanan demi mencapai tujuan negara menciptakan suatu masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab sesuai pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia. Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki hak untuk mengeluarkan peraturan kepolisian demi mencapai fungsi utamanya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Melihat situasi terbaru di Indonesia saat ini, masyarakat sering kali menyuarakan keresahan terhadap kinerja Polri yang sering kali tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang diilhami oleh masyarakat. Tindakan pihak oknum kepolisian yang terkadang menggunakan kekuasaan diluar batas dan cenderung terlihat seolah menekan masyarakat menjadi tanda tanya besar pada integritas Polri dalam melakukan kontrol terhadap pihak nya sendiri.

Keresahan yang disuarakan masyarakat melalui media sosial biasanya direspon secara berlebihan dari admin sosial media kepolisian yang sangat defensif. Seperti yang terjadi pada orang yang menyuarakan mengenai pelayanan satpam BCA yang lebih baik dari pelayanan aparat kepolisian, beliau mendapat serangan melalui pesan pribadinya dari akun-akun tidak dikenal yang diduga merupakan buzzer milik oknum aparat kepolisian.

Bukan hanya itu, berbagai kekerasan juga sering terjadi kepada masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya yang memberikan suaranya melalui aksi unjuk rasa. Selain kekerasan ini, wartawan ataupun jurnalis juga terkadang menjadi sasaran arogansi dari oknum aparat kepolisian.

Secara hukum, hal ini bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dipakai oleh bangsa dan negara Indonesia. Hukum dan Demokrasi Indonesia menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan PERS, dan kebebasan mendapat informasi. Tindakan seperti ini justru mencederai nilai Demokrasi Bangsa. Maka tulisan kali ini akan menyajikan mengenai konsep dan fungsi dari kepolisian itu sendiri sesuai teori yang berlaku dalam studi yang ada dengan merefleksikannya kepada kenyataan demokrasi Indonesia dan tindakan dari aparat kepolisian di dalamnya.

Konseptualisasi Polisi

Polisi sebagai suatu institusi belum bisa dikatakan sepenuhnya mengilhami konseptual dari kepolisian yang berfokus pada pendalaman kriminologi dan hukum pidana. Penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai sarjana di bidang kriminologi telah memikirkan apa yang dipikirkan anggota polisi perseorangan seringkali berbeda dengan konsep kepolisian sebagai instansi. Konsep kepolisian yang paling mudah ditemui adalah penggunaan kekuatan dan kekuasaan dalam menekan suatu hal yang berpotensi menjadi tindakan kriminal yang mana tindakan dari petugas kepolisian secara perorangan ini sering kali bertentangan dengan dogma demokrasi dan HAM (Jobard, 2015).

Asumsi dasar dari Konsep Kepolisian yang selama ini digunakan dalam berbagai penelitian adalah penggunaan kekuatan fisik sebagai “inti dari peran polisi”. Bittner menjelaskan bahwa karakteristik dalam peran kepolisian paling baik dipahami sebagai mekanisme untuk distribusi kekuatan paksa yang tidak dapat dinegosiasikan yang digunakan sesuai dengan perintah pemahaman intuitif tentang urgensi situasional (Bittner, 1990). Pada abad ke-20, ilmuan baru, Max Weber, menyatakan bahwa negara adalah organisasi yang memiliki legitimasi untuk memonopoli penggunaan kekuatan melalui instansi di bawahnya yaitu Kepolisian dan Tentara Nasional. Sehingga bagi Max, sah saja jika kepolisian menggunakan kekuatan untuk menekan suatu entitas yang memiliki potensi untuk menciptakan suatu ketidak stabilan di masyarakat.

Dalam penggunaan kekuatan, konsep kepolisian menjelaskan bahwa ada yang dikenal dengan paradigma Police Use of Force yang memiliki implikasi dalam kinerja kepolisian. Salah satu implikasi nya adalah kekuatan apa pun yang digunakan harus minimal, yaitu jumlah kekuatan yang tepat yang dibutuhkan oleh urgensi situasional yang sedang dihadapi, yang seharusnya tidak dilampaui. Kekuatan seperti itu tidak merusak atau memusnahkan, sebagai lawan dari kekuatan militer.

