Membaca Hati Ayam Raga

Arnold Sailang
13 min readMay 18, 2024

--

Sebuah Cerita Pendek

Image source: ttu.inews.id

Lango menghampiri Raga. Langkahnya sedikit terburu dan air mukanya menyiratkan ketidaksenangan.

“Raga! Sebentar malam kita pi curi kerbau Ama Bela!” sangat bernafsu suaranya, tapi dengan setengah berbisik. Raga yang tengah berjongkok dan terengah-engah mencongkel ban motor terlonjak kaget dan sontak berdiri. Alis dan dahinya mengkerut.

“Eh, Lango, kenapa lagi?” Raga bertanya sembari menyeka keringat di dahinya yang menjadi belang kehitaman oleh sisa-sisa oli di telapak tangannya.

“Ya, kalau dia tidak mau saya pake cara siang, tidak ada cara lain selain cara malam,” Lango menyeringai.

“Tapi saya su tidak mo curi lagi. Saya su masuk gereja.” Raga mendelik.

“Ah, kayak yang benar saja. Kau hanya urus bobol pintu kandang saja. Saya yang eksekusi.”

“Aeh Lango ehh… benar, saya tidak mo terlibat lagi. Saya su mengaku dosa. Su terima tubuh Kristus. Sekarang saya mo fokus tambal ban saja.” Raga berusaha menampik.

“Kalau begitu saya akan kasih tau orang-orang kalau kau yang curi babi Ina Lidda waktu itu.” Lango memelototkan bola matanya ke lelaki pemilik bengkel di hadapannya itu.

“Eh, jang begitu to!” Raga memohon.

***

Tak ada yang lebih merendahkan martabat seorang lelaki Sumba daripada tidak memiliki seekor hewan pun. Jika kau tak punya babi, kuda, kerbau, atau sapi, maka tak ada pilihan lain selain kau harus berusaha untuk membuatnya ada. Karena hanya dengan binatang-binatang tersebut kau dapat mengadakan upacara atau terlibat dalam upacara adat apapun. Jika kau tak punya hewan, kau tak bisa menamai anakmu yang baru lahir. Tak punya hewan, tak dapat mendirikan rumah. Tak punya hewan, kau tak bisa mempersunting seorang gadis. Tak punya hewan, kau belum bisa menguburkan sanakmu yang mati.

Situasi ini tengah dialami Lango. Ia sudah tak punya hewan piaraan lagi. Setahun yang lalu ayahnya mati. Di hari patane1, ia menumbangkan sepuluh ekor kerbau di pelataran, empat dari kandangnya sendiri dan enam ekor yang dibawa saudara dan kerabatnya. Lebih dari seribu manusia berpadatan memenuhi pelataran kampung saat itu. Dan mereka semua harus diberi makan sebelum kembali ke tempatnya masing-masing sembari juga menggotong potongan-potongan daging kerbau merah untuk dibawa pulang.

Kini setahun telah berlalu. Dan tanpa ia duga, seorang kerabatnya yang saat itu membawa kerbau di patane ayahnya juga mati dua hari lalu. Lango baru dikasih kabar semalam. Ia diharuskan hadir di acara patane yang akan digelar dua hari lagi. Dan kini Lango harus melakukan hal yang sama. Ia harus menggiring satu ekor kerbau jantan bertanduk sepanjang lengan manusia dewasa ke acara patane kerabatnya itu. Ukuran tanduk kerbau harus sama persis atau bahkan harus lebih. Itu sudah menjadi adat. Kalau tidak, harga dirilah taruhannya. Di Sumba, nilai seekor kerbau dilihat dari seberapa panjang tanduknya. Semakin menjulang tanduk kerbaumu, semakin jangkung pula martabatmu.

Semalam suntuk Lango tak bisa memejamkan matanya. Kandang kerbau di belakang rumahnya telah melompong sejak kematian ayahnya itu. Cuma tahi-tahi kerbau yang mengering dan jamur-jamur liar beracun yang menjejali kandangnya kini. Tak ada cara lain selain berhutang lagi, pikir Lango semalam suntuk. Bagaimanapun, hutang-hutang kematian ayahnya tersebut harus tertebus. Ia menyadari sepenuhnya tuntutan adat bahwa jika orang tuamu mati, kau harus membantai kerbau di hari penguburannya. Jika kau tak punya, kau harus mengundang kerabatmu untuk membawakanmu kerbau di hari patane. Dan tentu saja itu sudah menjadi hutang yang harus kau tebus kelak saat kerabatmu juga mengalami duka. Tidak hanya sampai di situ. Jika orang tuamu punya hutang selama masa hidupnya, itu menjadi tanggung jawabmu pula. Bahkan jika kau sendiri mati dan belum kau tebus hutang-hutang itu, maka anakmulah yang harus membayarnya kelak. Begitu seterusnya. Dan begitulah adat.

