Menyoal Aturan Grab to Work oleh Pemerintah Kota Bandung
Hari ini beredar berita bahwa Pemerintah Kota Bandung telah menggandeng perusahaan transportasi Grab sebagai angkutan resmi ASN dalam program “Grab to Work”. ASN yang akan berangkat kerja ke kantor diwajibkan menggunakan layanan Grab secara berkelompok dengan ASN lainnya, dengan grup yang sudah ditentukan. Masing-masing grup berangkat dari titik-titik yang sudah ditentukan oleh Dishub Jabar dan pihak Grab. Kadishub juga mengatakan bahwa aturan baru ini akan diwajibkan bagi para ASN Pemkot Bandung sebelum nanti diberlakukan umum kepada masyarakat. Lebih lanjut, ASN yang tidak mematuhi aturan ini akan dijatuhkan sanksi material sebesar 50 ribu rupiah per hari. Kadishub juga berdalih adanya “car-pooling” dengan menggunakan layanan Grab akan membantu mengurangi kemacetan karena ASN tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi. [1]
Adanya aturan ini meninggalkan beberapa kejanggalan maupun permasalahan yang patut dipertanyakan, walaupun memiliki niat awal yang baik untuk mengurangi kemacetan dan emisi gas karbon. Namun, apakah cara yang ditempuh sudah benar?
Pertama, dikatakan bahwa dengan beralih menggunakan Grab, diyakini bahwa ASN tidak akan menggunakan kendaraan pribadi. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, “Lantas driver Grab menggunakan kendaraan milik siapa?”. Perlu kita ketahui bahwa perusahaan transportasi online itu tidak menyediakan armada sendiri, alias menggunakan kendaraan yang dimiliki mitra baik atas nama pribadi ataupun sekelompok orang. Hematnya, jumlah kendaraan tidak berkurang secara signifikan, bahkan dengan adanya aturan ini jumlah mobil dapat bertambah akibat adanya mitra-mitra baru yang direkrut oleh Grab. Sekadar informasi juga, Grab belum menutup lowongan pendaftaran untuk menjadi mitra, sehingga sangat mungkin jumlah mitra (dan tentu kendaraan pribadi) untuk terus bertambah.
Kedua, alasan mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya dengan menggunakan Grab sehingga mengurangi macet juga sedikit (bahkan banyak) tidak masuk di akal saya. Jika diumpamakan ASN tidak menggunakan kendaraan pribadi melainkan layanan Grab saat menuju ke kantor, maka beban traffic/lalu lintas mungkin akan berkurang walaupun sangat tidak signifikan. Bagaimana bisa? Lihat saja perbandingan antara jumlah ASN dengan total warga Kota Bandung, mungkin tidak sampai 30%. Jika bisa ditanyakan lagi, bagaimana dengan Anggota keluarga ASN? Bisa dipastikan juga bahwa sebagian besar dari mereka akan tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Ketiga, pengurangan yang sedikit ini pun hanya akan terjadi pada dua waktu saja, saat berangkat dan pulang kerja? Lalu bagaimana dengan sisa waktu yang lain? Driver Grab tidak mungkin hanya melakukan layanan (re: mencari nafkah) pada waktu itu saja, bahkan sepanjang hari mereka mencari pelanggan dengan untuk memenuhi target pendapatan serta bonus. Jadi dapat dikatakan bahwa kendaraan Grab sejatinya turut dan tetap menyumbang kendaraan pribadi sebagai beban pada jaringan jalan hampir sepanjang hari di Kota Bandung. Jadi, apakah jumlah mobil dan kemacetan akan berkurang? Coba pikir lagi!