Meski penggunaan kekuatan dianggap sah, namun penggunaannya harus netral dan sesuai permintaan dari masyarakat yang terancam. Maka, permintaan masyarakat seharusnya menjadi hal penting dalam penentuan distribusi layanan kepolisian.

Konsep kepolisian dalam ilmu sosial dan praktek nyatanya telah berkelok dan berubah sangat nyata. Berbagai ahli menyatakan bahwa seharusnya saat ini Kepolisian lebih terkait dengan pekerjaan sosial daripada penggunaan kekuatan. Karena bagi sebagian, penggunaan kekuatan hanyalah salah satu elemen dalam gambaran yang lebih besar, tentu saja bukan gambaran keseluruhan, dan tindakan kepolisian dalam penggunaan power sering dibarengi dengan suatu pelanggaran yang tidak dihukum pada elemen instansi itu. Apa yang kemudian menjadi ciri polisi, bukanlah kekuatan paksaan, tetapi pelanggaran hukum yang tidak dijerat (Jobard, 2015). Dalam perspektif ini, polisi sebagai institusi beraktifitas atas dasar keterpurukan melawan kelas berbahaya dan bertugas melindungi kelompok dominan. Dalam pemahaman lain yang lebih didasarkan pada teori politik, konsep polisi tidak akan berbeda dari tatanan politik: lembaga kepolisian mewujudkan dan membela tatanan politik dan bahkan dapat dikatakan, lebih khusus, untuk mewujudkan tujuan politik kelompok dominan dan gairah politiknya sendiri. Secara naluriahnya, polisi sebagai penegak hukum berada dibawah komando negara dengan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, akan mematuhi segala perintah yang diberikan. Jabatan Presiden merupakan jabatan politik, sehingga aktivitas polisi sejatinya akan membela kepentingan pemegang kekuasaan yang sifatnya politis.

Fungsi dan Power Polisi

Menjaga kestabilan umum merupakan tugas utama dari negara sehingga masyarakat yang tinggal di dalam yurisdiksinya dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara secara penuh. Banyak lembaga Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam mengamankan ketertiban. Ada situasi saling ketergantungan yang kompleks dan polisi hanyalah salah satu lembaga Negara yang terlibat. Namun Polisi merupakan instansi yang memiliki keterlibatan secara langsung dalam mengatur ketertiban umum di tengah tatanan masyarakat.

Instansi kepolisian dalam melakukan tindakan nya menjaga ketertiban umum tidak familiar dengan hukum yang berlaku secara internasional, dasar tindakan kepolisian di setiap negara berpaku pada hukum nasional yang berlaku. Fungsi polisi di sebagian besar yurisdiksi yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepolisian, menguraikan tujuan inti yang harus dicapai polisi serta sumber daya untuk melakukannya.

Meski standar internasional tidak menjelaskan fungsi kepolisian secara spesifik, namun pemahaman bersama dari setiap ahli dibidang ini menuliskan bahwa ada tiga fungsi utama dari kepolisian yaitu

  1. Menjaga ketertiban umum
  2. Mencegah dan mendeteksi potensi kejahatan
  3. Menyediakan bantuan kepada mereka yang membutuhkan

Pemberian bantuan kepada publik juga merupakan fitur dari badan kepolisian, tetapi fungsi seperti itu kurang berkembang di berbagai negara. Dimasukkannya fungsi pelayanan di bawah fungsi kepolisian agak berbeda karena mengubah peran polisi dari sebagai “kekuatan” yang digunakan dalam masyarakat menjadi badan “pelayanan” masyarakat (Osse, 2007). Yang dimaksud kurang berkembang oleh Nazarski adalah fungsi layanan ini biasanya hanya cepat ketika membantu kelompok dominan sedangkan bagi masyarakat yang berada di kalangan bawah, layanan seringkali bersifat tumpul dan memiliki proses yang panjang.

