Di Tengah-Tengah Perbudakan Koeli Kontrak Lahir Ketoprak Dor

Rizaldi Siagian
5 min readAug 29, 2016

--

Suasana depan dan belakang pentas pertunjukan Ketoprak Dor di Sei Kambing 14/11/2015 (Foto: Rizaldi Siagian)

Ketoprak Dor adalah warisan tradisi hiburan orang-orang Jawa Deli di Sumatera Timur. Seni pertunjukan rakyat yang unik dan tampil dengan gaya opera ini menjadi bagian dari sejarah kuli kontrak di tanah Deli. Ia lahir di tengah-tengah situasi perbudakan paling buruk dalam sejarah Asia Tenggara. Dampak psikologisnya masih tersisa, dan sampai saat ini masih membuat para pelaku kesenian ini terkesan rendah diri dan merasa terlantar. Suasana itulah yang saya tangkap ketika berkunjung ke markas grup Ketoprak Dor LMARS (Langen Mardi Awage Rukun Santoso) pimpinan Suriat, 25 Oktober 2015 yang lalu. Di teras rumah berukuran 3 x 4, berdempetan dengan aspal tepi jalan umum di Jl. Kawat V Gang Keladi Lingkungan 22, Tanjung Mulia Medan Deli itu, berkumpul puluhan seniman untuk latihan bersama. Sempit! Untuk melenggokkan tubuh pun terasa tak cukup. Ketoprak Dor terkesan masih hidup di jaman penjajahan. Mereka terpinggirkan di kota Medan yang justru ikut dibangun oleh nenek-nenek mereka; bahkan pernah menjadi pusat produksi tembakau terkenal di dunia.

Pertunjukan Ketoprak Dor di Sei Kambing, Medan bulan 14 November 2015

Latar Sejarah Lahirnya Ketoprak Dor

Dalam mengantar novel sejarah Tropic Fever: The Adventure of a Planter in Sumatra (1989), tulisan orang Hungaria, Ladislao Székely, yang pernah menjadi ‘tuan kebun’ di Tanah Deli itu, Anthony Reid mencatat bahwa hanya dalam waktu dua puluh lima tahun, 1900–1925, satu juta hektar hutan di Sumatra Timur musnah dikonversi menjadi perkebunan tembakau dan karet. Ahli sejarah Asia Tenggara ini menyebutnya sebagai invasi lingkungan paling buruk di awal abad dua puluh. Ketika itu separoh kebutuhan tembakau dunia ditanam di perkebunan sekitar kota Medan ini. Tahun 1920-an karet booming. Produksinya memasok 1/9 kebutuhan karet dunia saat itu. Prestasi ini menempatkan Sumatra Timur menjadi penting dalam ekonomi kapitalis dunia. Tetapi, dari perspektif modern, invasi “babat alas” itu dipandang sangat buruk, terutama dampaknya terhadap kesengsaraan manusia yang ditimbulkan dan penghancuran alam. Di tahun 1920–30an, tanah Deli pernah dicap “penjara terbuka.” Para kuli ahli tanam tembakau direkrut dari China pada abad 19, sedangkan di awal abad 20 direkrut dari Jawa. Mereka diperlakukan sebagai budak. Dengan kedatangan imigran kuli ini, penduduk Medan yang sebelumnya mayoritas Karo dan Melayu (1880an) mendadak meningkat berlipat-lipat. Kalau sebelumnya hanya sekitar 120,000, tahun 1920 mencapai 1,197,000 orang.

Suasana kerja pemilahan daun tembakau oleh koeli di Tanah Deli (Foto koleksi Tropenmuseum)

Di antara para imigran Jawa inilah nenek moyang para pemain Ketoprak Dor sampai ke Medan. Mereka didatangkan dari berbagai tempat di Jawa dan dikontrak selama tiga tahun, berdasarkan undang-undang kolonial, Ordonansi Kuli 1880. Kalau dalam masa kontrak melarikan diri, mereka diburu, ditangkap, dan dihukum dengan brutal. Perlakuan buruk itu sering membuat para kuli mengamuk, marah membabi-buta karena tekanan keputus-asaan. Székely, mencatat bahwa di akhir tahun 1929 saja ada 89 kuli yang mengamuk. Dari sumber lain, Antony Reid mendata bahwa dalam masa sembilan tahun (1924–1933) lebih dari tiga ratus kali penyerangan para kuli terhadap tuan kebun Belanda. Empat belas di antaranya menyebabkan kematian tuan-tuan kebun bangsa Belanda itu.

