Dinner Date

debbie
7 min readNov 11, 2023

--

Istimewa sekali, saat Danial melebarkan napkin berwarna merah kemudian diletakkan dengan sangat rapi ke atas paha Valerie. Benar, kan katanya perihal rasa lelah yang akan hilang jika bertemu dengan wanita favoritnya. Seperti malam ini, Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Bibirnya mencium singkat pelipis Valerie sebelum kembali duduk di hadapan jelitanya.

“Kenapa, sih cantik banget?” Danial meraih jemari Valerie di atas meja kemudian mengecupnya. Dituntun untuk menangkup pipinya sendiri dengan netra terpejam. Sentuhan itu diresapi sedalam mungkin, sampai membawa jauh pikirannya ke level paling tinggi dari sebuah kata serius.

“Boleh, gak, sehari aja jangan gombal?”

Danial terkekeh gemas. Mendapati wajah merona Valerie menunduk seperti berusaha di sembunyikan. Ia kembali mengecup tangan puan cantik itu sebelum melepasnya pada posisi awal. ”Kamu minum, Love?” Tanyanya seraya menuangkan separuh wine ke dalam gobletnya.

Valerie menggeleng. “Ini aja.” Jawabnya dengan tangan kanan menyentuh gelas berisi jus jeruknya.

“Maaf kalo service-nya kurang, ya. Aku baru kali ini ngajakin cewe dinner tapi aku sendiri yang nyiapin.” Danial meraih garpu dan dinner knife di sebelah piring berisi steak miliknya.

“Biasanya?” Valerie bertanya. Ragu sebenarnya, tapi hanya itu yang muncul di kepalanya atas reaksi penjelasan Danial padanya.

“Biasanya di restoran, Sayang.” Danial tersenyum. “Tapi yang ini istimewa banget makanya aku bela-belain siapin sendiri. Biar kamu tau kalo aku seserius itu.” Katanya.

Valerie mengulum senyumnya kemudian berdehem sebelum meraih garpu dan dinner knife-nya juga.

“Aku gak tau kamu sukanya medium well atau well done. Atau bukan keduanya.” Danial terkekeh lagi. “Itu aku bikinin medium well gapapa, kan, Sayang?”

Valerie mengangguk. “Biasanya juga medium well.” Jawabnya. “Makasih, ya.”

Anything. Habis ini mau mampir beliin sesuatu buat Acha sama Kana?”

“Hm?” Valerie menoleh pada Danial di tengah kegiatannya memotong daging steak. “Tapi udah malam banget. Kayanya juga mau hujan.”

Danial menengadah, menatap langit malam yang memang terlihat lebih gelap dan tidak satupun bintang terlihat disana. Lantas Ia mengangguk seraya mencebikkan bibir.

“Acha tadi ngambek, ya? Aku gak enak waktu dia bujukin aku buat ikut sebenernya. Tapi kamu bilang gapapa, jadi aku tenangin pake janji bawain mainan baru besok.”

Valerie mengunyah steak-nya perlahan. Mengangguk sebagai reaksinya atas ucapan Danial. “Gapapa, kok. Dia, tuh emang sengaja manja-manja. Soalnya dulu sama Devan – “

Danial menaikkan satu alisnya. Menunggu kelanjutan dari ucapan Valerie yang sepertinya enggan untuk diteruskan sebab wanitanya terlihat menggeleng pelan.

“Aku gak masalah kalo Acha atau Arkana manja-manja ke aku. Malahan akunya happy, bisa lebih cepat ngambil hati mereka.” Danial melahap suapan steak-nya tanpa melepas sorot dari Valerie.

“Acha udah suka sama kamu. Otomatis.” Kata Valerie. “Gak ada alasan buat dia nolak kamu sementara ini, karena dia masih anggap kamu Papanya.”

“Tapi kamu mau bantu jelasin, kan?”

Valerie mengangguk. “Pasti aku jelasin, karena memang kamu – bukan Papanya.”