Menjaga ketertiban umum merupakan salah satu fungsi instansi kepolisian yang mudah dipahami. Fungsi ini meliputi menjaga lalu lintas hingga mengamankan area yang menjadi tempat unjuk rasa. Sedangkan fungsi yang paling jelas dan terlihat adalah untuk mendeteksi dan mencegah tindakan kriminal. Fungsi ini merupakan badan kerja utama dari suatu kepolisian demi menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat yang merupakan tugas dan kewajiban utama negara melalui institusinya untuk memenuhi hak-hak warga negaranya.

Dalam operasionalisasi fungsi kepolisian, penelitian menunjukan bahwa ada tiga kategori berbeda yang dilakukan petugas kepolisian demi mencapai tujuannya yaitu; Berpatroli, tujuan utama dari patroli biasanya adalah menyediakan layanan publik, menjaga ketertiban umum dan mencegah kejahatan. Berpatroli memiliki tujuan untuk terlibat dalam pengawasan langsung situasi masyarakat dan melaporkan kepada atasan melalui telekomunikasi radio sambil menunggu perintah untuk bertindak. Namun tindakan itu juga menyebabkan polisi menjadi ‘mahahadir’ di masyarakat yang dapat berkontribusi pada rasa aman masyarakat namun juga rasa takut; Investigasi Kejahatan, bertujuan untuk mendeteksi dan menelusuri kejahatan setelah itu terjadi, meski dalam tujuannya juga untuk mencegah kejahatan berantai yang mungkin mengikuti; Trafik, bertujuan untuk mencegah potensi kejahatan dan ketidakstabilan di jalan umum, dan pada tingkat ini petugas kepolisian memiliki wewenang untuk menyelidiki suatu kasus kecelakaan lalu lintas (Osse, 2007).

Selain fungsi utama diatas, instansi kepolisian juga memiliki fungsi lain yaitu

  1. Membantu pemadam kebakaran
  2. Tugas penjara
  3. Kontrol perbatasan dan imigrasi
  4. Perlindungan VIP
  5. Administratif
  6. Keamanan dan Intelijen Nasional

Maka jika dilihat dari fungsi diatas, kepolisian memiliki tingkat power yang sangat luas dalam mengatur ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat. Power ini adalah yang yang sah dan lumrah digunakan oleh petugas kepolisian dalam menangani situasi yang mulai diluar kendali, namun pada masa modern seperti saat ini, penggunaan power oleh petugas kepolisian seringkali menyalahi aturan dan diluar batas yang seharusnya. Penggunaan power di tengah masyarakat harus melihat beberapa unsur dasar yaitu; Proporsionalitas; Ketentuan Hukum; Akuntabilitas; dan Kebutuhan. Kehadiran polisi itu sendiri di berbagai kalangan dan tatanan masyarakat sebagai bentuk pencegahan kejahatan merupakan bentuk dari power yang dimiliki instansi kepolisian, ini merupakan bentuk kewenangan dimana kepolisian memiliki hak untuk ikut serta dalam masyarakat secara langsung di dalam spektrum yang lebih luas. Meski kehadiran petugas kepolisian di tengah masyarakat bisa memberikan perasaan aman, namun disaat yang bersamaan akan memberikan perasaan terancam ketika petugas kepolisian membawa unit persenjataan.

Kepolisian sendiri dalam prinsipnya merupakan lembaga yang cenderung bersifat Otoritarian dikarenakan power dan wewenangnya yang sangat luas di masyarakat. Biasanya sifat ini sangat berkembang di negara yang juga bersifat Otoriter, namun dalam proses transisi demokrasi, sifat lembaga kepolisian yang Otoritarian seringkali dipertahankan atau terbawa di dalam masyarakat yang masih transisi atau sudah demokratis.

Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, POLRI memiliki peran penting sebagai lembaga yang mengayomi masyarakat, menjaga keamanan dan kestabilan umum, hingga memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat umum yang membutuhkan. Modern ini, Kepolisian seringkali mendapat kritik dari masyarakat terkait pelayanan yang kurang memuaskan dan tindakan petugas di lapangan yang tidak sesuai dengan nilai kepolisian itu sendiri. Penggunaan power oleh petugas kepolisian seringkali melewati batas ketentuan hukum tertentu, seperti yang terjadi baru-baru ini dimana petugas kepolisian membanting seorang mahasiswa ke trotoar, penggunaan gas air mata yang sudah kadaluarsa hingga tembakan angin yang diarahkan langsung pada masa, menerobos sekolah hingga tempat ibadah untuk menangkap masa yang berlindung di dalamnya, tindakan anarkis terhadap massa pendemo, hingga meluapnya keluh kesah masyarakat melalui platform Twitter bahwa pelaporan kasus melalui instansi kepolisian tidak pernah membuahkan hasil hingga bertahun-tahun sehingga muncul seruan tagar #percumalaporpolisi. Maka perlu dilakukan kajian lebih dalam mengenai bentuk ideal Kepolisian dalam suatu negara Demokrasi dan direfleksikan ke dalam suatu kondisi yang ada di Indonesia saat ini.

Polisi dalam Masyarakat dan Negara Demokratis

Keberadaan Polisi cukup vital bagi suatu negara. Fungsinya sebagai penjaga ketertiban masyarakat sangat diperlukan bagi stabilitas negara. Keberadaan polisi juga dapat mengantisipasi adanya tindakan-tindakan anarkisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang dapat berbahaya bagi demokrasi suatu negara. Guna menegakkan ketertiban ataupun pencegahan kejahatan di masyarakat, polisi diperkuat oleh kewenangan-kewenangan yang diberikan bagi setiap anggotanya.

Salah satu kewenangannya adalah aparat kepolisian dipersenjatai. Meski demikian, setiap negara berbeda-beda dalam memberikan senjata bagi polisi. Terdapat negara-negara yang mempersenjatai polisi dengan senjata api seperti di Indonesia atau Amerika Serikat. Namun di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Norwegia, Irlandia, atau Islandia, sebagian besar polisi tidak dipersenjatai dengan senjata api. Begitu juga dengan negara di Pasifik Selatan seperti Selandia Baru yang tidak memberikan senjata api bagi polisi. Sebagai gantinya, polisi menggunakan tongkat hingga semprotan merica sebagai senjata yang dipergunakan.

Dengan tidak dipersenjatainya polisi dengan senjata api, maka tingkat pembunuhan dengan senjata api menjadi rendah pada negara-negara tersebut. Mempersenjatai polisi dengan senjata api memiliki konsekuensi terhadap masyarakat dimana masyarakat dapat merasa ketakutan serta merasa berada dalam ancaman.

Beberapa kasus seperti salah tembak, peluru nyasar, hingga penyalahgunaan senjata api oleh polisi seperti menodong warga dengan senjata api sebagai bentuk ancaman telah membuat masyarakat khawatir akan kewenangan aparat terhadap senjata api. Selain itu juga dapat membuat polisi seakan memiliki kuasa terhadap warga sipil atau power yang lebih kuat dibandingkan warga sipil. Hal ini dapat memicu timbulnya arogansi pada aparat yang seyogyanya bertugas mengayomi masyarakat. Dalam negara demokrasi, terciptanya rasa aman dalam kehidupan masyarakat merupakan indikator yang sangat penting. Polisi memiliki kewajiban untuk menciptakan rasa aman tersebut agar demokrasi tetap terjaga serta masyarakat merasa aman dengan kehadiran Polisi, bukan sebaliknya.

Demokrasi Indonesia Saat ini dan Peran POLRI di Dalamnya

Mengayomi dan melindungi serta melayani masyarakat merupakan slogan yang coba dihadirkan POLRI kepada masyarakat guna membangun citra positif serta dekat dan bersahabat dengan masyarakat. Namun, persepsi publik terhadap slogan tersebut sepertinya berkata sebaliknya, terlebih dengan sorotan publik terhadap POLRI akibat kasus-kasus yang terjadi belakangan ini.