Setelah berkontemplasi semalaman, pagi tadi Lango akhirnya berkeputusan untuk berangkat ke kampung sebelah. Kapan hari ia mendengar kalau Ama Bela punya kerbau jantan dengan ukuran tanduk setengah depa. Ia bergegas mengenakan kain adat dan menyelipkan sebatang katopo2 di pinggangnya. Ia akan menjadikan katopo itu sebagai pengantar permintaannya. Jika meminta sesuatu dengan cara adat, tentu tidak bisa muncul hanya dengan tangan kosong. Paling tidak harus menyerahkan katopo yang menyatakan ikatan adat dan simbol kesungguhan untuk menebus hutang tersebut kelak.

“Minta maaf, Lango. Kami tidak sanggup penuhi ko pu permintaan. Kerbau satu-satunya ini kami piara untuk Bili. Sebentar lagi dia lulus SMA dan mau ikut tes polisi. Bili bilang harus siap tujuh puluh juta. Kita harus sogok biar lancar masuknya. Bahkan harga ini kerbau pun belum cukup untuk itu,” Ama Bela berkata dengan nada rendah sembari menyodorkan katopo di hadapannya kembali ke arah Lango.

Meski Lango merajuk berulang kali, Ama Bela bergeming. Lango bahkan menganjurkan lima petak sawah peninggalan ayahnya yang tersisa sebagai jaminan. Tapi Ama Bela sudah sangat terobsesi dengan cita-cita anaknya itu. Pun tak ada harapan untuk mengolah sawah akhir-akhir ini. Kemarau panjang telah menjadikan sawah-sawah ‘tadah hujan’ hampir di seluruh penjuru Sumba kerontang menjelma bongkahan yang terbelah menganga di sana-sini. Menjadi petani turun-temurun telah membuatnya muak. Tak menghasilkan apa-apa, selain padi atau jagung yang kadang digerogoti hama belalang dan tikus. Atau musim hujan yang sudah tak menentu memaksa mereka menjadikan tanaman yang kerdil dan tersiksa sebagai lahapan ternak mereka sendiri. Justru Ama Bela akan merasa sangat bangga dan disegani jika ia bisa membuat anaknya Bili tembus menjadi polisi pertama dari desa itu ketimbang memikirkan tanah yang tak menjanjikan apa-apa. Di desa tersebut tak satupun yang pernah lulus menjadi polisi. Kebanyakan pemuda yang ikut tes harus menggantungkan hasrat mereka karena kendala “uang masuk”. Pernah suatu saat seorang pemuda yang baru lulus SMA ikut tes, namun ia harus menguburkan niatnya karena ia dinyatakan gugur pada tahap cek kesehatan. Ia terkena amandel katanya. Di kemudian hari, tersebar dari mulut ke mulut kalau uang sogokan kurang. Padahal orang tua anak tersebut sudah menjual setengah hektar tanah miliknya untuk itu.

***

Siapa yang tak tahu Raga di seluruh penjuru desa? Mantan kepala perampok yang katanya kini sudah bertobat. Khotbah Pastur Silvester pada saat misa pemakaman tetangganya dua bulan lalu rupanya telah mengubahnya menjadi makhluk beriman.

“Tuhan itu mahakasih, Ina-Ama3! Bahkan Tuhan justru datang untuk menebus dosa manusia. Entah itu dosa besar atau kecil, tak peduli kita membunuh atau sekadar mencuri buah di kebun orang, Tuhan tetap mengijinkan kita hidup untuk menemukan jalan pertobatan. Oleh karenanya, bertobatlah sebelum hari penghakiman itu datang!” Dengan penuh wibawa, Pastur Silvester orang Flores itu berapi-api. Dari balik kubur batu di sudut kampung, Raga terkesiap. Baru kali itu ia melihat pastur berkhotbah secara langsung. Dan baru kali itu pula ia melihat apa yang dilakukan orang beragama. Mendengar khotbah sang pastur dan melihat orang-orang percaya itu dalam khusuk dan hikmat mengikuti seluruh liturgi pemakaman, Raga merasa dirinya sangat ciut dan tidak berarti, tidak layak dan penuh dosa.