Danial menelan makanannya dengan susah payah setelah mendengar penuturan terakhir Valerie padanya. Kenyataannya memang agak menyakitan, tapi begitulah adanya. Tidak bisa diubah oleh siapapun. Ia memaksa senyumnya, meneruskan acara makan malamnya yang sedikit terasa hambar di indera pengecapnya. Matanya lepas dari Valerie dan beralih pada hiruk pikuk kota dengan gemerlap lampu penuh meneranginya.

“Maaf.” Valerie sadar, Danial mungkin sedikit tersinggung dengan ucapannya. Tapi apalagi yang harus Ia katakan? “Aku – terlalu kaku buat ini.”

Danial menoleh, sedetiknya senyum manisnya kembali terbit. “Habisin makanannya, habis ini kita ngobrol di dalam. Disini mulai dingin, nanti kamu sakit.”

***

Valerie menuruti Danial yang memintanya untuk duduk di sisi ranjang sementara pria itu mengambil selimut dari sebuah ruangan yang Ia sendiri tidak tahu dimana. Bukan tanpa alasan, tapi Valerie memang terlihat sedikit menggigil pasca acara makan malamnya berakhir. Bajunya tidak banyak mengekspos bagian tubuh, tapi angin malam memang terasa berkali-kali lipat lebih dingin dari waktu lainnya.

“Dingin banget, ya, Sayang? Akunya gak peka, ya udah biarin kamu kedinginan? Maaf.” Danial segera melebarkan selimut tebal berwarna hijau di tangannya kemudian di balutkan ke tubuh Valerie.

“Gapapa. Kayanya karena emang udah mau hujan jadi rasanya makin dingin.” Valerie mengeratkan selimutnya.

“Aku peluk, boleh? Biar makin hangat.”

Valerie melirik Danial sebentar. Berpikir sebelum memutuskan ya atau tidak dari gerakan kepalanya.

“Peluk aja, aku gak mau ngapa-ngapain. Kamunya kedinginan banget itu kayanya.”

Masih tidak ada reaksi hingga 5 detik sampai kepala Valerie mengangguk pelan. Danial segera mengatur posisi berbaringnya kemudian menuntun wanitanya untuk mengisi ruang kosong di sebelahnya. Valerie turut berbaring dengan gerakan pelan. Salivanya mendadak susah sekali di telan, padahal hanya berpelukan saja.

“Dingin, ya, Sayang. Maaf, ya.” Danial mengusap-usap kepala Valerie seraya menyematkan satu kecupan disana. “Rapatin lagi sini. Biar aku peluk yang kuat. Aku peluk yang rakus sampe kamunya hangat lagi.”

Oh tidak, Danial. Valerie ingin mengumpat rasanya. Pria ini, manis sekali Demi Tuhan.

“Better?”

Valerie mengangguk. Pipi Danial terasa bertumpu di puncak kepalanya.

“Wangi banget kepalanya. Boleh bagi samponya?” Danial menghirup aroma rambut Valerie dalam-dalam. Memang betul wangi sekali.

“Sampo cewe, emang mau pakai?” Valerie balik bertanya seraya menengadah. Menatap pahatan wajah tampan di atas kepalanya dengan jantung berdebar.

“Kenapa? Malah kalo aku dikasih parfum kamu aku mau pakai. Biar kamunya kerasa ada terus di dekat aku.” Jelas Danial. Jarinya mulai bergerak menangkup pipi Valerie kemudian memberi usapan kecil di sana. ”Bosen, ya kalo aku bilang cantik banget?”

Valerie menunduk. Mengulum senyumnya namun kembali menengadah. “Bosen.” Jawabnya singkat.

“Terus ngungkapinnya pake kata apa lagi coba?”

“Gak usah diungkapin lagi.”

“Gak bisa.” Danial menggeleng. “Itu harus aku ucapin ke kamu minimal 50 kali sehari.”

Valerie menaikkan kedua alisnya. “Kebalik, dong. Jadi kamu yang bosan.” Ucapnya.

