posesif — best mistake

cw // blood, injury, kissing

piu
7 min readJun 15, 2024

Akibat dari parahnya cedera yang Nata alami, ia tetap harus mendapatkan asupan gizi dengan makan yang banyak dan teratur karena cairan infus saja tidak cukup baginya. Kini waktu hampir menunjukkan pukul 10 pagi dan Nata belum memakan apapun sedari tadi. Meski sudah keroncongan, pasien itu enggan mengisi perutnya jika tidak disuapi oleh Kalen—bahkan para suster pun telah berusaha untuk menyuapi gadis band itu, namun makanannya selalu berakhir berceceran di lantai dan terbuang sia-sia karena Nata memukul nampannya hingga terjatuh. Para suster pun menyerah dan membiarkan Nata menunggu Kalen sembari menahan lapar, toh, salah sendiri susah diurus.

Sudah lewat setengah jam setelah Nata menghubungi Kalen, dan wanita itu tak kunjung datang. Rasa kantuk pun kian menyerang, akhirnya Nata kembali tertidur dengan perut kosong.

Tak lama setelah itu, terdengar suara ketukan pintu dari arah luar dengan lembut—takut menganggu pasien yang berada di dalam. Perlahan orang itu membuka pintunya dengan hati-hati, kemudian ia mendapati Nata yang sudah terlelap sembari memegangi perut. Perasaan bersalah pun mulai menggerogoti Kalen karena telah membiarkan Nata menahan lapar sampai ketiduran.

"Sayang, bangun, makan dulu." Kalen menepuk-nepuk pipi Nata beberapa kali hingga gadis itu menggeliat tak nyaman. "Bangun," ucapnya lagi. Beberapa saat kemudian, Nata pun mengerjapkan matanya sambil merengek, "Mommy~"

Kalen tersenyum, kemudian ia mengecup kening Nata dengan lembut. "Maaf aku lama, tadi macet banget di jalannya," jujur Kalen. Nata mengangguk dan menarik pinggang Kalen untuk dipeluk. Kalen pun mengelus-elus kepala kekasihnya yang terbalut perban itu dengan lembut.

"Aku tau, lho, kamu sering buang-buang makanan dari suster." Nata terdiam mendengar pernyataan tersebut, perlahan ia mendongakan kepalanya dengan penuh rasa takut—takut Kalen akan marah padanya. Dan benar saja, wanita itu menatap Nata dengan penuh intimidasi hingga suasana di ruangan pun berubah jadi mencekam. "Kalau gak suka, diemin, bukan malah dibuang. Kasian susternya harus kerja dua kali," tegur Kalen pada bayinya.

"Maaf..." gumam Nata sambil menunduk.

"Minta maaf sama susternya."

Mendengar suara Kalen yang setengah membentak, membuat Nata berkaca-kaca. Entah mengapa gadis itu menjadi sangat sensitif semanjak siuman. "Jangan dimarahin..." rengeknya lagi.

"Tapi janji gak bakal gitu lagi," tegas Kalen.

Nata menggeleng dengan cepat. "Janji, mommy, gak akan gitu lagi."

Kalen mengambil mangkuk berisi sup yang telah disediakan dari atas nakas. “Sekarang makan dulu, mommy yang suapin.” Ia mengarahkan sendok berisi kuah sup dan sedikit nasi untuk suapan pertama Nata. Kekasihnya pun membuka mulutnya dan segera menyantap sup tersebut dengan lahap.

Dengan mudahnya Nata makan sampai habis tak tersisa. Hal itu membuat Kalen senang; meski nakal, kekasihnya tidak pernah rewel soal makanan — kecuali tentang siapa yang menyuapinya.

“Kamu harus cepet sembuh, kasian fans kamu pada khawatir.” Kalen menyimpan kembali mangkuk yang telah kosong di tempat semula.

Nata menatap sendu ke arah kekasihnya. “Aku selalu mikir, gimana kalau malam itu gak selamat? Apa kamu bakal jatuh cinta sama orang lain? Haha,” Ia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum pilu. “Ngebayanginnya juga aku gak sanggup,” lanjutnya.

“Kamu ngomong ap—”

“Permisi, sudah waktunya ganti perban.” Ucapan suster itu memotong kalimat Kalen. “E-eh maaf, saya ganggu ya?” Ia bertanya saat merasakan atmosfer yang berbeda di dalam ruangan tersebut.

“Gak ganggu, kok, sus. Silakan masuk,” sambut Kalen dengan sopan; mempersilakan suster muda itu untuk masuk ke dalam, diikuti oleh satu suster lagi di belakangnya.

“Permisi sebentar, ya. Perban Nata harus diganti dulu biar gak infeksi.” Suster itu mulai menggunting balutan perban Nata untuk mempermudah pekerjaannya, sementara suster yang satunya lagi mempersiapkan alat-alat medis lainnya.