Ia sebenarnya tak mengerti arti dosa. Dalam istiadatnya sebagai orang yang memegang kepercayaan leluhurnya — Marapu4 — ia cuma tahu apa yang salah dan apa yang benar. Ia tahu kalau mencuri itu kesalahan, tapi ia selalu merasa bahwa ia melakukannya dengan cara yang benar. Ia mendapat pengetahuan absurd itu dari kakeknya, yang katanya, juga adalah pemimpin perampok paling disegani di masanya. Kata kakeknya, jika mencuri, janganlah mencuri barang tentanggamu. Pergilah ke tempat yang jauh di sudut pulau yang lain, di mana tak satu pun orang mengenalmu. Dan ingat, curilah sesuatu yang besar dan berharga yang membuat kau dipandang. Jangan mencuri hal yang remeh. Curilah kerbau atau kuda dari kandang-kandang para Maramba5. Jangan sekali-kali kau mengambil sesuatu dari mereka yang berkekurangan. Dan selalu ingat satu hal ini, sebelum berangkat mencuri, lakukan ritual untuk meminta restu kepada Marapu. Bunuhlah seekor ayam dan bacalah hatinya. Dari situ kau bisa tahu apakah kau akan berhasil dalam aksimu atau tidak.

Petuah kakeknya itu selalu dipegang rapi oleh Raga. Namun ia tak punya pengetahuan membaca hati ayam mulanya. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh para tetua adat. Dan kakeknya — setelah beranjak renta dan berhenti menjadi perampok tentunya, ia kemudian menjadi salah satu tua adat yang dihormati di desa itu. Setiap kali ada upacara, entah itu pembangunan rumah atau upacara syukur atas panen, kakeknya selalu menjadi seseorang yang mendalangi upacara-upacara tersebut. Biasanya, setelah mendaraskan mantra-mantra kepada leluhur, hal berikut yang dilakukan adalah membunuh binatang kurban berupa babi atau ayam. Sebelum dimasak, direnggutlah hati, usus, dan darah binatang tersebut, diserahkan ke tetua adat untuk dibaca. Bukan membaca huruf atau angka. Tak ada tulisan di situ. Hanyalah tanda-tanda yang muncul yang diinterpretasikan maknanya. Dipercaya bahwa organ-organ dalam kedua binatang itu memberi gambaran akan nasib baik atau buruk di masa depan. Dan biasanya hal tersebut selalu benar. Semisal, saat mau mendirikan rumah, jika pembacaan hati binatang tersebut menyiratkan gejala yang buruk, rumah tersebut harus diubah posisinya atau digeser tempatnya, bahkan proses pembangunan dapat ditunda. Karena jika tak menaati petunjuk leluhur itu, rumah dan penghuninya dapat mengalami malapetaka sewaktu-waktu.

Begitupun saat hendak merencanakan perampokan. Sebelum memutuskan untuk beraksi bersama kelompok yang dipimpinnya, Raga selalu melakukan ritual tersebut. Setelah berkali-kali menyaksikan kakeknya melakukan pembacaan hati ayam dan babi di berbagai upacara, ia kemudian mulai memahami seluk-beluk dan makna di balik segala tanda yang muncul dari isi perut binatang-binatang tersebut. Kata kakeknya, hal tersebut tidak bisa diajarkan. Cukup dengan melihat dan mengerti. Dan jika kau adalah orang yang tepat untuk melakukan hal itu, akan selalu ada petunjuk dari leluhur. Entah itu melalui mimpi atau gejala-gejala yang yang diperlihatkan dalam keseharianmu. Hingga suatu malam, Raga bermimpi melihat seonggok bayangan terbungkus kain berwarna hitam di atas kubur batu di pelataran. Bayangan tersebut tak bergerak. Dan saat Raga mendekatinya, bayangan itu lenyap seketika. Keesokan paginya, Raga menemukan sebiji batu seukuran kelereng berwarna putih dan bertekstur halus di atas kubur batu moyangnya itu. Raga kemudian memberitahu kakeknya mengenai hal itu. Dan mulai saat itu, kakeknya dengan yakin menyatakan bahwa Raga telah siap untuk menggantikan dirinya.

