Suara Yang Sayup-Sayup Tak Terdengar

Rizaldi Siagian
5 min readSep 1, 2016

--

Catatan: Tanggal 30 Agustus 2007, Pak Cokrowasitodipuro, seorang guru karawitan Jawa yang merintis pengajaran gamelan di Amerika, wafat dalam usia 104 tahun di Yogyakarta. Dua hari setelah itu, 2 September 2007, saya tulis catatan ini. Semoga kita semua, terutama murid-muridnya mengingat beliau yang telah berjasa.

Pak Cokrowasitodipuro (Foto Rizaldi Siagian)

“I’m a professor … I’m a professor.” Itu ucapannya tiga tahun lalu, ketika saya berkunjung ke rumahnya di Yogya (25/10/04). Saat itu Ki Wasitodipuro — salah seorang dari 3 empu karawitan, selain Ki Nartosabdo, dan RL Martopangrawit, sudah berusia 101 tahun. Saya berkenalan dengan seniman besar yang lebih akrab di panggil Pak Cokro ini ketika beliau masih berusia 73 tahun (1980), di Kedewatan , Bali, dalam sebuah kursus (summer course) yang diselenggarakan oleh The Center for World Music (USA).

Di suatu subuh yang masih gelap, usai berlatih yoga Pak Cokro berbagi pengalaman di pondok tempat kami menginap yang dibangun di tepi sungai bekas kebun coklat itu. Kebetulan saya baru pulang melakukan observasi kegiatan upacara (odalan) besar di Pure Kedewatan yang letaknya tak jauh dari lokasi kami tinggal. Sebagai mahasiswa etnomusikologi, ketika itu, saya ditugasi untuk menyerap pemahaman tentang musik dalam konteks kebudayaan melalui praktik langsung di lapangan. Begadang sudah menjadi resiko calon etnomudikolog. Itu sebabnya saya bisa ngobrol dengan Pak Cokro dipagi buta itu. Dia berbicara banyak hal, terutama masalah kesenian dan pendidikan. Pak Cokro prihatin terhadap kemiskinan yang banyak menenggelamkan anak-anak berbakat karena orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan. “Kalau saya pensiun nanti,” katanya, “akan saya dirikan asrama untuk para pelajar yang miskin dan belajar di Yogya.” Dua puluh empat tahun kemudian, di hari ia menyebutkan dirinya “professor”, saya saksikan asrama yang ia janjikan itu di halaman belakang rumahnya. Permanen, dan ia biayai dari uang pensiun yang diperolehnya dari sistem jaminan sosial (social security) Amerika, dimana ia mengajar gamelan selama hampir setengah abad (Kompas, 2/9/07, hal. 28).

Dua bulan kemudian (3/12/04), saya kembali bersama teman-teman kru visual untuk shooting di rumahnya. Kali ini saya ajak berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Efektif, dan beliau tampak lebih antusias berdialog. Saya maklum: lebih lima puluh tahun beliau mengajar gamelan di berbagai universitas di Amerika dan Kanada, tentu merasa lebih nyaman dengan bahasa ini. Dengan lancar ia menyebut orang-orang dekat dan pernah menjadi muridnya di kampus kampus tempat dia mengajar di negeri itu. Termasuk sejumlah nama-nama besar dalam disiplin ilmu etnomusikologi.

Hari itu beliau sangat istimewa. Mengenakan baju tradisi Jawa yang biasa dipakainya dalam pagelaran gamelan. Duduk di sofa, di depan seluruh niyaga (pemusik) yang akan memainkan gending-gending pilihannya. Saya bisikkan pada teman saya, juru kamera Yadi Sugandhi, untuk sensitif merekam perilaku musikal Pak Cokro meski beliau tidak bermain kendang. (Dalam tradisi gamelan pemain kendang adalah pemimpin seluruh peristiwa musikal dalam ensambel, seperti misalnya kondaktor pada musik Barat.)

Memang, sesuatu yang tidak diperhatikan orang, menjadi perhatian saya. Jari tangannya bergerak mengetuk-ketuk sofa seakan menciptakan bunyi dalam tehnik permainan kendang yang sulit itu. Mulutnya terus bergerak menirukan bunyi-bunyian yang mengalir, seolah-olah semua bunyi yang diciptakan niyaga-nya adalah wujud dari dirinya. Kadang ia tersenyum ketika klimaks lagu direspon dengan tepat oleh penabuh (pemain) gong. Tapi dahinya berkerenyit ketika irama kendang tak sama dengan ketukan jarinya, tapi kemudian tersenyum setelah ia “masuk” ke dalam proses pengembangan variasi yang mendesak tensi musikal dan berakhir dengan gelegar bunyi gong. Mungkin dalam hatinya berkata “… oooh maksudnya begitu …”

