Kehangatan kecil

brother7guitar
4 min readJan 29, 2022

Sepiring ayam goreng dengan dibaluri tepung sebagai pembungkus kulit ayam terhidang di atas meja kecil. Ayam yang masih dalam keadaan panas dengan asapnya yang mengepul karena baru ditiriskan dari penggorengan dibiarkan di atas meja tanpa ada yang berani menyentuhnya, bahkan udara juga tidak sanggup. Ruang utama rumahku malam ini menjadi saksinya.

Sedangkan aku kembali dari dapur membawa sebotol cola berukuran besar dan dua cangkir plastik di tanganku. Disusul Sungjae yang mengekoriku di belakang. Kami berencana akan menyantap seluruh ayam goreng ini di tempat yang sudah seperti perapian di rumah kayu kala musim dingin. Ruangan yang lebih luas dari kamar tidurku menjadi saksi di mana aku dan Sungjae menghabiskan malam-malam musim dingin pada tahun ini.

Mengenai Sungjae, lelaki bermata bulat sempurna seperti bulan purnama telah bersamaku selama seminggu. Ia telah menginap di sini, tidur, dan melakukan hal apapun yang diinginkannya. Awalnya kupikir mengizinkannya menginap di rumahku adalah keputusan paling sia-sia yang pernah kulakukan, namun seiring waktu berlalu kurasa keputusan itu tidak terlalu buruk.

Tinggal serumah bersamanya justru mengubah jalan hidupku. Aku yang awalnya merasa kesepian karena tinggal sendirian kini tidak lagi merasakannya. Kini, aku sudah memiliki teman yang bisa kuajak bicara tanpa perlu berbicara dan mengeluh sendiri kepada udara kosong. Kini, aku memiliki teman yang bisa mendengarkan segala keluhanku dan ceritaku tentang dunia menyedihkan ini. Dia yang usianya lebih muda dariku sepertinya memahami ucapanku dengan baik.

Kujejakkan tulang dudukku ke lantai ruang utama di meja kecil tanpa kursi, diikuti Sungjae yang duduk di seberangku. Aku menyodorkan cangkir yang kubawa ke Sungjae, sementara cangkir lainnya kuberikan untuk diri sendiri. Tak lupa, sebotol cola juga kuletakkan di atas meja sebagai pelengkap makan malam yang sering kusebut sebagai 'makan malam ala Si Perut Ayam'. Perutku sepertinya sudah bersedia untuk melahapnya.

Mungkin aku adalah satu dari sekian orang kota yang berbeda pendapat. Mungkin juga hanya aku yang melawan hukum tentang dunia ayam goreng. Menurut orang-orang yang sudah lama tinggal di kota, ayam goreng sangat cocok jika ditemani minuman seperti bir. Tidak seperti orang lain, aku memilih cola sebagai pelengkapnya. Alasannya, paduan ayam goreng dan bir merupakan paduan yang membuatku menangis. Pernah sekali aku membeli bir kalengan, namun beberapa saat kemudian kusesali keputusanku karena merelakan uang mingguanku lepas landas.

Kuraih sepotong ayam goreng dari tumpukan paling atas. Kuarahkan ayam itu ke mulutku yang sudah menganga lebar tanpa paksaan. Gigiku dengan ganas menggigit separuh bagian ayam yang sudah tidak sabar untuk segera melahapnya. Kulit ayam yang renyah itu beradu di dalam mulutku seperti perang tembakan. Gigiku tidak ingin berhenti mengunyah. Sungguh demi puja Dewa yang menciptakan ayam, aku merasa ingin meneteskan air mata saja.

Belum ingin mengakhiri makan malam ini, kuteguk cola yang sebelumnya sudah dituang Sungjae sebelum melahap ayamnya. Bagi orang lain, paduan ayam goreng dan bir adalah paduan terbaik. Namun bagiku paduan ini merupakan paduan lebih dari terbaik. Mungkin ungkapan yang bisa kukatakan adalah 'Maha Segalanya’—yang bisa kutafsirkan yang terbaik dari segalanya.