Begitulah dalam rencana-rencana perampokan, Raga dan kelompoknya selalu melakukan ritual tersebut. Jika hati ayam menampakkan kejanggalan, rencana tersebut sudah pasti dibatalkan. Jika bersahabat, mereka kemudian akan berangkat jauh ke Sumba bagian timur, menunggang beberapa sepeda motor. Aksi perampokan selalu dilakukan pada saat bulan mati, saat seluruh wilayah dilanda gulita. Beberapa kilometer sebelum mencapai wilayah tujuan perampokan, mereka akan berhenti mengatur siasat. Raga akan mengutus salah satu atau dua orang terlebih dahulu untuk memetakan situasi. Biasanya butuh waktu satu atau dua hari untuk urusan itu. Mereka akan mempelajari hal-hal di seputaran kandang ternak tempat tujuan perampokan. Mulai dari jumlah ternak, jumlah penjaganya, perkiraan jumlah rumah dan warga sekitar, kapan waktu hewan-hewan itu digiring ke kandang pada sore hari, berapa kira-kira waktu yang diperlukan untuk melancarkan aksi, jalur-jalur yang akan dilewati untuk menghalau ternak-ternak tersebut keluar, strategi untuk membungkam penjaga ternak, bahkan skenario-skenario untuk melumpuhkan jika terjadi perlawanan. Makanya mereka selalu menyelipkan katopo dan beberapa butir batu pilihan dari sungai di balik kain yang terlilit di pinggang mereka. Juga beberapa lembing kayu yang tajam dan siap dilayangkan jika warga kampung mengancam nyawa mereka.

Jika keadaan sudah memungkinkan, di tengah malam buta, setelah memastikan penjaga ternak terlelap, mereka kemudian akan berjalan kaki menuju kandang ternak itu. Senter-senter berdaya baterai kadang dinyalakan redup untuk menuntun jalan mereka membelah embun menyibak ilalang, menyusuri ngarai, padang sabana, dan bukit-bukit kapur. Di Sumba bagian timur, jarak antara kampung yang satu dengan yang lainnya dapat mencapai puluhan kilometer. Dan kandang-kandang hewan milik para Maramba dibuat di luar kampung di padang sabana terbuka yang berumput banyak. Cuma beberapa penjaga atau orang suruhan yang mengawal hewan dan kandang-kandang tersebut. Hal tersebut memberi kelanggengan terhadap kelompok-kelompok perampok untuk berkeliaran dan melancarkan aksinya sewaktu-waktu. Hal itu pula yang menjadi keuntungan bagi Raga dan anak buahnya.

Ketika mendekati kandang, sesuai dengan peran yang telah dibagikan, mereka kemudian akan melancarkan aksinya. Dua atau tiga orang akan langsung beraksi membobol pintu kandang. Yang lain mengepung gubuk penjaga. Sisanya akan berjaga-jaga di beberapa sudut kandang untuk memantau pergerakan dari arah luar. Jika terjadi perlawanan, Raga dan yang lain akan mengancam untuk membakar gubuk penjagaan yang terbuat dari bambu beratap ilalang. Dan apabila penjaga kandang mengunjuk gigi, Raga dan anak buahnya akan mendesingkan batu ke arah mereka sembari menghindar ke balik kandang menggiring kuda atau kerbau tak berdosa itu.

Begitulah, perampokan yang dilakukan Raga selalu berhasil oleh karena rencana yang matang dan oleh tuntunan pembacaan hati ayam. Telah belasan kali ia dan anak buahnya melakukan perampokan dan selalu berhasil. Terjadi beberapa perlawanan dari penjaga dan warga, tapi mereka selalu dapat membungkam mereka. Hewan-hewan itu kemudian mereka bagi. Raga tentu saja mendapat bagian lebih. Namun biasanya ternak-ternak tersebut kemudian menjadi tumbal di acara-acara kematian atau acara adat lainnya. Sebenarnya bagi kebanyakan di antara mereka, tujuan utama mereka menjadi perampok adalah untuk menghindar dari jeratan hutang. Tak sanggup mereka membayar hutang adat karena tak punya hewan piaraan sendiri.

***

“Jadi bagaimana?” Lango mendesak Raga.

Raga tersudut. Meski ia sudah mengakui dosanya tersebut di depan Pastur Silvester saat dibabtis menjadi Katolik sebulan yang lalu, ia merasa bahwa mencuri babi si janda tua Ina Lidda adalah kesalahannya yang paling fatal, karena hal tersebut tak sejalan dengan petuah kakeknya. Ia telah mencuri babi tetangganya. Dan itu adalah kemaluan paling biadab jika warga desa sampai mengetahui hal tersebut. Ia tak tahu harus meletakkan wajahnya di mana jika aibnya itu mengudara. Apalagi jika kakeknya tahu. Sudah pasti ia akan murka dan mengutuknya habis.

