Beranjak Dewasa dan Segala Teka-Tekinya — Ulasan “Rubik”

Reymigius
7 min readJul 21, 2023

--

Rubik: dua puluh enam kubus kecil yang terpasang pada sebuah poros untuk membentuk kubus yang lebih besar, enam sisi dengan warna berlainan yang dapat diputar secara vertikal dan horizontal, untuk lalu membuka begitu banyak kemungkinan pola, kombinasi, dan segala teka-teki yang menyertainya. Di tangan pegiatnya, benda ini adalah sesuatu untuk diselesaikan. Di tangan Dere, singer-songwriter berusia 21 tahun, benda ini adalah sesuatu untuk direnungi. Dia menatapnya bagaikan itu adalah cermin, kemudian menuangkan apa yang dia observasi dari situ pada nomor judul album debutnya ini: “Kokoh kuterlihat, tapi sejatinya, buyar saat kuterlempar. Padat kelihatan, namun jika kaudekati, ‘ku banyak bercelah.” When I first listened to that line, I was like, whoa… the self-awareness! Patut juga disanjung bagaimana dia berhasil mengubah objek sehari-hari menjadi momen refleksi diri.

Mari mundur sedikit, lagu itu dibuka dengan suara detik jarum jam, dengan volume yang kian besar, lalu pecah dengan choir bocah “…dan perputaran!” sebelum vokal Dere masuk just in time melafalkan lirik “Teka-teki dunia, untuk apa aku diciptakan sebenarnya? Mengapa alam kepalaku selalu terasa berputar?” Diiringi dengan fingerpicking gitar yang renyah, lagu ini mengajukan pertanyaan eksistensial dari sudut pandang seseorang yang sedang dalam proses beranjak dewasa. Tak ada sikap menggurui, tapi juga jauh dari sikap yang naif. It just feels right & true. Hingga akhirnya pada chorus dia balik ke awal, seperti jarum jam yang cepat atau lambat kembali ke angka dua belas, dan mengajukan pertanyaan utamanya: “Sampai kapan poros ini kuat menahan, miliaran gesek dan perputaran?” Oh, Dere, bukankah kita semua mengajukan pertanyaan yang sama?

Sebagai nomor judul, “Rubik” berhasil memberikan fondasi tematik yang kokoh untuk keseluruhan album: beranjak dewasa dan segala teka tekinya. Ambil saja “Kenanga,” nomor yang datang sebelumnya. Di sini dia bernostalgia ke “dua ribu lima” saat Dere kecil percaya “manusia semua datang dari bulan.” Awalnya dia berkisah dari sudut pandang orang pertama, namun secara cerdik dia mengubah perspektif dalam lagunya di verse kedua, kali ini giliran Dere Kecil yang ajukan tanya: “Tak enak jadi dewasa. Ya, tidak?” kemudian membiarkan pertanyaan itu menggantung tak terjawab, digantikan dengan loop “kenang kenang kenangan, kenang jalan kenanga” dan sederet humms yang menghanyutkan. Lengkap dengan ambience deru mesin motor, mendengar lagu ini rasanya seperti menatap ke luar jendela dari dalam kendaraan dan melihat kota tempatmu beranjak dewasa kini sudah tak sama lagi.

Atau pada “Jangan Pergi,” track kelima di album ini. Alih-alih datang dari sudut pandangnya sebagai individu, Dere kini menyampaikan teka-teki dalam kapasitasnya sebagai seorang kekasih: “Kita dan tentang hari depan, merasa tak tahu hendak ke mana. Lama bersama bertautan, tak tahu ke kutub mana menuju.” Lalu usai verse pertama, tibalah pre-chorus, tapi Dere memilih untuk justru mengisi ruang setelahnya dengan instrumental break. Lagu pertama yang saya ingat menggunakan struktur yang sama adalah Blood & Butter oleh Caroline Polachek, dan ini terbukti adalah risiko yang layak diambil untuk membangun antisipasi pada chorus yang akhirnya mendarat dengan empuk di paruh setelahnya: “Jangan pergi, jangan pergi, jangan pergi, jangan pergi.” Dari cara Dere menyanyikannya, permohonan itu terdengar manis sekaligus getir.

And yes, the conviction in her vocals is that good! Kalau bisa dideskripsikan, dia memiliki kualitas bersahaja Monita Tahalea, warna-warni Gita Gutawa, dengan twist tarikan vokal melayu yang khas — all thanks to her Batak upbringing. Dere memiliki suara yang akan secara instan dikenali. Contoh terbaik dapat didemonstrasikan pada salah satu single album ini, “Kota,” yang juga merupakan lagunya yang paling sukses secara komersil. Masih juga mengajukan pertanyaan, kali ini kepada seorang mantan kekasih, suaranya menyayat di atas produksi yang anteng: “Udara mana kini yang kauhirup? Hujan di mana kini yang kaupeluk?” kemudian menegaskan emosi tersebut dalam satu tarikan napas yang sama: “Di manapun kau kini, rindu tentangmu tak pernah pergi.” If she fails to touch your soul with it, honestly I don’t know what will.