“Tadi mau bilang apa, Nata?” Kalen menepuk bahu Nata sembari mengangkat kedua alisnya.

Nata yang mengerti pun langsung berdeham dan mulai memanggil suster dengan terbata-bata, “S-suster, saya minta maaf udah buang-buang makanan.” Nata melirik ke arah Kalen yang sedang tersenyum kepadanya.

“Gapapa, Nata, saya juga kalau jadi kamu pasti mau disuapin sama Mommy Kalen doang.” Suster itu terkekeh di sela pekerjaannya. Sementara Kalen terkejut sekaligus malu saat panggilan dari Nata diketahui orang lain, ia pun sedikit menundukkan kepala sambil menggigit bibir bawahnya.

“Nata ini kalau lagi sakit bakal manja banget ya, Bu Kalen?” ucap sang suster lagi. Kalen pun terkekeh sejenak. “Gak sakit juga manja anak ini mah,” jawabnya; membuat wajah Nata memerah karena malu.

“Hahaha, keliatan.” Suster itu tertawa sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali.

“Ngomong-ngomong, Bu Kalen yakin mau tetap di sini?” tanya suster yang satunya, “Nanti kelihatan darahnya, lho,” lanjutnya.

Kalen menggeleng. “Saya mau nemenin Nata,” ucapnya.

“Anak muda,” ucap suster yang tadi tertawa, dan sekarang masih tertawa.

Tanpa berlama-lama, kedua suster itu pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Nata menelusupkan wajahnya ke perut Kalen sembari meremas pinggang wanita itu sedikit kencang—menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Rasa perih semakin menjadi-jadi saat suster menarik kain kasa yang telah menyatu dengan kulitnya karena rekatan darah dan obat merah, Nata pun sedikit berteriak dibuatnya.

“Tahan, sayang.” Kalen mengelus lembut kepala Nata untuk sedikit menenangkan gadis itu. Dengan cepat sang suster langsung meneteskan suatu cairan agar kain kasa tersebut tak lagi merekat dengan kulit sang pasien, namun hal itu kembali mengundang teriakan dari mulut Nata karena rasanya begitu menyakitkan.

Kalen melirik sedikit ke arah kaki Nata yang sedang diobati, tak sampai 5 menit, ia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain, kemudian memejamkan matanya dengan erat.

Mual, itu yang Kalen rasakan.

Bagaimana tidak? Ia melihat banyak tusukan besi yang menancap di kaki Nata, besi tersebut pernah dokter singgung sebelumnya, yaitu pen. Selain itu, samar-samar Kalen melihat benda putih yang ia yakini sebagai tulang — bukti dari parahnya luka yang Nata derita. Hanya dengan mengingatnya kembali membuat kaki Kalen melemas, keringatnya pun kian bercucuran dengan deras, namun ia berusaha mati-matian untuk tetap berdiri tegak dan membiarkan Nata menyalurkan rasa sakit pada tubuhnya.

“Bu Kalen, kalau ngerasa mual atau pusing boleh langsung ke luar aja.” Suster itu menatap Kalen dengan khawatir. “Nanti kami kabari kalau perban Nata sudah diganti,” lanjutnya.

Namun lagi-lagi Kalen menolak dengan mengatakan “gapapa, sus, saya mau nemenin Nata di sini” dengan suara lemasnya.

Kedua suster itu pun tersenyum dan cepat-cepat menyelesaikan pergantian perbannya. Setelah selesai di kaki, suster lanjut mengganti perban tangan, perut sampai dada, hingga kepala Nata. Beruntungnya rangkaian selanjutnya tidak begitu menguras tenaga karena tidak sesakit perban di kaki, sehingga proses pergantian perban pun berjalan dengan lancar.

Setelah pekerjaannya selesai, kedua suster itu langsung berpamitan dan meninggalkan ruangan Nata.

Mata Kalen beralih pada wajah pucat penuh peluh kekasihnya yang tak kunjung terlihat membaik. Napas gadis itu masih terdengar terngah-engah setelah beberapa lama berteriak menahan rasa sakit. Tak terasa air mata Kalen pun jatuh menetes ke atas kepala Nata.

“Maaf,” Wanita itu buru-buru menghapus air matanya.

Nata mendongak, kemudian ia mengusap tangan Kalen dengan lembut sebelum ia menarik tubuh kekasihnya itu ke dalam dekapannya. Kalen pun tak dapat lagi membendung emosinya, ia menangis di pelukan Nata dengan tersedu-sedu. Yang lebih muda ikut terhanyut, matanya terpejam—menikmati harum rambut Kalen yang menggelitik indra penciumannya.