Tak tahu setan apa yang merasuknya di malam itu. Beberapa saat sebelum menemukan dirinya di bawah kolong rumah Ina Lidda, ia dan Lango serta beberapa pemuda kampung lainnya sedang menenggak peci6 di kios Ina Lali. Satu jerigen seukuran lima liter telah mereka tumpaskan. Mereka baru saja hendak membuka tutupan jerigen yang kedua saat salah satu dari mereka tiba-tiba berceletuk, “Tidak ada penolak tidak enak eh!” Mereka semua sadar bahwa penolak yang dimaksud adalah daging ayam atau daging babi untuk melengkapi pesta miras mereka. Dan mungkin karena isi batok kepalanya telah diaduk oleh minuman keras itu, Raga tiba-tiba menyambut perkataan itu tanpa basa-basi, “Siapa yang punya babi ukuran sedang di kampung ini?” Semua menjawab “Ina Lidda!” Raga tiba-tiba beranjak sambil menunjuk dua orang di antara mereka, “Kalian dua ikut saya!” Sempoyongan, mereka kemudian berjalan ke arah rumah Ina Lidda yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari kios Ina Lali. Di perjalanan mereka menyabet tali-temali dari pepohonan demi meringkus dan mengikat mulut babi itu agar bungkam. Ina Lidda yang sudah terlelap di malam itu tak menyadari binatang piaraannya lenyap. Besok paginya, ia berteriak histeris bersumpah serapah di seluruh penjuru kampung mengutuk pencuri babinya. Raga dan pasukannya teler dan terkapar bermandi muntah tak sadarkan diri di balai bambu rumah Ina Lali.

Kini Raga tak punya pilihan selain tunduk terhadap ancaman Lango. Ia kemudian membatin memohon ampun terhadap Tuhan Yesus sebelum mengiyakan rencana itu. Tapi ia mengajukan satu syarat kepada Lango agar malam nanti mereka harus mengadakan pembacaan hati ayam terlebih dahulu. Lango setuju.

***

Dengan wajah serius Raga mengamati dengan seksama hati, usus, dan darah ayam yang tergeletak di atas nampan di hadapannya.

“Kau tampak khawatir,” Melihat wajah Raga, Lango prihatin.

“Darah dan hati aman. Tapi ini terlihat aneh,” kata Raga dengan raut wajah yang mengernyit sembari membolak-balikan usus ayam yang kini berada di tangannya. Raga bingung. Tak pernah ia mengalami hal itu. Biasanya hati, darah, dan usus ayam selalu sejalan. Jika salah satunya janggal, kedua yang lainnya pasti sama. Begitupun sebaliknya. Tapi kali ini sangat aneh.

“Paling tidak, hati dan darah mendukung. Cuma satu yang tidak,” kata Lango.

“Saya tidak begitu yakin,” timpal Raga. Ia menerawang sejenak. Lalu diletakkannya usus ayam itu kembali di atas nampan.

“Siang tadi pas pulang dari rumah Ama Bela, saya su lihat-lihat keadaan. Kandang kerbaunya pas ada di belakang rumahnya. Pintu kandang hanya dipalangi bambu-bambu. Gampang untuk kita bobol. Saya rasa cuma dia, istrinya, dan dia pu anak yang mau tes polisi itu yang tinggal di itu rumah,” lanjut Lango.

Masih tersirat ketidakyakinan di matanya, namun Raga kemudian berkata, “Baiklah. Kita berangkat setengah dua.”

“Jangan ragu Raga. Jika terjadi apa-apa, saya akan tanggung semuanya. Seperti yang saya bilang, kau cukup mengurusi pintu kandang. Sayalah yang akan masuk,” Lango mencoba meyakinkan Raga.

***

Setengah dua dinihari. Malam begitu sepi. Seluruh penjuru desa gelap. PLN telah mematikan listrik sejak jam sepuluh tadi. Seperti telah disepakati, Raga dan Lango pun bersiap. Kepala mereka terikat kapouta7. Kain telah terlilit kencang di pinggang. Katopo tersisip rapat di sebelah kiri dan beberapa batu pilihan di sebelah kanan. Lembing kayu yang ujunganya tajam tergenggam erat di tangan kanan masing-masing. Mereka kemudian berangkat berjalan kaki, sepakat mengambil jalur memutar, mendaki bukit di sebelah selatan untuk kemudian turun tepat di belakang rumah Ama Bela yang berjarak sekitar dua kilometer ke arah timur itu.

