Tiny Steps
Saya tak lagi mengikuti Mas Duta begitu mata saya mendapati Seruni tengah berdiri di lorong lift dan menunggu salah satu pintunya terbuka. Saya melirik arloji, ternyata memang sudah masuk jam pulang.
Entah dorongan dari mana, saya membawa kaki saya untuk menghampiri perempuan itu. Tidak terlalu dekat, namun tidak cukup jauh karena kali ini, ia menyadari keberadaan saya. Ekspresinya berubah sedikit ketika sebentuk lirikan ia layangkan dalam tempo yang begitu singkat. Lagi-lagi ia berhasil membuat saya kagum. Kendati senja nyaris menjelang, Seruni masih terlihat secantik tadi pagi.
Ah, berpikir apa saya barusan? Bukannya Seruni memang selalu cantik?
Ketika salah satu pintu lift terbuka, saya mengikuti Seruni memasuki lift. Dia berdiri di sudut depan kanan lift; sementara saya masuk lebih dalam lagi. Saya sempat menangkap ekor matanya kembali bergerak melirik saya. Namun seperti tertangkap basah, ia cepat-cepat menatap lurus menuju pantulan dirinya di pintu lift yang kini tertutup sempurna.
Kenapa pergerakan sekecil itu sanggup membuat dada saya meletup?
Terjebak dalam lift yang tak memakan waktu sampai satu menit terasa sangat panjang karena tak ada satupun dari kami membuka suara. Saya ingat betul kalau Seruni belum mencabut larangan untuk berbicara kepadanya dalam bentuk apapun selain urusan pekerjaan. Karena tidak ada urgensi pekerjaan yang ingin saya sampaikan, jadi saya tidak punya alasan untuk bicara. Saya hanya mengikuti langkah kaki mungilnya keluar dari lift begitu sampai di lantai dasar.
Langkah saya yang terus maju tentu bukan tanpa alasan. Minggu bilang, saya hanya perlu melakukan apapun yang saya pikirkan. Dan pikiran saya sore ini sederhana: saya ingin mengantar di pulang, seperti tempo hari.
Hingga begitu tiba di Loby Ashta, pergerakan Seruni yang tiba-tiba berbalik dan menyudutkan saya ke salah satu pilar membuat saya nyaris terjungkal. Tubuh mungil yang hanya mencapai dada saya itu kini berada terlalu dekat, sehingga saya dapat merangkum indahnya sepasang mata almond yang sorotnya tidak bersahabat sama sekali.
“Kamu ngapain ikutin aku?”
Bulu mata lentiknya bergerak naik seiring dengan tatapannya yang semakin menuntut membuat saya menahan napas. Demi Tuhan, ini sungguh tidak adil. Kenapa dia terlihat semakin cantik dalam jarak sedekat ini dan bisa membuat jantung saya berdegup lebih cepat hanya dengan gestur sesederhana ini? Saya jadi sedikit khawatir. Kalau dalam jarak sedekat ini, bukankah dia bisa mendengar debaran jantung saya yang terlampau berisik di dalam sana?
“Jawab!”
“Saya sudah boleh bicara?” pertanyaan saya membuat dia mundur beberapa langkah, lalu celingukan. “Kamu takut ketahuan?”
“Nggak usah mengalihkan pembicaraan!” balasnya, tidak menjawab pertanyaan saya. “Kenapa ikutin aku?”
“Karena mau.”
“Mau stalking?”
Bola mata saya terputar, tidak habis pikir. “Kamu paham arti dari istilah stalking nggak, sih?”
“Paham!” dia kembali menjawab lantang. “Terus kalau bukan stalking, menurut kamu ini apa?”
“Saya hanya mau memastikan kamu selamat sampai stasiun MRT.”
Seruni mendengus. “Nggak perlu! Udah sebulan aku pulang sendiri, selamat-selamat aja tuh!”
Mungkin ada bagian otak saya yang rusak karena melihat Seruni marah-marah begini justru membuat saya gemas. Saking gemasnya, saya ingin sekali mengusap puncak kepalanya. Namun saya khawatir ia akan semakin marah.
“Stop ikutin aku, oke?” katanya. Jari telunjuknya teracung persis di depan dada saya. “setidaknya sampai kamu punya jawaban.”
Jawaban yang ia minta sudah ada di penghujung lidah. Namun sayang, kepergian Seruni jauh lebih cepat dibanding kemampuan saya menguntai kata yang sudah tersimpan selama bertahun-tahun.