“Mana mungkin. Sama kaya aku ketemu kamu tiap detik gak akan bosan.”

“Buaya.” Valerie merotasikan bola matanya.

“Buaya kamu.” Telunjuk Danial mencolek pucuk hidung Valerie. Mencengkram pelan rahang tirus itu, kemudian menyatukan hidung keduanya sebentar. Valerie sampai membeku dibuatnya. Danial ini, benar-benar tidak terduga di setiap aksinya.

“Jadi gimana?”

“Apanya?” Valerie memperbaiki posisinya agar menjadi lebih nyaman.

“Kita.” Jawab Danial singkat sebelum melanjutkan ucapan panjangnya. “Aku sama kamu. Hubungannya. Aku harus bilang sekarang atau tanya kamu mau gak jadi pacarku? Gitu?”

Valerie hening. Menjilat bibirnya tanpa menunjukkan tanda-tanda reaksi berarti.

“Biar resmi, gapapa kalo aku harus ngajakin kamu pacaran kaya remaja labil. Asalkan kitanya serius. Deal?” Danial mengapit dagu Valerie agar menengadah. “Lihat aku sini. Deal?” Tanyanya lagi.

Valerie mendadak bisu. Segala jenis pikiran tentang apa yang selanjutnya akan terjadi di hidupnya bercampur menjadi satu di kepala. Yang terbaik bersatu dengan yang terburuk, di racik menjadi satu hingga menghasilkan rasa bimbang di dirinya.

I love you. I told you hundred times. All of you, Val. Semua yang ada di kamu.” Danial berbicara dekat sekali dengannya. Suaranya terdengar sedikit berat meski dalam intonasi pelan. “Apa yang jadi trauma kamu, yang mungkin belum bisa kamu jelasin ke aku, aku mau perbaiki. Apapun bagian tubuh kamu yang sakit, kamu gak akan nunggu lama buat aku sembuhin.”

Valerie meremas sisi baju Danial meski masih bertahan dengan diamnya. Biarkan saja netra yang berbicara dan menjelaskan bahwa Ia tidak sedikitpun melewatkan ucapan cinta dari pria itu padanya.

“Sayang…” Danial menurunkan tangannya dari pipi menuju leher Valerie. “Malam ini, ya. Malam ini udah jadi punyaku, ya. Aku kasih waktu 1 jam buat mikir dari sekarang.”

Valerie menunduk tanpa menepis sentuhan Danial padanya. Tidak ada kebohongan sedikitpun, Danial terlihat bersungguh-sungguh atas segala ucapan dan rayuannya. Bukan hanya kata penenang, sebab Ia sendiri dapat membedakan omong kosong dan kebenaran. Jemarinya memutar-mutar baju Danial di tengah lamunannya. Berpikir sedikit lama, sebab Ia tidak ingin menjadi penoreh luka di tengah perjalanannya bersama pria yang baru saja dikenalnya itu. Tidak mau menjadikan Danial sebagai pemuas rindunya dari sosok Devan yang sudah lama pergi. Valerie menggeleng, Danial bisa melihatnya.

“Hei, kenapa geleng-geleng kepalanya? Aku ditolak?” Tanya Danial. Bicaranya lembut sekali, seperti permen kapas yang juga terasa manis.

“Danial…”

Yes, pretty. Be mine, hm?”

Hening lagi, namun tak selama sebelumnya. Valerie menenggak lagi salivanya sebelum menoleh pada Danial. “Bisa kita jalanin pelan-pelan?” Tanyanya.

Danial tersenyum cerah. Anggukan cepat dikepalanya menjadi kata penghantar dari suara yang tak kuasa Ia perdengarkan. Kedua tangannya kembali menangkup pipi Valerie. Dadanya berdebar, kencang sekali.

“Boleh aku minta sesuatu?” Valerie bertanya sembari tangannya mencengkram bahu Danial.

“Anything, Sayang. Semuanya buat kamu.” Danial sedikit terengah dalam ucapannya. Sebab euforianya terlalu hebat pada wanita cantik itu.