Keempat, jika memang ide utamanya adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, kenapa tidak sekalian saja mewajibkan ASN untuk menggunakan angkot dan bus seperti TMB atau Damri? Ide dasar dari mengurangi kendaraan pribadi untuk mengurangi kemacetan seharusnya diarahkan kepada ide bagaimana mengangkut sebanyak mungkin orang dengan menghabiskan sekecil mungkin ruang pada jalan raya. Dengan pola pikir tersebut, maka seharusnya angkutan umum seperti angkot dan bus kota menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk dalam memenuhi kebutuhan untuk bergerak/melakukan perjalanan. Dengan menggunakan angkutan umum, maka jumlah emisi gas yang dikeluarkan/ditanggu per penumpang pun akan jauh lebih kecil daripada menggunakan kendaraan pribadi. Maka sudah seharusnya pemerintah Kota Bandung memprioritaskan penggunaan angkutan umum tidak hanya untuk ASN, tetapi juga untuk seluruh masyarakat.
Bahkan sudah menjadi kewajiban alias fardhu ‘ain bagi Pemkot dan Dishub menyediakan angkutan umum yang layak bagi masyarakat. Namun dengan adanya aturan “Grab to Work” ini justru semakin memperlihatkan bahwa Pemkot tidak serius dalam melayani masyarakat Kota Bandung dalam urusan berpindah tempat/melakukan perjalanan. Seperti yang kita lihat, cukup adil untuk dikatakan bahwa angkutan umum Kota Bandung berada dalam kondisi “hidup segan mati tak mau”. Adanya angkutan online yang tidak diatur saja sudah menyebabkan masyarakat enggan menggunakan angkutan umum, bagaimana jika masyarakat (termasuk ASN) justru diwajibkan?
Kelima, mengapa aturan tidak menggunakan kendaraan pribadi harus menggandeng sebuah perusahaan swasta? Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar bagi kita semua mengenai motif yang sesungguhnya dengan pemberlakukan peraturan ini. Apakah ada kesepakatan-kesepakatan lain yang kita tidak ketahui? Saya memang belum menemukan aturan mengenai legalitas pemerintah kota untuk menggandeng satu perusahaan tertentu dan mewajibkan pemanfaatan layanannya, namun secara kasat mata fenomena ini dapat mengarah kepada monopoli layanan oleh suatu perusahaan non-BUMN/BUMD (yang bahkan BUMN/BUMD saja sudah diatur agar tidak memonopoli suatu bidang lagi). Konspirasi? Saya tidak tahu.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan untuk mengurangi kemacetan melalui pengurangan penggunaan kendaraan pribadi? Dorong masyarakat, terutama ASN sebagai contoh dan panutan masyarakat untuk menggunakan angkutan umum seperti angkot dan bus! Memang kondisi eksisting dari angkutan umum membuat kita menghindari untuk menggunakan layanannya, namun di situlah letak titik perubahannya. Aturan yang mewajibkan ASN untuk menggunakan angkutan umum dengan kondisi yang penuh permasalahan sepatutnya akan mendorong Pemerintah Kota Bandung untuk segera mereformasi angkutan umum.
Tiga kata, Reformasi Angkutan Umum!
Bagaiman mereformasi angkutan umum? Secara singkat, setidaknya ada beberapa hal mendasar yang menurut penulis perlu diperhatikan untuk dapat menyediakan angkutan umum Kota Bandung yang lebih manusiawi, memberikan manfaat yang besar, serta dicintai masyarakat.
1. Ubah sistem kepemilikan/organisasi angkutan umum dari yang awalnya milik perseorangan menjadi BUMD ataupun UPTD. Dengan mengambil alih kepemilikan angkutan umum menjadi milik Kota Bandung, maka akan lebih mudah memberlakukan regulasi. Kemudian pola pikir penyediaan angkutan dari yang awalnya mencari keuntungan menjadi melayani masyarakat. Sistem operasi yang diberlakukan pun dapat diarahkan menuju customer satisfaction seperti mengganti mobil menjadi armada shuttle yang lebih nyaman, waktu beroperasi hingga malam hari untuk sebagian besar trayek, menurunkan headway/waktu kedatangan antar angkot sehingga meningkatkan frekuensi, hingga merancang branding identity untuk menambah kualitas informasi, komunikasi, dan estetika.
