TUTUR BATIK
Latar belakang
Dunia penuh narasi, penuh tuturan. Bentuknya dari cerita-cerita rakyat yang disebut folklore sampai ke ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menjelajah negeri-negeri jauh seperti etnografi, historiografi, filologi, sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu lainnya. Dalam masyarakat tradisional, narasi diekspresikan, selain melalui tutur, juga melalui simbol-simbol yang bentuknya sederhana sampai yang abstrak. Ia bahkan berfungsi membentuk persepsi masyarakatnya terhadap dunia sekelilingnya, adat istiadat, atau mitos-mitos yang dikemas dalam mantra dan nyanyian ritus-ritus yang diwarnai karakter sinkritisme budaya nusantara yang begitu kaya. Di masa maraknya kolonialisme Barat, narasi fiksi pun menginspirasi penguasaan terhadap tanah subur di dunia Timur. Narasi besar yang dibingkai dalam novel dan mitos kesusastraan “budaya tinggi” dan menjadi hiburan menyenangkan bangsa kulit putih menjadi alat untuk merendahkan dan meneror martabat kemanusiaan bangsa-bangsa terjajah, sekaligus membentuk perilaku kolonialisme dan imperialisme, menciptakan diri menjadi tuan-tuan kebun feodal yang memarakkan perbudakan di negeri orang nan jauh, bukan di Eropah, tanah leluhurnya. Di akhir abad lalu perilaku buruk ini dibongkar kritikus sastra dan budaya keturunan Palestina-Amerika, Edward W. Said, yang membuat dunia intelektual gegar oleh pikiran dan teori-teori pembuktiannya (lihat, Edward W. Said: Orientalism,1978; Culture and Imperialism,1993).
Futuris Alfin Toffler (Power Shift, 1990) pun mengingatkan bahwa era “super symbolic-economy” abad 21 (yaitu era sistem ekonomi yang secara total bergantung kepada komunikasi instan, persebaran data, ide-ide, símbol-simbol dan simbolisme (1990:23), seperti produk-produk intangible yang dilindungi hak cipta, misalnya perlindungan terhadap desain batik) adalah kancah peperangan informasi paling banal dalam sejarah komunikasi teknologi tinggi. Meski banyak bangsa-bangsa mampu bertahan dalam pertarungan informasi ini — semisal China yang mengambil jalan pintas mengharamkan media sosial, seperti facebook, di negeri itu — tetapi tak sedikit pula yang diperkirakan akan lumpuh menjadi konsumtif.
Di era digital, penyajian narasi semakin canggih. Kearifan lokal nan bijak bestari, ocehan dan celoteh gaul yang disebut “cuitan” dalam media sosial twitter melesat sekedipan mata ke penggunanya, netizen di seluruh dunia. Tak ada lagi batas geografis RT/RW atau bahkan negara. Kehadirannya mampu membentuk dan menggeser persepsi ideologis, mendobrak keangkuhan rezim penguasa, atau sebaliknya mengokohkan cengkraman kekuasaan yang bentuknya sangat beragam dan tumbuh di ladang-ladang ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Pada saat bersamaan media digital menghadapi “gonjang-ganjing” yang cukup serius. Dalam Digital Humanities and Digital Media: Conversations on Politics, Culture, Aesthetics and Literacy, 2016, Roberto Simanowski mengingatkan betapa wajah internet telah berobah. Para ahli mulai khawatir terhadap sisi gelap internet yang tampak bergerak ke arah komersialisasi, memata-matai, pendangkalan. Mereka yang dulunya memuji internet sebagai “alat peluasan” ruang publik dan menjadi kekuatan kecerdasan kolektif, tampaknya tak lagi mengacu kepada data-data empirik dan kurang mampu berpikir dialektis (Simanowski, 2016:9). Dalam situasi seperti ini: adakah peluang untuk menciptakan keseimbangan apabila tawarannya sampai pada pilihan bertarung di gelanggang? Jawaban memang harus optimis: “narasi harus dilawan dengan narasi.” Jawab ini masuk akal kalau dikaitkan dengan batik. Tapi, bagaimana menjelaskannya?
Potensi naratif dibalik sistem pengetahuan batik
Indonesia memiliki harta karun budaya narasi estetika yang didasari kreativitas manusianya. Sangat kaya. Salah satunya tersimpan dan mengendap didalam tradisi seni visual yang populer dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: batik. Budaya membatik yang menghasilkan ribuan jenis, ragam, dan disain yang indah mempesona itu tidak begitu saja turun dari langit, lalu menjadi heritage. Kehadirannya dipikirkan, diciptakan, dan dikerjakan oleh manusia Indonesia melalui proses yang panjang dan penuh dedikasi. Pengetahuan tentangnya berkembang dari generasi ke generasi. Setiap bentuk, ragam, motif, tehnik, tercipta berdasarkan alasan-alasan naratif yang diwarnai oleh konsep dan pandangan humanisme yang kompleks, dari hal-hal sederhana dan sekular sampai ke alasan yang sangat sakral; dari bentuk penyerapan dan peniruan fenomena alam, sampai ke konsep-konsep yang sangat abstrak dan supra-natural. Potensi pengetahuan dan pengalaman para pembatik itu adalah harta karun narasi yang tak ternilai dan menjadi keunggulan kompetitif dalam menempatkan posisi tawar produk batik di tengah-tengah pertarungan market global. Namun potensi yang begitu kaya dan strategis itu terjebak oleh pendekatan simplifikasi dikotomis, yaitu: “batik tulis” dan “batik cap”. Dikotomi ini menutup rapat-rapat potensi naratif yang tersembunyi dibalik desain dan corak batik yang menyimpan nilai-nilai kemanusiaan yang penuh daya pukau luar biasa apabila dituturkan itu.