Mulai dari represifitas aparat ketika mengawasi aksi unjuk rasa mahasiswa dengan membanting mahasiswa, tagar #percumalaporpolisi, reaksi berlebihan anggota polisi terhadap cuitan mengenai komparasi polisi dengan satpam BCA yang dianggap jauh lebih ramah dan melayani, hingga cuplikan sebuah acara dimana anggota polisi yang melakukan penggeledahan yang tidak sesuai prosedur dengan memeriksa telepon genggam meski orang tersebut menolak karena itu bagian dari privasi, serta kasus-kasus lainnya yang membuat POLRI mendapat sentimen negatif dari masyarakat serta menurunnya kepercayaan publik kepada penegak hukum.

Terdapat banyak problematika yang harus dibenahi oleh POLRI sebagai institusi guna mewujudkan citra yang coba dibangun yakni mengayomi dan melindungi serta melayani masyarakat. Karakter yang humanis, siap sedia bekerja secara maksimal untuk memproses segala macam aduan masyarakat, serta objektif dalam menegakkan keadilan merupakan dambaan masyarakat terhadap polisi.

Namun pada kenyataanya, data dilapangan menunjukan fakta yang tidak sesuai dengan slogan POLRI. Lembaga KontraS mencatat laporan bahwa pada Juni 2020 hingga Mei 2021 terjadi setidaknya ada 651 kasus kekerasan yang dilakukan polisi atau disebut “oknum polisi” dari berbagai tingkat seperti Polres, Polda, maupun Polsek. Tindak kekerasan yang paling banyak tercatat adalah penembakan, yaitu tercatat 250 kasus di tingkat Polres dan 59 kasus di tingkat Polda dengan 13 orang tewas dan sisanya luka-luka. Angka ini stabil meningkat dari tahun-ke-tahun. Meski dalam upaya penanganannya Kapolri telah mengeluarkan suatu prinsip prioritas terhadap kekerasan guna mengidentifikasi tindak kekerasan berat yang perlu ditangani, pada kenyataan dilapangan oknum kepolisian menangani dengan kekerasan tanpa diskriminasi kepada seluruh masa yang ada. Hal ini menunjukan bahwa program dan prinsip yang dibuat oleh Kapolri tidak memberikan perbaikan yang signifikan.

Tindakan penanganan oleh aparat kepolisian yang indiscriminate dan oknum kepolisian yang bersifat arogan sering membawa malapetaka bagi para jurnalis di lapangan. Pada tahun 2020 sendiri telah disebut sebagai tahun represi dimana POLRI telah menjadi aktor utama dalam kekerasan terhadap Jurnalis, ini menjadi tahun yang sangat kelam bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat hingga media di Indonesia. Padahal, media merupakan pilar keempat berdirinya Demokrasi sehingga kebebasan pers, bermedia, dan penyampaian berita harus dilindungi, namun monitoring dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mencatat bahwa kekerasan terhadap jurnalis yang sedang meliput meningkat 32% dari tahun 2019. Bentuk kekerasan yang diterima oleh jurnalis terbagi atas beberapa jenis pelanggaran seperti kekerasan verbal dan intimidasi, penganiayaan, merusak alat liputan, mengancam jurnalis untuk menghapus data yang telah direkam, hingga serangan digital ketika mempublish berita yang mengkritik POLRI dan Pemerintah.

Padahal secara jelas para jurnalis dilindungi secara hukum dan hal ini tertuang didalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Maka kekerasan oknum polisi terhadap jurnalis sudah jelas melanggar hak-hak dari seorang jurnalis dan pasal itu sendiri. Tindakan kekerasan yang dilakukan secara bersamaan/ pengeroyokan kepada jurnalis juga telah melanggar Pasal 170 Jo dan Pasal 351 KUHP. Kemudian tindakan petugas kepolisian dalam memaksa para jurnalis untuk menghapus data liputan mereka juga telah mencederai UUD 1945 pasa 18F yang mengatur dan menyatakan hak setiap warga negara untuk mendapatkan informasi setransparan mungkin tanpa campur tangan pengaruh dari pemerintah atau badan pemerintah lain.

