Shrimp

runadelune
3 min readJan 17, 2024

--

Dengan membawa sepiring nasi gudeg di tangan, saya celingukan mencari meja kosong yang bisa ditempati untuk menyantap makan siang dengan tenang. Alih-alih mendapat satu meja kosong, saya justru mendapati beberapa tatapan tajam ketika saya melirik meja yang penghuninya sudah hampir selesai dengan makanan mereka. Bahkan ketika saya hampir berhasil menempati satu meja kosong, seorang laki-laki berseragam menabrak lengan saya, lantas menyerobot kursi yang seharusnya menjadi milik saya.

Demi Tuhan, saya hanya ingin makan dengan tenang. Tapi kenapa saya harus bertemu manusia tidak punya tata krama dan etika seperti orang ini?

Saya nyaris, sedikit lagi, menumpahkan nasi gudeg di piring saya ke kepala orang itu ketika mendengar seseorang memanggil. Segera saya melupakan keinginan tersebut dan berbalik, untuk kemudian mendapati Minggu dan Cakra sedang melambai dan menunjuk satu kursi kosong dihadapan Cakra.

Semakin dekat dengan meja mereka, saya ingin menyalahkan keramaian Kantin Karyawan; lampu yang agak remang; serta mata saya yang silindris karena saya baru menyadari kalau Cakra dan Minggu tidak hanya berdua. Ada seseorang yang sudah duduk dihadapan Minggu dan persis di sebelah kursi kosong yang ditawarkan Cakra. Seseorang yang sejak kemarin membuat saya risau dan bingung dengan diri sendiri. Seseorang yang membuat saya marah, namun entah marah pada siapa.

Seseorang yang kelihatannya juga terkejut melihat kedatangan saya.

Jika saya punya pilihan lain, tentunya saya akan menghindari pertemuan ini (setidaknya untuk sementara waktu sampai saya mampu memahami apa yang akhir-akhir ini saya rasakan). Namun sejauh mata saya memindai, tidak ada satu pun meja yang bisa saya tempati dan waktu makan siang semakin menipis. Tidak ada pilihan lain selain meletakkan piring saya dan berusaha bersikap senormal mungkin lalu menyantap makanan dengan cepat supaya saya bisa segera angkat kaki.

“Tumben Mas Wisnu cari makan di sini?” tanya Cakra pada akhirnya. Saya tahu, sejak tadi ia sudah menahan diri untuk tidak bertanya.

“Saya sering makan siang di sini. Kalian saja yang nggak pernah lihat.”

“Oh ya?”

Saya mengangguk dan kembali menyantap makanan tanpa menoleh sedikit pun. Saya takut orang di sebelah saya bisa mendengar debaran jantung saya yang rasanya seperti menggedor dari dalam.

“Habis ini ada interview mendadak lagi, Run?” tanya Minggu dengan nada menggoda yang saya tahu sebenarnya ditujukan kepada saya. Saya yakin Minggu masih kesal karena kejadian tempo hari. Tetapi saya tidak merasa bersalah kepada Minggu. Siapa suruh dia mengajak Seruni jauh-jauh ke Pacific Place hanya untuk makan siang yang waktunya hanya satu jam itu?

“Harusnya nggak ada. Kenapa?”

“Gue mau pemanasan dulu. Siapa tahu kita perlu lari ke atas dalam waktu tiga menit.” setelah berucap demikian, Minggu dan Cakra tertawa. Saya mengangkat kepala sedikit, melirik mereka tanpa berucap apapun. Keduanya langsung menipiskan bibir seiring suara tawa yang berangsur menghilang. “Ya elah, Mas! Masih senewen aja!” Minggu kembali lanjut menggerutu. “Makan nih udang gue.”

Minggu nyaris memindahkan makanannya ke piring saya. Namun sebelum makanan laut tersebut menyentuh piring saya, sepasang sendok dan garpu menghalang persis di atas piring saya.

“Nggak bisa makan seafood!”

Pekikkan tersebut bukan hanya membuat saya terpukau, tetapi juga Minggu dan Cakra terperanjat.

Seruni tahu?

“Emang iya, Mas?” Minggu yang pertama sadar langsung menatap saya. Saya mengangguk, namun tatapan saya masih tidak lepas dari orang di sebelah saya.

“Kok lo tahu, sih?”

Seruni mengerjap, ia sempat balas menatap saya dengan sorot memelas. Namun sungguh, saya juga tidak tahu harus berbuat apa.

“Haha… iya, ya?” Seruni terkekeh hiperbolis. “Emang beneran nggak bisa, Mas? Tadi saya cuma ngarang, lho! Mau bercandain Mas Igu.”

Saya kembali mengangguk, lantas bertanya, “Setelah ini mau beli dessert?”

“Beli rujak aja, yuk!” Cakra menjawab antusias. Semoga upaya saya mengalihkan pembicaraan berhasil.

“Runi nggak suka buah. Yang lain saja,” kata Minggu membuat saya kontan mengernyit. Dia tahu?

“Terus apa, dong?”

“Puyo aja!” Seruni memberi ide dengan mata berkilat antusias yang membuatnya terlihat menggemaskan. “Biar aku yang beli. Kalian mau rasa apa?”

“Mangga sama taro!” itu Cakra.

“Anggur!” kalau ini Minggu.

“Mas Wisnu mau rasa apa?” rasanya jantung saya nyaris berhenti ketika Seruni menatap saya dengan mata almond-nya yang cantik itu.

“Kamu yang pilih, saya ikut saja.”

Seruni mengangguk, lantas melimbai pergi begitu saja.

“Temen lo gemesin deh, Cak! Udah punya pacar belum, sih?”

Minggu mungkin tidak sadar bergumam demikian. Namun saya cukup sadar untuk mendengar gumaman yang mirip seperti bisikan sambil lalu.

Lalu saya kembali merasakan sesuatu yang sejak kemarin tidak bisa saya pahami.

--

--

runadelune
runadelune

Written by runadelune

full time writing, part time worker. you can find full story “Someone I Met in The Rain” on @runadelune’s twitter.

No responses yet