‘DIASPORA …,’ APA SIH ITU?
Setelah Arcandra Tahar, M.Sc., Ph.D. tercampak dari kedudukannya sebagai Menteri ESDM RI yang cuma ia jabat 20 hari, gara-gara berkewargaan ganda (Indonesia-USA), dan di ujung lain, regulasi kuno yang tak mampu beradaptasi dengan globalisasi itu, kata ‘DIASPORA’ menjadi ‘buah bibir’ di semua media negeri ini. Apa sih sebenarnya makna ‘diaspora’ ini? Apakah kita, di Indonesia, punya sejarah terkait dengan fenomena persebaran manusia yang terkepung oleh jaring-jaring sistem politik ini? Berikut saya share cuplikan catatan riset kepustakaan tentang istilah yang secara umum punya persamaan dengan kata ‘perantauan’ itu.
Istilah ‘diaspora’ berasal dari bahasa Yunani kuno, dias (melalui) dan speirein (menyebar atau menabur), dengan makna terkait penyebaran, atau proses pendistribusian benda-benda atau manusia ke wilayah yang luas, atau penyebaran manusia yang berasal dari satu bangsa atau yang mempunyai persamaan kebudayaan. Istilah Diaspora (ditulis dengan huruf besar D) biasanya dialamatkan pada persebaran orang-orang Jahudi setelah penaklukan Babilonia dan Romawi terhadap Palestina, kemudian persebaran orang-orang Yunani dan Armenia. Di akhir abad 20 konsep ‘diaspora’ mengalami transformasi dari definisi sempit beralih ke pemahaman lebih kompleks.
Sejumlah pakar malah berusaha untuk mengidentifikasi ciri-ciri umum yang mendefinisikan pengertian diaspora secara modern. Khachig Tölölyan (ahli bahasa dari universitas Weslayan, USA) berpendapat bahwa istilah diaspora yang dulunya adalah deskripsi terhadap penyebaran orang-orang Jahudi, Yunani, dan Armenia. sekarang maknanya berkembang dan berbagi dengan pengertian semantik yang meliputi kata seperti imigran, expatriate, pengungsi, pekerja-pendatang (seperti misalnya koeli kontrak tembakau di Tanah Deli dulu), komunitas buangan, komunitas seberang (overseas community), komunitas etnis (Tölölyan 1991: 4–5). Ia juga menambahkan istilah diaspora yang pernah disamakan dengan makna exile, loss, dislocation, ketakberdayaan dan pesakitan menjadi bermanfaat untuk mendeskripsikan tingkatan penyebarannya. Dengan pengertian ini maka konsep diaspora menjadi didasari oleh dua pendekatan, ‘objektif’ dan ’subjektif’. Sebagai tambahan, menurut Marienstras (1989: 125), faktor waktu juga menjadi kondisi yang penting bagi diaspora karena “realitas diaspora dibuktikan dalam waktu dan diuji oleh waktu”.
Pandangan lain, William Safran, seorang ahli ilmu politik dari Universitas Colorado Boulder, berpendapat bahwa istilah diaspora harus dibatasi pada populasi yang mempunyai enam karakteristik. Meliputi: (1) berpencar dari pusat (asal) aslinya ke dua atau lebih daerah peripheral (pinggiran), atau wilayah asing; (2) ingatan, visi, atau mitos kolektif tentang asal-muasal asli mereka — lokasi fisik, sejarah dan pencapaian-pencapaian (achievements) yang telah dilakukan; (3) rasa keterasingan dan isolasi dari masyarakat tuan rumah; (4) idealisasi tanah leluhur mereka sebagai tempat yang benar, ideal dan tempat yang mereka atau keturunan mereka akhirnya akan kembali (pulang kampung); (5) komitmen untuk memelihara atau memulihkan tanah leluhur mereka yang asli, aman, dan makmur; dan (6) kesadaran dan solidaritas etnokomunal yang didefinisikan oleh hubungan berkelanjutan dengan tanah kelahiran (Safran 1991: 83–4). Dari keenam karakter ini kita bisa melihat masalah-masalah sosial di lingkungan kita; salah satu yang terkait dengan karakter yang ditawarkan Safran adalah berkaitan dengan fenomena perilaku ‘mudik’ yang setiap tahun kita hadapi.
Selamat berhari pekan, semoga catatan kecil ini bisa bermanfaat.
Sumber: Um, Have-kyung (ed.) Diasporas and Interculturalism in Asian Performing Arts: Translating traditions, London and New York: RoutledgeCurzon.