Desir angin begitu dingin saat mereka mencapai punggung bukit. Suara jangkrik bersahutan. Sayup di kejauhan terdengar suara anjing melolong. Raga bergidik. Dia seperti merasakan hawa berbeda. Tak pernah dalam sejarahnya menjadi pemimpin perampokan ia merasa sekhawatir itu. Sebelum menuruni bukit, dalam hati, Raga sempat merapalkan doa Bapa Kami yang belum juga dihafalnya dengan lancar. Ketika ia dibabtis, di depan namanya ditambahkan Agustinus, sebuah nama yang diambil dari seorang kudus katolik, Santo Agustinus. Agustinus Raga Lalo namanya kini. Ia sempat bertanya kepada Pastor Silvester kenapa ia dinamai demikian. Katanya, Santo Agustinus awalnya adalah seorang pendosa yang kemudian bertobat. Mengingat itu, Raga rasa-rasanya ingin mengatakan kepada Lango untuk membatalkan rencana. Namun bayangan akan kutukan kakeknya dan hukuman warga kampung lebih mendominasinya. Ia kemudian berjanji dalam hati bahwa ini akan menjadi dosa terakhirnya yang akan diakuinya di depan Pastor Silvester nanti. Ia akan berjanji untuk tak akan berbuat dosa yang sama lagi. Tuhan maha pengampun, katanya dalam hati sembari terus mencoba merapal doa Bapa Kami.

Kini mereka telah berada sekitar seratus meter di belakang rumah Ama Bela. Mengendap-endap mereka melangkah menyibak semak ilalang sebelum menjangkau kandang. Raga mengekor tepat di belakang Lango. Napasnya memburu. Sesaat Lango menghentikan langkahnya. “Sudah siap?” ia membisiki Raga. “Iya!” Raga menjawab dalam degup. “Baiklah, kau langsung menuju ke arah pintu. Saya yang masuk ke kandang,” bisik Lango selanjutnya.

Beberapa meter sebelum menjangkau kandang, mereka kemudian berbagi arah. Raga bergerak ke arah kanan menuju pintu kandang. Sementara Lango langsung menuju ke dalam kandang, melompati pagar batu dalam senyap dan mendapati dirinya tepat di samping kerbau yang tengah berbaring. Pada saat yang sama Raga telah menjangkau pintu kandang. Secepat mungkin ia mengangkat dan menggeser bambu-bambu yang terpalang. Ia berkeringat dingin, napasnya memburu, degupnya semakin kencang. Di dalam kandang, dengan katoponya yang terhunus, Lango telah berhasil memutus tali pengikat kerbau. Sisa tali yang terhubung dengan hidung kerbau itu ia tarik sehingga membuat kerbau itu bangkit. Kerbau itu kemudian hanya menuruti tarikan Lango menuju pintu yang jaraknya cuma beberapa langkah. Tinggal satu palang pintu terakhir yang tersisa yang harus segera diangkat Raga maka Lango dan kerbau itu bisa langsung lolos keluar. Namun tepat saat tangannya menggapai palang itu, cahaya senter menyeruak tajam dari arah rumah Ama Bela. Cahaya itu tepat mengenai wajah Raga. Raga sontak menampik cahaya itu seraya melepaskan bambu di tangannya. Menyadari ancaman itu, ia membalikkan badan untuk lekas kabur. Namun tiba-tiba,

“DORRRRRR!!!”

Raga terjerembab seketika. Pandangannya mengabur. Sebelum matanya benar-benar gelap, sayup ia sempat mendengar teriakan dari arah rumah Ama Bela.

“Kena kau pukki mai8! Hahaha… Amaaa, saya sudah siap jadi polisi!!!”

__________

1 Patane: acara pemakaman tradisional di Sumba bagian barat
2 Katopo: parang yang hulunya terbuat dari tanduk kerbau
3 Ina-Ama: Ibu-Bapak
4 Marapu: kepercayaan tradisonal masyarakat Sumba; kepercayaan terhadap leluhur
5 Maramba: kaum bangsawan Sumba
6 Peci: arak, minuman keras
7 Kapouta: kain tenun tradisional pengikat kepala
8 Pukki mai: salah satu bentuk makian, hujatan

--

--

Arnold Sailang
0 Followers

Aku ingin satu meja denganmu, membunuh malam, berjudi dengan kata.