Tindakan kepolisian dalam menangani kasus kekerasan khususnya kekerasan terhadap PERS dianggap masih jauh dari cukup. Kepolisian dianggap kurang tegas dalam menangani tindak kekerasan yang dilakukan oleh Oknum-oknum di dalam badannya sendiri. Kekerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian seringkali lolos tanpa pidana dan hanya berakhir kekeluargaan dan kata “Maaf”. Harus ada penelitian mendalam mengenai tindakan oknum polisi dalam penyelesaian masalah dengan korban kekerasan, jika berakhir kekeluargaan dan kata maaf berasal dari hati dan keinginan masing-masing maka itu tidak dipermasalahkan, namun jika polisi menggunakan power nya untuk menekan korban setuju atas permintaan polisi maka hal semacam ini salah dan harus ditindak tegas. Banyak sekali hal-hal janggal yang terjadi mulai dari siaran pers kepolisian yang menyatakan korban telah “memaafkan” namun di media lain korban tetap ingin kasus dilanjutkan ke Pengadilan seperti kasus yang terjadi baru-baru ini ketika Oknum aparat membanting mahasiswa. Upaya POLRI dalam menangani kekerasan terhadap Pers dengan memberikan rompi pers juga menjadi pertanyaan akan efektifitasnya. Layaknya jembatan yang memiliki dua sisi, hal ini juga memiliki sisi negatif, oknum kepolisian bisa saja secara jelas mengetahui target nya untuk memaksa wartawan menghapus liputannya ketika terjadi tindak kekerasan oleh oknum tersebut kepada masa yang terekam oleh jurnalis.

Ketidakseriusan kepolisian dalam menangani permasalahan juga menjadi permasalahan serius, bisa dilihat dari tidak adanya upaya serius kepolisian untuk menyelesaikan permasalahan seperti pada kasus pelecehan seksual yang diangkat oleh Project Multatuli dimana polisi menghentikan penyelidikan. Belum lagi kasus Kapolsek yang diduga setubuhi anak tersangka. Ini merupakan permasalah yang sangat serius dalam tubuh POLRI yang wajib dibenahi.

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, sorotan publik terhadap POLRI memang begitu tajam. Posisi posisi strategis jabatan sipil banyak diduduki oleh Perwira Tinggi Polisi. Seperti yang terjadi pada tahun 2018 menjelang pilkada serentak dimana Mendagri berencana menunjuk Perwira Tinggi Polisi Martuani Sormin sebagai pelaksana tugas Penjabat Gubernur Sumatera Utara dan Irjen Mochamad Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat. Belum lagi posisi-posisi di instansi lain yang diduduki oleh Perwira tinggi aktif maupun non aktif seperti PSSI, KPK, BIN, BULOG, dan instansi lainnya.

Penempatan polisi pada posisi sipil mendapatkan kecaman dari banyak kalangan masyarakat. Hal tersebut dapat merusak profesionalisme polisi akibat masuknya polisi ke dalam urusan politik. Penempatan tersebut juga menimbulkan rasa kekhawatiran di masyarakat, dimana Pemerintah seakan melakukan dwi fungsi POLRI seperti pada masa orde baru dimana adanya dwi fungsi ABRI. Posisi strategis tersebut mempengaruhi power yang dimiliki POLRI semakin kuat. Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini menjadi bukti bahwa power kuat yang dimiliki POLRI dapat membuat polisi bertindak semena-mena.

Didalam badan dan proses kerja POLRI juga masih memiliki tanda tanya yang muncul dari kalangan masyarakat. Hingga saat ini banyak masyarakat khususnya pemerhati politik dan kalangan akademisi yang belum mengetahui pembagian anggaran kepolisian, dengan kata lain transparansi anggaran milik Kepolisian belum terealisasikan dengan penuh. Bagian dari badan kepolisian, Densus 88, memiliki anggaran yang cukup besar namun aksi teror masih kerap terjadi di ranah masyarakat. Perspektif kami menunjukan bahwa kinerja Densus 88 secara naluriah adalah untuk menyelesaikan masalah yang muncul, namun aksi pencegahan kurang terlihat, ini merupakan dampak dari kurangnya transparansi di dalam kepolisian pada masyarakat. Belum lagi disaat ini, pembagian bantuan sosial pemerintah untuk rakyat miskin, yang mana polisi terlibat di dalam penyalurannya, seringkali salah sasaran. Akibat nya, banyak tuntutan dari masyarakat kepada Pemerintah untuk melakukan transparansi terhadap bagaimana proses pendataan dan siapa saja yang dapat. Kemensos pun sudah mengajak POLRI untuk melakukan transparansi dalam hal ini namun hal itu hingga sekarang masih sulit didapat oleh masyarakat

