“Flow” Bersama Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks

Rizaldi Siagian
4 min readJun 2, 2017

--

Gendang bongo dengan tehnik permainan bhayan dan tabla

Dekade 70-an adalah era yang menarik dalam sejarah musik populer Indonesia, khususnya dangdut. Selain orientasi musikalnya semakin kental berkiblat ke musik film India, kemampuan para pemusik pun meningkat: pemain gendang bongo (alat musik Amerika Latin) yang menirukan suara tabla tampak semakin mahir, permainan suling bambu dalam mengadopsi cengkok melodi India semakin halus, tabla mulai ramai dipakai, dan gaya musik rock progresif, terutama warna bunyi dan permainan gitar melodi bergaya rock mulai diadopsi kedalam musik dangdut saat itu.

Rodjali (Mandolin) Ade (Vokal & Bongo)
Monos (Vokal, Gitar Akustik)

Di tengah hiruk pikuk proses penyampuran musik dangdut saat itu dan ramainya perdebatan tokoh-tokoh musik dangdut dan musik rock, serta keberanian para pemusik menyebut musik yang mereka mainkan adalah dangdut, bukan “Orkes Melayu” yang berakar dari Deli, muncul anak-anak ‘nakal’ dari kalangan mahasiswa UI yang dengan segar dan jenaka melakukan “sindiran-sindiran musikal” terhadap situasi sosial yang berkembang pada waktu itu. Mereka menamakan diri “Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks”. Inisial “O.M.”, “Orkes Melayu”, diplesetkan menjadi “Orkes Moral”. Mereka dengan sangat serius memainkan musik ‘tidak serius’, musik untuk bermain, dolanan, misalnya lagu rakyat Skotlandia “My Bonnie Lies over the Ocean” yang bertangga nada mayor mereka nyanyikan dalam dua tangga nada, mayor dan minor, dinyanyikan dengan suara serak ala Louise Amstrong, lalu diputarbalik sangat kontras menjadi “My Bonnie …” yang berirama dangdut bernada minor. Di penghujung dekade itu, 1978, Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks tiba-tiba menjadi sangat populer. Siaran mereka melalui TVRI yang saat itu cuma satu-satunya televisi di republik ini ditunggu-tunggu pemirsa di seluruh nusantara. Tapi kemudian grup yang nakal ini menghilang seperti ditelan bumi.

Nemo Omen Norman Soni Sontani
Andra (Maracas, Simbal)

Pada tanggal 20 Mei 2017 yang lalu, PSP muncul kembali, dalam sebuah festival musik di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta. Tampil satiris menawarkan warna dan konsep estetika ke anak-anak muda yang sebelumnya tak mengenal mereka. Diluar dugaan, irama percampuran gaya Melayu, dangdut ringan, dan rock & roll yang populer di tahun 70-an menjadi sangat intim, ‘lengket’ menyatu dengan selera anak-anak muda yang spontan ikut menari sekaligus memancing memori kolektif penonton yang sebaya. PSP kembali “menggoyang” kota gudeg, Yogya, setelah show terakhir mereka tahun 1979, tigapuluh delapan tahun yang lalu. Malam itu, semua audiens tua/muda merasuk ke level “trance” dan larut dalam irama transisi dangdut yang masih tipis Indianya, dan rasa Melayu yang merakyat.

Didin (Vokal, Tamborin)

Melihat gejala komunikasi yang terjalin antara penonton dengan PSP, dari balik kamera saya sudah menduga akan terjadi sebuah event pertunjukan yang diikat oleh keintiman komunikasi yang kuat antara pemusik dan penonton. Pada level ini pengalaman individual, pengalaman kultural, pengalaman musikal mereka yang terlibat malam itu akan melahirkan suasana ‘keasyikan’ yang ditopang oleh perhatian dan konsentrasi tingkat tinggi. Dampak dari konsentrasi ini adalah hal-hal yang dianggap mengganggu tidak lagi dirasakan karena si pelaku telah hanyut didalam alur keasyikan itu. Situasi ini oleh seorang ahli psikologi, Mihaly Csikszentmihalyi, disebut ‘FLOW’.

Video Performance Festival Musik Tembi 20 Mei 2017

Flow menurut psikolog Amerika keturunan Hungaria ini adalah pengalaman individu yang terbenam asyik di dalam sebuah kegiatan yang sedang ia kerjakan atau suasana yang sedang ia nikmati. Keasyikan yang mengalir di dalam diri para pemain PSP dan penonton malam itu menggiring masing-masing individu merasuk kedalam motivasi untuk mengungguli, atau memenangkan dirinya lebih dari keterbatasannya sendiri.

Aura kebahagiaan dan kepuasan yang mereka rasakan mencuat oleh keinginan mereka menembus tantangan untuk masuk ke suasana transenden melebihi level kemampuan dasar mereka masing-masing. Beruntung suasana yang jarang-jarang terjadi itu dapat saya rekam melalui smartphone saya, dan saya sendiri pun mengalami keasyikan kerja saat melakukan perekaman video yang berdurasi lebih dari 15 menit ini. Terimakasih kepada teman-teman Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks; juga anak-anak muda energik yang selama tujuh tahun terus menggerakkan “Festival Musik Tembi”, yang secara sadar sengaja direkayasa untuk menghasilkan tradisi baru dalam proses penciptaan musik Indonesia. Semoga catatan ini bermanfaat.

--

--