Bunga Malam

virin
2 min readAug 24, 2022

--

— Walau terlihat acuh tak peduli, percayalah hanya kasih sayangnya yang dapat di andalkan saat dunia mulai gelap.

“Dek, hari ini mau gladi jam berapa?”

“Jam 7 malam pah.”

“Papa anterin ya, dimana dek?”

Aku terkejut dengan kalimat terakhir yang terucap dari bibir papa, apa iya? Aku bukan lagi anak umur 10 tahun yang harus di antar kemanapun. Lagi pula jaman sudah berkembang sekarang, kita bisa memesan ojek online untuk mempermudah perjalanan.

Yang bisa ku lakukan hanya terdiam sambil menatap papa yang sudah tak lagi sekuat dahulu, semenjak salah satu penyakit menggerogoti paru-paru papa, ia bukanlah lelaki kuat yang ku elu-elukan.

Senyum lembutnya menyapu pikiranku, sudah lebih dari satu tahun papa berusaha bangkit dari sakit. Mengambil peran sebagai single parent bukanlah hal mudah, bertahun-tahun ia lalu pahitnya sendiri. Senatiasa mencukupi kebutuhan anaknya yang tak sedikit, walau papa memang sangat ingin andil dalam kebutuhan itu.

Yang Papa Jidan lakukan hanyalah berkerja dan terus bekerja, menghabiskan hidupnya di lautan luas sampai tanpa sadar anaknya sudah tumbuh secepat ini. Umurku 20tahun sekarang, dan jika di jumlahkan mungkin bisa dihitung kebersamaanku bersamanya.

“Dek ayoo, papa anter aja.” Lagi-lagi perkataannya memecahkan lamunanku.

Kupersiapkan segala keperluan, malam itu kami terobos dinginnya malam menggunakan sepeda motor andalan papa Jidan. Ia selalu mengatakan naik motor lebih cepat, gak ribet.

Ditengah-tengah dinginnya malam ini ada perasaan menabjubkan dari dalam diriku, bahagia — benar aku sangat bahagia merasakan kasih sayang ini. Papa bukan tipe yang selalu mengatakan omongan-omongan kosong tentang mencintai, bahkan aku hampir tak pernah mendapatkannya. Tapi malam ini, rasanya tubuhku dipenuhi bunga-bunga bermekaran.

“Pah, umurku udah 20tahun loh. Kok masih nyempetin untuk nganterin? Pah malem ini dingin banget, kenapa Papa mau? Pah, adek hampir gak pernah dapetin kasih sayang karena kesibukkan mu dengan lautmu itu. Tapi kali ini kenapa?”

Tanpa sadar mataku berkaca-kaca, sekuat tenaga ku tahan tangis ini. Rasanya malu jika papa tahu bahwa aku tersentuh hanya karena perhatian ringan darinya.

Mungkin rasa sayangmu bagai buih di lautan, terlihat namun kadang teracuhkan. Kemanapun Papa Jidan pergi, bahkan ke tengah laut dimana tidak ada kehidupan, ku harap cinta dari anakmu ini selalu kau bawa walau harus masuk saku terdalam sekalipun.

— end

--

--