Surat untuk Ais

Roasted Tomatoes
3 min readAug 1, 2021

Hai Ais, apa kabar? Semoga kamu serta keluarga sehat dan aman selalu, ya. Beberapa hari yang lalu saya melihat unggahan videomu di Instagram dan saya sangat tergugah. Ingat dengan percakapan terakhir kita melalui direct message soal buku berjudul The Little Paris Bookshop yang hendak saya kirim? Saat itu kamu bilang bahwa kamu memutuskan untuk tinggal bersama nenek di sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan. Desa apa namanya? Tabo-Tabo? Bagi saya itu hal yang sangat menarik dan hebat, Ais.

Saya tidak tahu pasti apa yang kamu pikirkan sehingga memilih untuk tinggal bersama nenek di desa. Yang saya tangkap dari video tersebut ada sekelumit rasa takut dan kekhawatiran yang membuatmu memutuskan untuk hijrah ke sana. Itu sebabnya kamu memerlukan perasaan cukup dan bahagia untuk mengentaskan dua hal tersebut yang kamu dapat dengan tinggal di sana.

Ngomong-ngomong soal takut dan khawatir, saya rasa akhir-akhir ini pasti banyak orang yang merasakannya, terlebih dunia sedang dirundung kelabu oleh karena pandemi yang berhasil melumpuhkan berbagai sektor kehidupan di setiap negara dan diri manusia — lupakan sejenak soal bagaimana virus ini berasal dan hal-hal politis di baliknya — yang jelas saya juga ikut merasakan rasa takut dan khawatir itu. Namun kemudian saya berpikir, sampai kapan saya harus merasakan rasa takut dan kekhawatiran? Apakah dua hal tersebut saya rasakan karena saya tidak benar-benar merasa cukup? Apakah rasa takut dan khawatir saya berasal dari pikiran oleh sebab hal-hal kebendaan yang tidak bisa saya dapatkan? Seperti apa standar dari rasa cukup yang ada di diri saya? Bagaimana saya harus memulai sesuatu agar saya dapat merasa cukup? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berputar di kepala saya. Sampai pada suatu ketika saya melihat unggahan videomu di Instagram.

Memutuskan untuk pindah ke desa dan tinggal bersama nenek tentu bukan tanpa pertimbangan tapi pasti ada penyebab mengapa kamu mengambil keputusan tersebut. Ais, saya sangat kagum dengan keputusanmu hijrah ke desa. Sebagai anak yang lahir dan besar di ibukota, saat kecil dulu saya berpikir bahwa tinggal di desa tentu sangat membosankan dan sulit mengikuti perkembangan, dianggap kampungan, jauh dari pusat kota yang semuanya serba ada, dan masih banyak lagi. Namun sekarang saya justru berpikir sebaliknya. Saya dapat melihat bahwa kamu mampu merasa cukup tinggal di sana dan dari rasa cukup yang ada di dalam dirimu kebahagiaan itu muncul. Tidak perlu khawatir perihal ketertinggalan dan sebagainya sebab ada internet yang dapat menolong serta mengajari kita, tinggal bagaimana kita mengelolanya dengan baik agar bisa memberi manfaat. Bukan, begitu? Sama seperti burung pipit yang tidak menabur juga menuai namun alam menyediakan makanannya. Ia mengambil sebanyak yang ia perlukan, sesuai dengan kapasitas perutnya tapi lihatlah, ia terpelihara dengan baik dan dapat terbang bebas tanpa khawatir besok harus makan apa.

Ada satu orang yang saya ikuti di Instagram, seorang pria bernama Dicky Senda yang tinggal di NTT. Ia memilih bekerja dan mengabdikan dirinya di kampung, mengelola berbagai hasil bumi untuk makan dan bertahan hidup, mengurus komunitas, memberdayakan warga sekitar agar berdaya serta melek literasi. Meski tinggal di desa, ia punya banyak prestasi. Selain itu saya juga punya kerabat yang ketika menikah memilih untuk tinggal dan menetap di sebuah desa di Yogyakarta, sebelumnya ia tinggal di pinggiran kota Jakarta. Keputusan yang cukup menantang menurut saya walau saya belum bicara banyak dengan dia soal keputusan tersebut. Satu hal yang saya tangkap, dia berani memilih. Beberapa kali saya pernah berkunjung dan menginap di rumahnya dan sebagai tamu saya senang ada di sana. Kemudian saya melihat unggahan videomu.

Saya kemudian berangan-angan untuk tinggal di desa juga. Hidup sederhana dan mencukupkan diri dengan apa yang saya punya. Memakan dari apa yang saya tanam sambil tetap terbuka dengan perubahan yang ada. Tapi tentu saja pada kenyataannya realita tidak akan semulus itu, bukan? Itu sebabnya saya masih meraba-raba seperti apa standar kepuasaan dalam diri saya dan bagaimana saya dapat memaklumi berbagai hal ke depan. Apakah keinginan saya itu sekadar rasa jenuh yang timbul sebagai warga ibukota di tengah pandemi? Entahlah. Apakah kekhawatiran saya berlebihan, Ais?

Semoga semangat, keberanian, dan keyakinan yang dimiliki kamu dan nenekmu, juga Dicky Senda dan kerabat saya dapat menjalar di diri saya. Oh ya, terima kasih karena sudah mengunggah video itu, ya. Pada akhirnya saya sadar bahwa saya butuh tenang dengan merasa cukup dan membuat kebahagiaan itu sebagai keniscayaan agar tidak ada lagi rasa takut serta kekhawatiran.

Jakarta, 2 Agustus 2021.

--

--