Quinquestriatus
4 min readFeb 3, 2020

Keliling Kota, Akbar Kurniawan: Membuat Zine Puisi adalah Alternatif Lain untuk Bercerita

Kebutuhan manusia untuk bercerita dan didengarkan bukan omong kosong belaka, meskipun orang itu adalah adalah manusia paling pendiam di dunia sekalipun. Di luar kebutuhan pokok manusia untuk makan minum, bernafas, dan berhubungan seksual (hal yang baru kita sadari setelah dewasa karena pendidikan seks untuk anak-anak masih tabu di negara kita), kebutuhan bercerita dan didengarkan berada di wilayah yang berbeda yaitu untuk kesehatan jiwa. Begitu pentingnya bercerita, sampai-sampai syarat mutlak untuk menjadi teman dekat seseorang adalah bisa menjadi wadah yang tepat untuk curhat.

Cara bercerita paling konvensional adalah dari mulut ke telinga dan alat paling pentingnya yaitu bahasa, bisa verbal maupun non verbal. Karena melibatkan bahasa untuk penggunaannya, bercerita dalam perkembangannya memiliki media yang luas seluas bahasa itu digunakan. Di zaman yang kiwari ini, muncul cara bercerita yang paling populer semacam menulis curahan hati di dinding Facebook, bercuit tentang betapa seramnya virus corona di Twitter, atau menunjukan semalam makan apa lewat foto di Instagram.

Menulis diary, adalah cara lama untuk didengar diri sendiri dan menulis hadits adalah tugas perawi demi kepentingan umat yang tidak sempat bertemu nabi, sedangkan menulis puisi barangkali demi didengar diri sendiri atau untuk orang lain agar mawas diri atau hanya dinikmati, siapapun. Akbar Kurniawan dalam Zine puisi-nya edisi Januari 2020 yang berjudul keliling kota, barangkali mencoba memberitahu kita alternatif lain untuk bercerita dengan atau tanpa blak-blakan. Ia secara konsisten membuat beberapa edisi dari bulan ke bulan, dengan tema-tema baru yang coba ia rasakan dan ceritakan.

Keliling Kota adalah cara Akbar mencoba menyampaikan kesan-kesan yang ia dapati dari berkunjung ke satu kota lalu menuju kota lainnya. Mungkin juga ia ingin kembali kesana seperti yang ia akui: "saya ingin berkampung bersama tulisan ini, beristirahat dalam waktu yang singkat dan bermimpi di sana."

Hal baru yang coba akbar sematkan dalam Zine puisi-nya kali ini adalah sebuah cerpen berjudul "Menjadi Ibu Kota" di urutan paling akhir. Meskipun masih ia tulis dengan bahasa puisi (atau jangan-jangan ini adalah puisi yang panjang) ia coba membawa isu persoal kepadatan penduduk dan gedung-gedung di ibu kota, dan kebutuhan akan penghijauan lahan di sana. Barangkali sebebas inikah Zine baginya, sehingga ia boleh membingungkan logika kita tentang bagaimana sudut pandang dan identitas "aku" diceritakan. Ia menulis:
"Bukan di manapun kecuali di kota ini, kau mampu memilih profesi menjadi ibu dari kotamu."
Sebuah tawaran yang menarik, namun kemudian "aku" berujar:
"Sekali waktu di kotaku, tengah ribut penduduknya akan isu tenggelamnya kota, aku memaklumi itu sebagai ibu dari anak-anakku ini,"
Saya sebagai pembaca, jujur masih bingung bagaimana "kota ini" bisa manjadi "kotamu" lalu menjadi "kotaku", dan siapa "aku" sebagai ibu kota, siapa "kau" (barangkali ini untuk pembaca), dan siapa "anak-anakku". Kupikira mereka adalah rumah-rumah, ternyata bukan. Mereka adalah manusia-manusia, yang ia sebut jelas sebagai "lelaki itu, anakku" namun ia juga menyebutkan "penduduknya" dan sepasang tua dengan tangan-tangan mungil. Jadi manusia dengan klasifikasi apa yang bisa disebut sebagai "anak-anakku"?
Meskipun hadir cerpen di Zine Puisi kali ini, Akbar Kurniawan juga menghadirkan gambar-gambar lucu, yang ia buat sebagai ilustrasi. Menghadirkan gambar dan foto, bukan hal asing lagi bagi ia dalam zine-zine puisi seperti sebelum-sebelumnya. Semoga di kemudian hari, semakin banyak jenis karya baru yang termuat di dalam zine-nya, sehingga apa yang ia klaim sebagai zine puisi dapat disebut sebagai zine saja.

Senada dengan judul di halaman muka, judul-judul puisi yang termuat di dalamnya tentu saja nama-nama kota yang memberikannya kesan seperti Jakarta dan lain-lain. Dalam penulisannya, kita bisa mendapati bahwa Akbar menggunakan banyak gaya. Apakah kesan dari kota tersebut memang memberikan dampak dalam ia menulis, atau ada maksud lain? Namun yang pasti, ia menulisnya dengan banyak cara. Ada yang singkat dan padat, ada yang kaku dan dingin, ada yang luas dan hangat juga ada yang samar dan penuh pengandaian.
"Laporan cuaca selalu usang
Enggan dipandang mata
Dan ditangkap telinga." Demikian ia menulis, selain menceritakan apa yang benar ia rasakan, Akbar juga mencoba menggambarkan bagaimana kota tumbuh dengan isu-isu yang membuat mereka manjadi khas, seperti juga:
"Jakarta selalu sibuk
Tidak ada teh hangat
Yang melesat ke mulut-mulut penduduk"
Dan
"Ombak telah mengombang-ambingkan
jasad kapal itu sekalian
menuju dermaga mungil".

Yang paling menakjubkan adalah puisinya yang berjudul Pekalongan:
"Di kampung Kauman
Penduduk gemar bersahabat dengan malam
Lewat halus kuasa puan
Malam dituang di atas kain
Beserta bulan, bintang, serta komet jatuh
Maka tumbuhlah dengan subur
Kembang-kembang malam itu"
Puisi yang pendek namun kompleks, pemalu namun tidak ragu, sederhana sekaligus rumit, berbudaya dan berdaya. Akbar bercerita bagaimana kebiasaan penduduk sekitar dengan jelas, dan menceritakan yang samar dari kejelasan itu. Metafora yang ia tuliskan di sana, cukup memberikan daya magis untuk dapat membayangkan bagaimana kota tersebut hidup di kepala.

Kembali ke awal, Akbar dengan Zine-nya memang dapat menjadi contoh yang menarik bagi kita untuk mulai bercerita dengan puisi, dan karya-karya lainnya.
Diluar masih terdapatnya salah penulisan kata serta kurang halusnya alur penyampaian, semangatnya untuk tetap secara konsisten berkarya adalah hal lain yang patut untuk kita kagumi. Ia telah menuntaskan tugasnya sebagai manusia yang bercerita, selanjutnya tugas kita untuk menyediakan telinga dengan membaca dan mengapresiasi karyanya dengan bentuk dan cara apapun.

Demikian tulisan atau ulasan asal-asalan ngawurku, semoga dapat dijadikan perhatian bagi kita semua boi wkwk

Untuk Zine-nya bisa diunduh di https://drive.google.com/file/d/117pCyZbSOFN-L3i3soTN3xm-LgzR2mQa/view