Menyaksikan kemampuan manusia dengan usia selanjut itu masih bisa begitu intense merespon alunan peristiwa bunyi musikal secara fisik, sungguh menakjubkan. Takjub kepada kemampuan otak manusia merekam pengalaman tradisinya. Meski fisiknya lemah, tapi geraknya konsisten dan sinkron dengan struktur musik yang mengalir. Mungkin studi neuropsykologi musik bisa menjelaskan hubungan mekanisme otak dengan pengetahuan dan keahlian yang melekat di semua sistem memori dalam diri seorang seniman tradisional seperti Pak Cokro. Untuk kepentingan kemanusiaan itu, ratusan tradisi musik terhampar di nusantara ini. Letupan pikiran ini mengingatkan pengalaman saya bergaul dan belajar gamelan Jawa dengan Pak Cokro lebih dari 20 tahun yang lalu di Amerika, dan menyaksikan bagaimana antusiasme pendidik, psikolog, birokrat, terhadap pendekatan pengajaran melalui musik tradisi. Dalam sebuah pertemuan audisi untuk menentukan alternatif sistem pendidikan musik untuk anak di sebuah hotel bekas kapal Queen Mary, Santa Monica, 1983, gamelan menjadi handalan yang ditawarkan Prof. Dr. Robert E. Brown (salah seorang murid Pak Cokro di UCLA tahun 1960-an) ketika itu. Meski saya tak mengetahui persis apakah pertemuan itu menerbitkan suatu rekomendasi atau tidak, akan tetapi, seperti catatan Prof. Dr. R. Supanggah, saat ini terdapat 600 kelompok gamelan di Amerika (Kompas, 2/9/07, hal. 28). Mungkin di Indonesia sendiri jumlahnya tidak sebesar itu.

Setiap kali saya menjemputnya di bandar udara San Diego, jaket coklat tua yang menutupi sweater abu-abu muda nyaris tak pernah lekang dari tubuhnya. Kalau dingin, syal warna gelap melilit di leher. Pilihan warna pakaiannya selalu sinkron: berpakaian tradisional Jawa atau memakai pakaian modern. Berjalan tak pernah tangan kosong: paling tidak gulungan koran pasti ada di tangan sambil dipukul-pukulkan ke paha kanan. Seolah-olah gending Ketawang Puspawarna atau Tejanata dari kelompok gamelan Paku Alaman yang dipimpinnya berkumandang di kepalanya. Ketawang Puspawarna, simbol aneka jenis bunga yang berhubungan dengan sembilan tingkatan rasa dalam fislsafat Hindu Jawa ini disertakan dalam proyek Carl Sagan, Murmurs of Earth: The Voyager Interstellar Record, yang diluncurkan NASA ke ruang angkasa 20 Agustus 1977, bersama karya-karya komposer dunia lainnya untuk menyampaikan pesan dari bumi kepada (kalau ada) mahluk diluar sistem tata surya kita.

Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV pencipta Gending Ketawang Puspawarna dan Pak Cokrowasitodipuro

Pak Cokro mengajar kami, mahasiswanya di SDSU (San Diego State University), secara total. Artinya tidak sekedar mengajar orang bisa memainkan gamelan. Tetapi mengajarkan sistem budaya musikal Jawa kepada murid-murid yang berlatar belakang budaya berbeda itu. Sistem notasi dalam tradisi gamelan yang disebut kepatihan selalu mengalir dari mulutnya dengan lancar dan intim. Melalui pendekatan lisan itu terjadi hubungan sosial antar murid dan guru serta sesama pemain yang kemudian menciptakan perasaan akrab dan bersaudara. Tapi itu bukan segala-galanya. Dengan serius dan tekun Empu ini mengajar agar keseluruhan bunyi terdengar selaras, bukan individual. Untuk itu si murid harus melatih dirinya menjadi sensitif mendengar, menangkap, mengingat, dan memainkan alat musik. Dalam bahasa pedagogis: kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor, ia terapkan pada saat bersamaan.

Kini sang empu, seorang guru, pewaris tradisi musikal salah satu produk pluralitas kebudayaan bangsa Indonesia, budaya Jawa, yang dikagumi dan menjadi guru puluhan guru besar etnomusikologi terkemuka dunia itu, telah tiada. Kamis, 30 Agustus 2007 yang lalu beliau menghadap Khaliknya. Namanya sebagai guru dan narasumber ilmu pengetahuan gamelan Jawa tercatat dalam sejarah etnomusikologi. Meski demikian masih ada ironi yang tersisa: “I’m a professor … I’m a professor …,” suara yang sayup-sayup dari lubuk hati Ki Wasitodipuro tak terdengar, atau lebih cenderung, tak didengar di negeri ini. Seperti halnya sayup-sayup suara Ketawang Puspawarna yang diimpikan Carl Sagan bisa terdengar mahluk extraterrestrial; mungkin setelah seribu tahun cahaya mengarung angkasa. Horas, Ompu. Selamat jalan ke banua ginjang.

Jakarta, 2 September 2007

--

--