Di tengah-tengah situasi inilah pemikiran dan gagasan Tutur Batik terlahir. Ia diproyeksikan untuk menggali potensi naratif dari sistem pengetahuan yang tersembunyi dibalik ribuan desain warisan tradisi itu. Sumber pengetahuan dibalik penciptaan desain batik yang terekam di dalam sistem ingatan kolektif para seniman batik itu adalah rekaman pengalaman dan pengetahuan yang kaya dan luas, meliputi berbagai masalah teknis, taxonomy, pandangan filsafat dan nilai-nilai kehidupan yang direfleksikan melalui warna-warni dan corak batik tradisional maupun ciptaan-ciptaan derivatif dan baru. Cerita dan narasi yang terdapat di dalam sistem pengetahuan batik itulah yang harus ditularkan secara kreatif agar menjadi pengetahuan generasi muda membangun mitos-mitos baru dalam menghadapi “jihad informasi naratif” di era digital saat ini. Pertanyaannya kemudian bagaimana cara menularkan potensi naratif dalam disain batik kepada generasi muda dan sekaligus menggairahkan mereka untuk melahirkan kembali narasi-narasi baru, unik, menarik, kreatif dan memiliki keunggulan kompetitif?
Seni pertunjukan sebagai media transformasi tutur batik
Meski Tutur Batik tidak menutup kemungkinan untuk melakukannya melalui pendekatan pendidikan konvensional, tetapi potensi kesenian yang kaya serta kekuatan tradisi lisan dalam menyerap tontonan tradisional adalah kekuatan budaya yang sangat potensil untuk dimanfaatkan.
Oleh sebab itu kreativitas yang diharapkan muncul sebagai kemampuan melakukan tutur-batik, atau menarasikan desain batik, adalah dirangsang melalui penyajian seni pertunjukan (musik, tari, teater). Tema-tema yang digarap didalam seni pertunjukan itu dikembangkan berdasarkan cerita atau narasi dibalik desain atau corak batik yang diciptakan. Oleh sebab itu simbol-simbol yang diekspresikan melalui seni pertunjukan itu adalah konsep dan penghayatan yang dipercaya sebagai kebenaran oleh si pembatik dibalik penciptaan karya batiknya. Kebenaran yang disajikan melalui simbol-simbol seni non-batik inilah yang ingin dijadikan program Tutur Batik sebagai alat rangsang terhadap sistem ingatan penonton yang secara kreatif mampu menuturkan apa yang mereka serap dari tontonan yang mereka saksikan kepada orang lain. Dalam kebudayaan Jawa kemampuan menyerap makna dari konten yang dipertunjukkan adalah dalam tradisi wayang. Penonton wayang menyerap dan memaknai adegan-adegan secara kreatif, mampu menyerap watak dan kepribadian tokoh pewayangan, bahkan mempersonifikasikan dirinya sebagai Semar, Bimo, Krisna, dan menyerap filsafat yang diungkapkan sebagai pedoman hidup. Apa yang sudah mereka lihat dalam pertunjukan, secara kreatif mampu mereka narasikan, mereka tuturkan. Dengan kapasitas ini, berbagai bentuk pertunjukan Tutur Batik diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi untuk melatih kemampuan penonton generasi muda menarasikan potensi syariat dan hakikat batik karena garapan seni dalam Tutur Batik memang dipersiapkan untuk itu.
Oleh sebab kekayaan narasi yang terdapat di dalam setiap produk batik begitu luas, maka karya seni yang bisa digarap untuk keperluan transformasi Tutur Batik pun jumlahnya menjadi tidak terhingga dan sangat bervariasi. Ribuan jenis desain dan alasan humanisme yang melatari proses penciptaan batik adalah sumber inspirasi untuk diproduksi oleh berbagai percabangan seni, baik seni konvensional dan tradisional maupun seni modern yang menggunakan teknologi tinggi. Oleh sebab itu pontensi kreatif yang terdapat di Kabupaten Pekalongan yang memiliki kekayaan jenis-jenis kesenian dari yang tradisional sampai yang modern harus terus dirangsang, digerakkan, dan dikembangkan. Kalau jaman dulu kegiatan seni sangat bergantung kepada ritus-ritus keagamaan karena seni merupakan bagian integral dari kegiatan spiritual dan keagamaan, maka, di jaman sekarang pendekatan ini tidak berjalan lagi. Sejauh ini belum ada satu pendekatan pun yang tampaknya jitu untuk menggantikan ritus-ritus keagamaan itu, terutama untuk bisa secara efektif merangsang kreativitas yang berlangsung terus menerus, dan menjamin kehidupan sosial terutama terkait dengan urusan ekonomi. Dari situasi dan momentum lahirnya generasi digital dan tantangan global yang menjadi peluang untuk menawarkan produk unggulan batik secara global, maka kami melihat program Tutur Batik akan mampu mengkapitalisasikan kreasi-kreasi estetika yang terekam dalam tradisi batik sebagai sumber daya yang dahsyat untuk menopang kehidupan masyarakatnya, khususnya masyarakat Pekalongan. Program Tutur Batik diproyeksikan untuk menciptakan manusia-manusia cerdas, berbudaya tinggi, produktif dan mampu bersaing di tengah-tengah pertarungan narasi besar yang terus dipertarungkan di tengah-tengah era global dan revolusi digital sekarang ini.
Kajen, Kabupaten Pekalongan, 26 Januari 2017
Rizaldi Siagian