Oknum-oknum kepolisian yang bertindak seenaknya dalam penggunaan Power ini justru menjadi pemain utama yang merusak kepercayaan masyarakat kepada instansi POLRI. Upaya keras Instansi POLRI untuk menunjukan citra baik akan hadirnya POLRI yang modern, profesional dan non-militeristik kepada masyarakat justru ternodai dengan tindakan para oknum yang malah membuat POLRI makin jauh dari pandangan masyarakat. Disinilah peran publik diperlukan sebagai bentuk kontrol agar POLRI sebagai institusi tidak keluar dari koridor-koridor tugas dan fungsinya dalam masyarakat. Sorotan publik terhadap institusi POLRI beserta kritik-kritik sejauh ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat yang menginginkan adanya perbaikan dari berbagai hal dalam tubuh POLRI.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berbagai permasalahan mengenai polisi yang terjadi belakangan ini telah membuat mata publik tertuju pada POLRI sebagai institusi. Banyaknya pemberitaan negatif mengenai polisi mengartikan bahwa perlu dilakukannya pembenahan dalam tubuh POLRI. Kritik-kritik masyarakat hendaknya diterima oleh POLRI guna mengembalikan marwah polisi sebagai pelindung serta pelayan masyarakat. POLRI perlu melakukan perubahan untuk mendapatkan kepercayaan publik. Pengarahan terhadap setiap anggota dalam melakukan tindakan, pemahaman hukum dan prosedur, berpegangan terhadap keadilan, terbuka terhadap kritik masyarakat, menghilangkan represifitas, arogansi, serta mengedepankan perilaku humanis hendaknya dilakukan oleh Kapolri. Pemerintah juga perlu menerima aspirasi masyarakat terhadap POLRI, memperhatikan keadaan POLRI belakangan ini, dan mengambil tindakan dengan kuasa yang dimiliki demi terciptanya polisi yang benar-benar diharapkan masyarakat.

Dalam menangani oknum-oknum kepolisian yang menggunakan power berlebihan hingga menyakiti masyarakat, POLRI harus tegas dengan membuat hukum tertulis dalam penanganannya. Tindakan semacam ini bukan hanya mencederai demokrasi bangsa namun juga menjadi pengaruh buruk bagi pandangan masyarakat terhadap POLRI. Upaya keras POLRI pun dalam menunjukan kepada masyarakat bahwa POLRI muncul untuk melayani dan profesional akan ternodai akibat ulah dari Oknum-oknum aparat nakal.

Referensi Bacaan

Jobard, Fabien. 2015. Conceptualizing the Police. HAL Archive Ouvertees.

Osse, Aneke. 2007. Understanding Policing: A Resource For Human Right Activist. Amnesty International Netherland. SBN: 90 6463 175 1

Prabowo, Harris. 2021. LBH Pers: Polisi jadi Pelaku Terbanyak Kekerasan Jurnalis pada 2020. Tirto.id. Diakses dari https://tirto.id/lbh-pers-polisi-jadi-pelaku-terbanyak-kekerasan-jurnalis-pada-2020-f87Q

Lesmana, Agung Sandy, Ria Rizky Nirmala Sari. 2021. Catatan KontraS: Polri Lakukan 651 Kasus Kekerasan Selama Setahun, Terbanyak Penembakan. Suara.com. diakses dari https://www.suara.com/news/2021/06/30/155555/catatan-kontras-polri-lakukan-651-kasus-kekerasan-selama-setahun-terbanyak-penembakan

Wacana Pj Gubernur dari TNI-Polri Ingatkan Dwifungsi ABRI di Era Orde Baru — News Liputan6.com

Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan. — Project Multatuli

--

--

Research Center for Future of Indonesia

Berkontribusi melalui kajian sosial politik demi perubahan Indonesia di masa depan