Anto Arief dalam ulasannya yang dimuat di situs Pop Hari Ini mengatakan bahwa “sulit untuk tidak menarik kesimpulan sementara kalau Dere adalah Tulus tapi dalam perwujudan perempuan.” Tanpa bermaksud mendiskreditkan Tulus sebagai kolaborator utama album ini (sebagai produser, penulis, dan pemilik label yang menaunginya), yang juga kebetulan adalah mentor Dere saat dia berlaga di The Voice Kids Indonesia pada tahun 2016, pernyataan tersebut kurasa datang dari telinga yang kelewat cukup bias-gender tetapi tidak cukup mengobservasi. Mengapa agensi musikus perempuan kerap disandingkan di bawah bayang sosok lelaki? Dan yang lebih penting lagi, kapan ya kita akan sama-sama akui bahwa Tulus bukanlah vokalis terbaik?

I said about the conviction in Dere’s vocals before, and I have to say that he simply doesn’t have it. Tulus adalah penulis lagu yang cerdas, dengan charm yang kurasa terletak pada kemampuannya menelaah sudut pandang yang kerap gagal ditemukan oleh musisi lain sekalibernya (“Jangan Cintai Aku Apa Adanya,” contohnya, yang menurutku adalah salah satu lagu pop terpenting dekade lalu.) Akan tetapi, kurasa Tulus sering gagal memberikan aksentuasi pada performance vokalnya, hingga akhirnya kerap terpeleset di bidang datar untuk lirik yang seharusnya bisa di-deliver dengan flavorful. Dua kali menonton dia live tidak mengubah pendapatku soal ini.

Sementara Dere, di satu sisi, berhasil mengerjakan PR mentornya tersebut dengan sukses. Misalnya di track keenam, “Berlagu,” in which you can hear she’s smirking behind the mic when she sings “aku kira engkau semanis madu” di detik 0:27. Aksentuasi kecil yang terdengar sangat menyenangkan, apalagi di nomor yang bicara soal jatuh cinta! Atau mari kita berangkat ke salah satu highlight di album ini, “Tumbang.” Di sini Dere secara berkelas memamerkan kebolehannya belting di chorus akhir: “Bila kau dengar lagu ini datanglah lagi! Bila kau dengar lagu ini ayo kembali, kembali!” untuk kemudian disusul dengan riff gitar elektrik dari Petra Sihombing yang turut mencerminkan conviction itu. Meski bukan mantan yang dia nyanyikan, tak pelak hatiku hampir tergerak untuk mengambil langkah kembali, entah ke siapapun itu. It is that powerful.

Di album ini, Dere juga sepertinya paham bahwa beranjak dewasa artinya berupaya mencari jawaban atas teka-teki lain, mulai mengembang seperti adonan kue untuk keluar dari persoalan diri dan hubungan romantisnya dengan orang lain. Ini tergambar misalnya pada dua track terakhir, “Rumah” dan “Keluku.” Di track “Rumah,” dia mengalami climate anxiety dan merangkum kegelisahannya dalam sebuah pertanyaan: “Duh, mana yang lebih panjang? Umurku atau umur bumiku bernaung?” Lebih dari fakta bahwa itu adalah pertanyaan yang valid dan penting, lagi-lagi vokal Dere berhasil membawa liriknya secara emosional selevel lebih dalam seolah dia butuh jawaban itu secepatnya. Sementara di “Keluku,” salah satu dari dua lagu yang dia tulis secara solo di album ini, dia mempertanyakan kepalsuan yang tersebar di media sosial: “Maya, maya, benarkah semua yang aku saksikan?” lalu menggerutu “Aduh, aduh, tiap hari mulai melelahkan,” hingga akhirnya dengan melodi yang playful memberikan pengakuan “Sepertinya aku tak lagi mampu.”