“Dua hal yang paling aku takutin di dunia ini; takut kehilangan kamu dan takut ninggalin kamu.” Nata mengelus bahu Kalen yang sedikit gemetar. “Aku bersyukur masih diberi kesempatan buat peluk kamu sekarang,” lanjutnya sambil tersenyum.

“I would kill myself if I lost you that night.” Kalen meremas bahu Nata sambil terus menangis. “Itu… jawaban yang tadi,” ucapnya.

Nata tertegun mendengar jawaban mengejutkan yang terlontar dari mulut kekasihnya. “Sayang…” gumamnya.

“I won’t fall in love with anyone else, Nata.” Kalen menatap lekat mata gadis yang lebih muda darinya itu dengan mata penuh kesedihan. “So you have to promise never to get hurt and end up in this place again.”

“Hmm,” Nata mengangguk sambil kembali merengkuh tubuh kekasihnya. “Ini yang terakhir,” janjinya.

Mereka pun berpelukan dalam keheningan, terasa damai dan hangat. Hubungan yang mereka bangun memang belum begitu lama, namun keduanya selalu berhasil membuat jatuh cinta berkali-kali. Bukan hanya rasa ingin saling memiliki, namun rasa ingin melindungi satu sama lain — Kalen yang ingin melindungi bayi nakalnya dan Nata yang ingin melindungi wanitanya. Bukankah hal itu sudah cukup menjadi alasan seseorang bertahan?

Setelah puas menangis, Kalen pun melepaskan pelukannya dan beranjak dari tubuh Nata. “Aku lupa meeting-nya sebentar lagi,” ucap Kalen sembari merapikan pakaiannya. Nata baru menyadari bahwa sedari tadi Kalen memang memakai pakaian formal.

“Sama Zeta?” tanya Nata, gadis itu menampilkan wajah tak suka.

Kalen terdiam sejenak sebelum menjawab, “Iyalah, bos aku kan Zeta.”

“Oke, pergi aja. Aku juga mau ditemenin Manda di sini, dia kan manajer aku.” Nata mengedikkan bahunya dan kembali mengambil posisi tidur.

“Kamu tau aku gak suka Manda,” tegas Kalen.

“Kamu juga tau aku gak suka Zeta,” Nata membalas.

“Winata!”

“Kalena!”

Kalen memberikan tatapan tajam pada bayinya itu, begitu pula sebaliknya. Hubungan mereka memang selalu mesra seperti pasangan yang baru menjalin kisah cinta, namun berubah drastis ketika ada nama Zeta dan Manda di sana.

“Jangan ngajak berantem, aku sama Zeta cuma kerja.” Kalen mengecup kening Nata sebelum ia melangkahkan kakinya. Namun langkahnya terhenti karena Nata menahan tangannya.

“Siapa yang ngebolehin?” ucap yang lebih muda.

“Sayang, ayolah…” Kalen menunjukkan wajah memelasnya pada kekasihnya itu. “Aku harus ngapain dulu biar dibolehin?” Ia kembali duduk di ranjang Nata sembari mengelus pipi tembab gadis itu.

“Cium,” jawab Nata.

Kalen berdecak malas, namun ia pun menurut dan langsung menempelkan bibir keduanya.

“Mwah~” canda Kalen setelah melepaskan ciuman mereka. Tentu saja kekasihnya tak tinggal diam, ia menarik tengkuk Kalen dan kembali menempelkan bibir keduanya. Bukan hanya menempel, Nata juga membubuhkan lumatan dan gigitan-gigitan kecil di sela ciumannya dengan kasar hingga membuat Kalen kewalahan. Yang lebih tua pun melepaskan ciumannya dengan paksa dan mengambil napas sebanyak mungkin karena sesak. Berbeda dengan Nata, saat itu juga ia langsung menghisap leher Kalen dan hampir membuat Kalen terpekik.

“N-nata, aku mau kerja… sshh~ jangan bikin tanda.”

Larangan adalah perintah, tentu saja Nata meninggalkan banyak bekas kemerahan di sana, karena sedari awal tujuannya memanglah itu.

“Biar Zeta tau kamu punya aku,” ucapnya dilengkapi dengan seringai tengil. “Sekarang udah boleh, selamat beker — AH!”

Belum selesai Nata berbicara, ia dibuat terpekik oleh Kalen — wanita itu membalasnya ; menghisap leher Nata dan meninggalkan satu bekas merah bahkan keunguan di sana.

“Biar Manda tau kamu punya aku,” ucap Kalen sambil mengedipkan sebelah matanya.

Kalen pun benar-benar melangkahkan kakinya dan meninggalkan Nata yang masih terdiam di sana.

“Haha,” Nata tertawa sambil mengelus lehernya yang masih terasa perih. “Mommy nakal.”

--

--