“Jangan kasar sama aku.” Suara Valerie terdengar bergetar. “Sekalipun aku salah – aku minta tolong kamu peringatin aku pakai kata yang baik.” Jelasnya sedikit terbata.

Danial mengerutkan dahinya namun segera menggeleng. “Gak akan. Gak akan pernah. Aku berani sumpah, gak akan pernah kasar. Siapa yang berani – “

Valerie menginterupsi dengan gelengan. “Makasih.” Kata itu yang selanjutnya terdengar. “Aku percaya kamu gak akan – “ Ucapnya digantung. Ada sesak yang seolah-olah memblokade otaknya untuk meneruskan.

“Pelan-pelan, Sayang. Gak usah diceritain kalo belum kuat.”

“Maaf.” Valerie menunduk, namun Danial kembali menegakkan kepalanya.

“Udah gak dingin lagi?” Danial mencoba mengalihkan topiknya. Menarik selimut Valerie menutupi lehernya tanpa melepas pelukan.

“Nggak. Makasih, Danial.” Valerie tersenyum simpul. “Kita jalanin pelan-pelan, kan?” Tanyanya.

Danial mengangguk. “Apapun yang bikin kamu nyaman.”

Keduanya menautkan netra tanpa suara. Menyelami obsidian masing-masing dengan isi kepala yang berbeda. Perlahan Danial mendekatkan wajahnya pada Valerie hingga deru nafasnya semakin jelas terdengar.

You can kiss me, if you want.” Valerie berbisik, bahkan jika niat Danial tak terarah pada hal itu sebelumnya.

Yes, pretty. I wanna kiss you, so much.

Valerie mengangguk. Membiarkan Danial meraup bibirnya dengan lembut meski deru nafasnya sedikit tak teratur. Sedikit kaku, namun Valerie berbalas perlahan pagutannya, mengundang senyum di sela ciuman pria itu dengannya. Lidah keduanya beradu, seperti berperang di dalam sana.

Danial semakin menarik kuat tengkuk Valerie. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri menikmati basah dan dalamnya ciuman mereka. Rasanya dahsyat, tidak ada yang ingin menyudahi. Manis dan pahit menyatu di pengecap keduanya, menghantarkan hawa panas hingga tubuh besar itu perlahan naik ke atas tubuh kekasihnya.

Pinggang Valerie terasa di remas sensual oleh Danial. Menelusup ke balik bajunya hingga bersentuhan langsung dengan kulit polos itu.

“Danial…” Valerie melepas paksa ciumannya.

“Maaf.” Danial menggeleng. Berpindah kembali ke sisi Valerie lalu mengusap kasar wajahnya. “Maaf, aku gak ada maksud.”

Valerie terengah. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Maaf.” Danial meraih tangan Valerie. Dikecup singkat kemudian diletakkan di atas dahinya. “Aku antar pulang sekarang, ya.”

Valerie mengangguk setuju. Benar, pulang adalah jalan yang paling benar daripada hal lain terjadi disini. Dilihatnya Danial bangkit dari ranjang menuju lemari seperti ingin mengambil sesuatu. Jantungnya masih tak normal, meski berusaha keras untuk di netralkan. Ia yakin, Danial pun sama sepertinya.

“Pakai jaket aku biar gak dingin. Nanti aku balik dari rumah kamu gak lamaan gapapa, kan? Aku ada janji bacain dongeng sama Acha Arkana.” Ucap Danial seraya menyerahkan sebuah jaket tebal berwarna coklat pada Valerie.

Wanita itu mengangguk. Menerima jaket dari Danial kemudian dipasangkan sendiri.

Danial menyoroti setiap pergerakan Valerie. Merapal kata cinta dalam hati meski ada sedikit penyesalan akibat gairahnya yang tiba-tiba saja merajai pikirannya.

“Jalannya dekat sama aku, biar bisa aku peluk dari samping.”

--

--