Bahkan saat bicara hal-hal besar, aku sangat mengagumi bagaimana Dere selalu dapat membawa materinya dengan dekat, membumi, dan bijaksana. Ethos ini terutama paling menonjol di track yang berjudul “Berisik,” di mana dia mengeluhkan nature manusia yang angkuh. “Oh, manusia berisik. Bermulut satu dan bicaranya lantang,” katanya, lalu mengelaborasi lebih jauh bahwa manusia “beralaskan logika, sering merasa benar.” Ditampilkan di atas produksi yang santai, lengkap dengan non-lexical vocables “doo doo, doo doo,” lagu ini sama sekali jauh dari sikap holier-than-thou: membuatmu merasa sedang duduk di atas sofa, mendapatkan nasihat dari teman terdekat, lengkap dengan peluk dan secangkir teh hangat. Ceri di atasnya adalah, Dere kemudian berujar di outro, namun kali ini kepada dirinya sendiri: “Aku manusia berisik. Kutulis lagu ini bukan karena aku merasa paling benar, tapi karena kurasa, kadang kujuga lupa ‘tuk bicara secukupnya.” You said it queen.

Begitu banyak pertanyaan yang diajukan dalam album ini, “miliaran gesek dan perputaran,” dan jawaban apa yang Dere tawarkan untuk pendengarnya? Sebab buatku album yang baik, terutama mereka yang mengusung konsep, adalah album yang mampu memberikan resolusi, atau setidaknya untuk sementara bisa jadi penawar to make us feel whole and understood. Contoh sempurna untuk ini adalah “Sorak Sorai,” track penutup album “Selamat Ulang Tahun” oleh Nadin Amizah yang menurutku berhasil menyimpulkan keseluruhan lore album itu soal kesementaraan dan perpisahan yang mengiringinya.

Jika Nadin menyediakan resolusi itu di track penutup, unconventionally Dere menghadirkan itu pada nomor pembuka, “Tanya,” yang tak cuma merupakan track yang mencentang persyaratan personalku mengenai album yang baik akan tetapi juga kebetulan merupakan mahakaryanya di album ini. Dibuka hanya dengan ketukan drum dan petikan bass yang gelap, awalnya lagu ini terdengar dengan arsitektur yang sangat minimal sehingga menyediakan ruang yang luas untuk Dere merayap dengan vokalnya: “Dari sekian banyak bintang cakrawala, apa hanya kita saja yang bernyawa?” Lalu pelan-pelan track ini membuka dirinya pada warna-warna yang lebih terang, dengan violins dan choir, dan menyuling setiap pertanyaan besar yang Dere miliki menjadi sebuah proposal dalam higher register yang begitu menyentuh dan terasa manis di bridge: “Hidup dan segala misterinya, bolehkah kuterjang denganmu?” It does feel very cathartic.

Kekurangan utama album ini adalah ada banyak momen di mana produksinya gagal menyamai performance vokal Dere yang kadung bergaya. Didominasi dengan gitar akustik, ada saat-saat di mana produksinya terasa uninspired dan tak berkarakter saat bersanding dengan vokalnya, apalagi dalam konteks mendengarkan album ini sebagai kesatuan yang utuh. Contohnya produksi dalam “Berlagu” yang terdengar seperti sesuatu dari album debut Hivi! atau “Keluku” yang terdengar seperti materi yang sangat mungkin dinyanyikan oleh Alessia Cara seandainya dia fasih berbahasa Indonesia. Menurutku Dere bersinar paling terang saat produksi yang menemani mampu mengimbanginya, seperti di “Tanya” dengan bass yang memberikan kontras ciamik pada vokalnya atau sentuhan gitar elektrik di lagu “Tumbang.”

Terlepas dari itu, tetap menurutku Rubik adalah album debut yang solid. Membawa beranjak dewasa sebagai tema besarnya, dia berhasil mendokumentasikan banyak sekali pergolakan yang tak pelak dialami oleh orang-orang yang sedang berada di dalam proses itu tanpa terdengar pretensius, melainkan jujur dan apa adanya. Saat ulasan ini dimuat, sudah setahun persis sejak album ini dirilis, dan kurasa untuk bertahun-tahun ke depan album ini akan tetap layak untuk dirayakan sebagai salah satu album coming-of-age yang penting dalam sejarah musik kontemporer Indonesia.

Ada satu baris lirik di dalam “Tanya” yang akhirnya mungkin bisa menjadi antitesis dari alegori yang Dere ambil berkenaan dengan rubik di nomor judulnya: “Mungkin bila semua aku pahami, mungkin rasa ini tak menarik lagi.” I guess it’s true, in every sense of it. There is this one quote from Frank Herbert that says: “The mystery of life isn’t a problem to solve, but a reality to experience.” Menurutku beranjak dewasa hanyalah sekadar transisi dari paruh awal ke paruh akhir kutipan tersebut, dan dengan album debut yang sematang ini, rasanya sih Dere sudah memahami itu jauh lebih dulu dariku.

Skor: 8.4/10

Track yang paling disuka: Tanya, Kota, Rubik, Tumbang

Track yang kurang disuka: Keluku

--

--

Reymigius

A mere vessel fueled by tunes, words, and pictures.