2. Ubah sistem gaji/insentif bagi supir angkutan umum. Selama ini perilaku ngetem oleh supir angkot sebenarnya ditujukan untuk mencari penumpang sebanyak-banyaknya dalam rangka kejar setoran. Hal ini tentu dapat mengganggu kenyamanan pengguna baik karena berdesak-desakan atau waktu menunggu yang terlalu lama. Sesunggguhnya hal ini dapat dihindari dengan mengubah sistem insentif dengan hitungan pembayaran menjadi jumlah kilometer yang ditempuh. Dengan pola seperti ini, diharapkan supir angkot akan terus narik sepanjang hari tanpa memperhatikan jumlah penumpang yang menggunakan, sehingga waktu perjalanan juga menjadi lebih singkat karena angkot tidak akan ngetem. Selain itu, jumlah insentif yang cukup juga dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas personal dari driver agar sesuai dengan SOP pelayanan yang diharapkan.
3. Ubah rute/trayek angkutan umum. Seiring dengan perkembangan Kota Bandung, maka perlu adanya kajian untuk merubah rute angkutan umum eksisting yang dianggap terlalu menumpuk. Sebagai contoh, Jalan A.H. Nasution menuju Terminal Cicacheum dilewati oleh lebih dari 3 nomor/jenis Angkot. Hal ini menyebabkan persaingan berlebih antar angkot sehingga memengaruhi perilaku pengemudi supir angkot dan dapat mengganggu kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pengguna. Rerouting trayek angkutan umum juga dapat memperluas coverage area sehingga mampu melayani lebih banyak masyarakat, terutama untuk daerah di ujung-ujung Kota Bandung.
Dengan memerhatikan hal-hal di atas, maka menyediakan angkutan umum yang layak dan memadai kebutuhan masyarakat Kota Bandung diharapkan akan membawa beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Meningkatkan perekonomian masyarakat Kota Bandung akibat masyarakat menjadi semakin mudah untuk melakukan perjalanan dan memenuhi kebutuhan.
2. Sistem insentif yang baik diharapkan mampu membuat para supir angkot menjadi lebih sejahtera karena tidak dipusingkan dengan setoran.
3. Mengurangi kemacetan akibat banyaknya kendaraan pribadi. Hal ini disebabkan karena masyarakat akan lebih memilih menggunakan angkutan umum yang aman, nyaman, serta murah.
4. Dengan berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi, maka dapat memicu pengurangan emisi gas karbon dan menjadikan udara Kota Bandung terhindar dari polusi.
5. Dengan berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi juga, maka jalan raya akan lebih aman bagi para pejalan kaki dan pengguna sepeda. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan jumlah ruas-ruas trotoar sehingga membuat orang lebih nyaman dalam berjalan kaki dan bersepeda.
6. Dengan memberlakukan tata tertib bagi operasi angkutan umum, semisal menaik-turunkan penumpang hanya boleh dilakukan pada halte, membayar harus saat sebelum naik, dan lainnya, maka hal tersebut secara tidak langsung akan mendorong warga Kota Bandung untuk lebih taat pada tata tertib yang berlaku sehingga masyarakat menjadi lebih disiplin.
7. Adanya aturan sistem operasi seperti memprioritaskan penumpang lansia, ibu hamil, atau sahabat difabel, maka menjadi sangat mungkin untuk meningkatkan rasa toleransi dan peduli terhadap sesama bagi masyarakat Kota Bandung.
8. Aturan wajib naik/turun hanya di halte juga akan meningkatkan kemauan warga untuk berjalan kaki yang secara tidak langsung juga mendorong perilaku hidup sehat bagi warga Kota Bandung.
Akhir kata, semoga ada kemauan baik dari Pemerintah Kota Bandung untuk meninjau kembali kebijakan Grab to Work dan beralih untuk mendahulukan memperbaiki kualitas angkutan umum yang lebih jelas menyebar manfaat bagi seluruh warga Kota Bandung. Sekian dan terima kasih.
@rizqrama, public transport enthusiast