TIDAK MAIN-MAIN

Rizaldi Siagian
2 min readApr 25, 2017

--

Tradisi musik Orang Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat (Foto: Rizaldi Siagian)
Anak-anak bermain ceng-ceng, alat musik logam dalam tradisi orang Oding. Banyuwangi dan Vokalis Toraja dengan alat musik guncang yang mereka mainkan saat menyanyikan nyanyian yang sakral dalam upacara kematian di Toraja. (Foto: Rizaldi Siagian).

Orang suka lupa bahwa ‘mainan,’ ‘permainan,’ dan ‘main-main’ adalah fenomena kebudayaan manusia yang disebut ‘budaya bermain’. Olahraga, kesenian, beragam jenis dan bentuk permainan dari yang melibatkan kecerdasan berpikir canggih dan taktis seperti catur, sampai permainan judi kartu qiu-qiu adalah termasuk didalam fenomena kebudayaan bermain yang universal itu.

Di luar sana, perhatian dan pengelolaan budaya ini sangat serius. Tidak main-main. Fasilitas-fasilitasnya mereka bangun megah seperti lapangan dan stadion sepak bola, gedung-gedung tempat pameran dan pertunjukan seni, computer games dan bentuk-bentuk permainan baru mereka kaji potensi kemanfaatannya, lalu disiapkan sarana dan prasarananya. Pembinaan terhadap manusia-manusia yang bermain didalam sarana dan prasarana yang mereka bangun itu mereka kelola dengan serius melalui manajeman yang canggih. Sekali lagi: tidak main-main.

Apakah di negeri ini kebudayaan bermain mendapat perhatian. Tentu jawabnya: IYA! Sayang, dalam banyak kasus (dalam dunia olahraga, dunia seni, dunia wisata), KEBIJAKAN STRATEGIS terhadap KEBUDAYAAN BERMAIN ini tampaknya lebih banyak dilakukan dengan ‘pendekatan main-main.’ Itu sebabnya mengapa hasilnya pun tampak menjadi ‘budaya bermain’ yang MAIN-MAIN. ‘Ecek-ecek kali,’ kata orang Medan.

Foto-foto diatas adalah produk “budaya bermain” yang dilakukan sangat serius di tengah-tengah masyarakat tradisional dan terdapat di seluruh nusantara. Meski mereka tampak bermain seperti main-main, tetapi sungguh mereka TIDAK MAIN-MAIN.

Jakarta 25 April 2017.

--

--