Jidor atau ‘tek-tek dor’ adalah sejenis tambur yang namanya melengkapi seni pertunjukan ini menjadi ‘Ketoprak Dor’. (Foto: Rizaldi Siagian)

Di tengah-tengah situasi seperti itu dan naluri untuk bertahan melalui seni, Ketoprak Dor lahir. Gending-gending yang masih mereka ingat dari kampung mereka mainkan dengan menggunakan alat musik Melayu, harmonium, alat musik sejenis akordion, ‘jidor’ atau ‘tektekdor’, yaitu gendang sejenis tambur yang dilengkapi kentongan (slitdrum) berukuran kecil, dan kendang Jawa yang biasa dipakai mengiring wayang. Para kuli tak mungkin berharap ada gamelan tersedia, apalagi mengharap pendopo megah berlantai marmer, adem, dan angin yang berhembus semilir, seperti di Jawa. Diluar sana, di lahan buka kebun, hanya ada alas: hutan belantara yang digambarkan melalui pewayangan sebagai tempat yang “pekat dan ganas,” tempat dimana segala yang buas, jin, dan konsep kejahatan bersembunyi, atau sebaliknya, garing setelah “babat alas” dilakukan dengan tunggul tegakan yang terbakar dan harus dicangkul dengan tehnik membalik tanah yang terkenal dikuasai orang-orang Banyumas itu.

Harmonium, keyboard, akordion, dan kendang, alat musik utama tradisi Ketoprak Dor. (Foto; Rizaldi Siagian)

Meredam Lara

Untuk pekerjaan berat menguras tenaga itulah orang-orang Jawa didatangkan. Mereka tidak ahli dibanding kuli kontrak China yang dikampungnya memiliki tradisi tanam tembakau. Perlakuan brutal tuan kebun Belanda atau kekejaman mandor Jawa yang perilakunya lebih Belanda dari Belanda, seperti digambarkan Székely dalam novelnya itu tentu membuat jengkel dan frustrasi. Dalam situasi itu tembang atau nyanyi-nyanyian pelipur lara yang pernah didengar, atau tontonan yang pernah menghibur ketika mereka masih dikampung kembali muncul berdesakan memenuhi kenangan mereka. Memori akustik (rekaman ingatan terhadap bunyi-bunyian, termasuk bunyi dan struktur musikal, yang mengisi pengalaman sepanjang hidup manusia) itu pun berperan menjadi pereda dalam mengatasi lara yang menyakitkan itu.

Salah satu adegan pertunjukan ketoprak di Tanjung Mulia, Medan 7 Novemebr 2015 (Foto: Rizaldi Siagian)

Genangan pengalaman yang melekat dalam bunyi-bunyian itu menyatu di dalam ingatan akustis ini. Disitu terekam apa yang lengket di pikiran ketika bunyi atau bentuk musik terdengar, begitu pula terhadap rasa dan peristiwa kehidupan yang kemudian terhimpun di dalam koleksi memori ketidaksadaran itu. Suara petir, hujan, angin, tawa, dan suara-suara tertentu yang tiba-tiba saja mengingatkan kita pada wajah seseorang, atau lagu yang mengantar kita ke kenangan terhadap berbagai tempat terekam didalam memori akustik ini. Kita bisa mengaksesnya dengan menggunakan musik, mendengar atau memainkannya. Kondisi psikologis inilah yang mungkin mendorong kuli kontrak bermain musik untuk bisa “lari” dari tekanan yang dihadapi, mengobati kesakitan yang mereka derita.

Ketoprak Dor Membuat Mereka Tangguh

Musik atau dunia seni tak pernah menjungkalkan seseorang kedalam keterpurukan, tetapi sebaliknya, menarik seseorang untuk keluar dari situasi itu. Seni menawarkan tantangan tanpa membuat orang takut. Alunan nada-nada dalam melodi memberi warna bagi kehidupan, sementara hentakan rirtmis menggugah dan merangsang gerak. Seni, termasuk teater rakyat Ketoprak Dor, adalah tentang perubahan, tentang energi ketahanan, serta daya yang menggetarkan. Ia merepresentasikan gerak dari inti kebudayaan yang menginspirasi ketangguhan dan semangat pantang menyerah. Mungkin itu yang membuat Ketoprak Dor mampu bertahan tanpa menjadi cengeng dan mengeluh terhadap perlakuan yang ada sejak dulu sampai sekarang. Meski begitu, kesenian yang mengungkapkan “jeritan sosial” melalui nyanyian, dialog, dan gerak tarian ini adalah warisan budaya tak benda milik bangsa yang terlalu mahal untuk terus diabaikan oleh kekuasaan tak sadar budaya, dimanapun ia berada.

Medan, 18 November 2015

Dokumentasi pemberitaan Kompas 13 Desember 2015

--

--