"Hyung!" panggil Sungjae mengawali pembicaraan di ruang utama saat sisa cola di cangkirku hanya setengah. Aku menoleh ke arahnya tanpa jawaban. Cangkir yang kugunakan untuk minum kuletakkan kembali ke atas meja. "Tiap jam berapa kau pulang bekerja?" tanyanya saat bola matanya mengarah kepadaku. Tatapan nanarnya memulai percakapan pada malam musim dingin yang akan semakin membuatku meringkuk di dalam selimut.

"Biasanya jam 10. Tapi kalau akhir pekan biasanya jam 12 baru selesai," jawabku yang kemudian menerangkan jam kerjaku kepadanya. Jika dijabarkan pekerjaanku selama setahun lebih di restoran itu, aku pergi bekerja dari jam 7 pagi dan pulang pukul 10 malam. Tidak seperti hari biasa, jam kerjaku di akhir pekan jauh lebih padat. Terkadang tubuhku yang akan menua ini tidak mampu lagi memaksakan diri untuk bekerja.

"Tidak ada rencana untuk berhenti dan mencari kerja paruh waktu yang lebih baik?" tanya Sungjae lagi yang mengajukan pertanyaan berikutnya. Sepertinya ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikannya berhubung aku ada di hadapannya. Mungkin juga ia tidak punya kesempatan lain untuk bertanya selain malam ini.

Aku serta-merta menggelengkan kepalaku sebagai jawaban. "Hanya itu yang bisa kulakukan," jawabku yang kemudian mengakui dengan jujur. Mungkin karena sudah terlalu lama menggeluti pekerjaan di restoran ayam goreng, aku tidak bisa pindah ke pekerjaan lain. Jika ada yang bisa kusombongkan dariku, mungkin aku akan menyombongkan keterampilanku setelah bekerja di sana. Lagipula aku tidak bisa multitasking.

"Lalu bagaimana perasaanmu bertemu Yoona noona tadi?" tanya Sungjae lagi.

Aku mendelik ke arahnya bersamaan dengan kerenyahan ayam goreng yang perlahan sudah kutelan di kerongkonganku. Pertanyaannya membuat jantungku hampir lepas. Usiaku juga kemungkinan bertambah 10 tahun. Anak itu tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan. Aku berusaha keras untuk menyembunyikan perubahan wajahku. "Mengapa kau tiba-tiba mengalihkan pembicaraan?" gerutuku.

Sungguh demi apapun yang bernafas di Bumi ini bahkan demi pohon yang tertiup angin malam, anak ini benar-benar tidak sopan. Aku hampir saja mengumpat seribu kutukan manis yang terlintas di kepalaku, namun dengan sendirinya kutahan. Benak hatiku menginginkanku agar tetap bersikap keren di hadapan orang lain walaupun Sungjae di depanku. Jika dia adik kandungku, sudah pasti aku akan menendangnya.

Bukan tanpa alasan jantungku hampir berhenti berdetak. Tadi dia membicarakan tentang pekerjaanku. Kukira dia berencana untuk bekerja di restoran ayam goreng bersamaku makanya dia mengajukan pertanyaan kepadaku. Tiba-tiba dia mengalihkan pembicaraan itu semudah menendang batu kecil di jalan. Bahkan subjek pembicaraannya berubah. Dia kini membicarakan Yoona—tetanggaku.

"Jangan bohong. Kau sudah beberapa kali berpapasan dengannya tiap hari," ucap Sungjae yang berakhir dengan meledekku. Aku diam dan bungkam, dia justru tertawa ketika melihat reaksiku. Sudah saatnya aku harus menutup mulutnya.

Sialnya, dia seolah-olah membaca pikiranku dan mengetahui isi hatiku. Ketika sumber pembicaraan ini mengarah ke Yoona, mendadak jantungku berdetak dengan kecepatan tidak karuan. Pikiranku juga terasa berhenti. Si mahasiswi tingkat akhir itu mengalihkan duniaku. Berpapasan dengannya setiap hari kurasa sudah cukup untuk mengenal namanya.

Aku tersenyum simpul. Untuk kesekian kalinya, dia berhasil memecahkan keheningan di rumah ini. Untuk kesekian kalinya pula, dia berhasil membuatku mengangkat sudut bibirku dan tersenyum. Aku tidak tahu rumus macam apa yang digunakannya sehingga berhasil mencairkan suasana. "Kau benar-benar tahu segalanya ya," sahutku yang kemudian diiringi oleh tawa kecil.

*

--

--