Cerita Forum Kebebasan 22 Desember 2023: Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, serta Tantangannya di Indonesia
Oleh: Iman Amirullah
Kebebasan agama dan berkeyakinan adalah hak asasi manusia yang melibatkan kebebasan individu untuk memilih, menganut, dan mengamalkan agama atau keyakinan pribadinya tanpa adanya paksaan atau diskriminasi. Ini merupakan prinsip fundamental dalam banyak konstitusi dan deklarasi hak asasi manusia.
Namun, kasus-kasus seperti pelarangan izin pendirian rumah ibadah, kontroversi perayaan hari raya agama-agama tertentu, pelarangan atau pemaksaan penggunaan atribut keagamaan tertentu, hingga momentum politik identitas dengan sentimen agama di Pemilu mendatang menjadi bukti bahwa tantangan kebebasan beragama di Indonesia masih ada dan relevan hingga saat ini.
Lantas, bagaimana kebebasan beragama dan berkeyakinan seharusnya dimaknai dalam konteks keberagaman masyarakat Indonesia? Apakah upaya pemerintah sejauh ini sudah cukup baik dalam melestarikan toleransi antarumat beragama?
Untuk mendiskusikan permasalahan tersebut, Suara Kebebasan bersama Students For Liberty (SFL) Indonesia menyelenggarakan webinar Forum Kebebasan yang diadakan pada 22 Desember 2023 lalu. Forkes kali ini mengangkat topik “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Tantangannya di Indonesia”. Diskusi kali ini menghadirkan Felia Primaresti, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) sebagai narasumber.
Untuk membuka diskusi, Felia memaparkan temuan dari Setara Institute yang menunjukkan adanya 175 peristiwa dan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia selama tahun 2022 saja. Lebih dari 50% pelaku dalam insiden-insiden ini ironisnya justru dilakukan oleh aktor negara,seperti kepolisian, Satpol PP, dan pemerintahan daerah.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa bentuk KBB bukan hanya berupa pelarangan pendirian tempat ibadah, tapi juga berupa pelarangan ceramah, kegiatan ibadah, dan hari raya keagamaan.
Diskusi kemudian berlanjut dengan pertanyaan mendasar mengenai apa yang melatarbelakangi berbagai tindakan dan peristiwa pelanggaran KBB di Indonesia. Felia menjelaskan bahwa akar utama dari permasalahan ini adalah arogansi mayoritas yang mengakibatkan munculnya perasaan superioritas dan kehendak untuk menguasai terhadap kelompok-kelompok lain yang lebih marjinal. Masalah bertambah pelik dengan terlibatnya negara baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai insiden pelanggaran KBB.
Secara langsung, pemerintah terlibat dengan menerbitkan berbagai aturan yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok agama dan kepercayaan minoritas misalnya dalam Peraturan Bersama Menteri 2006 yang mewajibkan adanya rekomendasi FKUB, persetujuan minimal 60 penduduk sekitar tempat ibadah, dan data dari minimal 90 penganut agama atau kepercayaan di tempat ibadah yang hendak didirikan. Peraturan ini bersifat sangat diskriminatif dan membatasi hak KBB kelompok minoritas dan kerap kali menjadi dasar bagi berbagai tindakan intoleransi yang kerap juga mengarah pada kekerasan.
Sedangkan secara tidak langsung, pemerintah justru kerap tunduk pada kelompok reaksioner dan intoleran dalam berbagai kasus, alih-alih melindungi hak KBB kelompok agama atau kepercayaan minoritas. Selain itu, negara juga kerap kali setengah hati dalam melakukan proses pendidikan publik terkait toleransi dan multikulturalisme. Kebanyakan upaya-upaya ini justru hanya bersifat seremonial dan gagal menyentuh akar masalah yang berkembang di masyarakat.
Beberapa peserta juga membagikan berbagai pengalamannya terkaitan toleransi dan KBB. Salah satu peserta misalnya, mengikuti kegiatan kemah toleransi di sebuah “kampung toleransi” yang justru membatasi pendirian gereja. Peserta lain juga bercerita bahwa politik identitas berbasis keagamaan mayoritas sudah memenuhi ruang publik dengan fenomena “halalisasi” yang tidak tepat sasaran dan terkesan berlebihan, seperti kulkas dan mesin cuci halal. Ada pula peserta yang bercerita pengalamannya menerima tindakan intoleran yang kerap kali menggunakan dalih candaan saat dikonfrontasi balik.
Pada akhirnya, kondisi toleransi dan multikulturalisme di Indonesia sejatinya bersifat sangat rapuh dan cenderung semu. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat rentan mengalami gesekan-gesekan sosial akibat insiden-insiden sepele yang tidak berkaitan dengan masalah SARA. Kebebasan menjadi sesuatu yang mutlak untuk diperjuangkan dan diwujudkan, namun kita perlu pula melihat kondisi yang ada di masyarakat dan dapat beradaptasi.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan perlu diletakkan sesuai konteksnya dan diperjuangkan secara konsisten, bertahap, dan serius, serta melibatkan beragam pihak. Diskusi ini juga mencatat pentingnya pendidikan sejak dini tentang toleransi, kebebasan, dan multikulturalisme, termasuk dalam konteks KBB.
Terima kasih banyak kepada narasumber dan para peserta yang telah antusias berpartisipasi dalam Forum Kebebasan kali ini. Sampai jumpa di Forum Kebebasan selanjutnya! Salam Kebebasan!
Berikut link rekaman Forum Kebebasan episode 22 Desember 2023: https://youtu.be/CIHHWFX6xZU?si=wZnBw7jGDKifx0xd