Secuplik Misi : Kedua

“Menanamkan semangat dan pemahaman tentang cinta tanah air…”

Salman Albir Rijal
11 min readJan 12, 2020

Berbicara seputar cinta tanah air, kebanyakan orang mungkin akan langsung terbayang seputar perjuangan kemerdekaan, semangat para pahlawan, hingga identitas kebangsaan. Didikan yang diterima di sekolah sejauh ini, menggiring kita untuk berpikir terlalu jauh ke belakang untuk mencari definisi cinta tanah air. Harus ke 1928 dulu agar mengerti persatuan tanah air, harus mendengar pidato Bung Tomo dulu agar memiliki semangat cinta tanah air. Yang setelah dituliskan di ujian, dilupakan.

Saya mempunyai pendekatan yang berbeda mengenai itu. Dengan menggunakan peribahasa berikut sebagai acuan :

Tak kenal maka tak sayang.

Saya pun sadar, bahwa rasa sayang atau cinta, tak akan tumbuh tanpa pengenalan yang baik. Oleh karena itu, dalam artikel di bawah ini, saya akan bercerita tentang kisah bagaimana saya mengenal “daerah asal” saya, Surabaya.

S(urab)aya

30 Juni 2019; Tugu Pahlawan, Bubutan

Ketika mendengar nama “Surabaya”, apa yang kebanyakan orang bayangkan? Tentang taman-tamannya yang asri? Tata-kotanya yang rapi? Atau Bonek-nya yang dikenal wani?

Saya sendiri, sebagai salah satu warga yang numpang ngelmu di salah satu sekolah negeri di Surabaya, cenderung tak punya jawaban lain diluar tiga bayangan umum tersebut. Padahal, masa putih-abu lebih banyak saya habiskan di Kota Pahlawan dibanding di rumah yang terletak di Sidoarjo. Ketika awal bersekolah di SMAN 16 Surabaya, saya sering ditanya mengenai perbedaan antara Sidoarjo dan Surabaya, baik oleh teman rumah maupun teman sekolah

Bedone Surabaya masio panas, dalane jek akeh wit-witane neng kanan-kirie dalan. Lah lek Sidoarjo deloken, dalanan bledhug tok ngunu!

Memang benar, suatu perbedaan drastis akan terasa apabila kalian mencoba untuk berkendara dari Sidoarjo (Jalan Raya Taman) ke Surabaya (Jalan Ahmad Yani). Jalan Raya Taman terlihat gersang, berdebu, dan terasa amat panas dikala kemarau tiba. Saat penghujan datang, genangan di aspal berlubang, tanah berlumpur di tepi jalan, serta minimnya tempat berteduh menjadi kendala. Belum lagi banyaknya truk dan bis yang ugal-ugalan. Fyuh, lengah sedikit bisa “kesenggol”, ngeri! Hal ini berbanding terbalik dengan Jalan Ahmad Yani. Sepanjang jalannya, pengendara akan disuguhi rindangnya pepohonan, aspal yang rata, hingga tersedianya jalur cepat khusus kendaraan roda empat. Dan, truk dilarang melintas di jam-jam tertentu, terutama di jam sibuk. Tentu, akan sedikit banyak menimbulkan rasa aman di hati pengendara roda dua.

Namun, setelah cukup lama “tinggal” di Surabaya, saya mulai menyadari bahwa, Surabaya tak hanya sebatas Jalan Ahmad Yani. Keikutsertaan saya dalam beberapa proyek kerja organisasi di sekolah, membuat saya harus mengunjungi daerah-daerah yang asing di benak saya. Terutama daerah Surabaya Barat dan Utara. Kunjungan ke berbagai daerah tersebut sedikit banyak membuka mata saya tentang Surabaya. Meski hanya sekilas.

Singkat kata, setelah 3 tahun menempuh pendidikan di SMAN 16 Surabaya, saya dinyatakan lulus. Saat pendaftaran SBMPTN tiba, saya dengan mantap memilih dua universitas yang berbeda provinsi dengan domisili saya saat itu. Sebagai upaya antisipatif bila gagal SBMPTN, saya juga mencari info seputar jalur mandiri beberapa PTN. Karena jalur mandiri PTN di Jatim sangat mahal, maka saya putuskan untuk tidak memilih berkuliah di Jawa Timur. Berarti, apabila saya diterima, entah lewat jalur apa, saya dipastikan akan berpisah dengan Surabaya.

Sepeda

Sembari mengisi waktu luang di libur panjang pengumuman SBMPTN, saya melakukan banyak hal; mulai dari bermain PlayStation bersama teman-teman, memelihara ikan sekaligus merawat tumbuhan air dalam satu akuarium, hingga membeli kaktus untuk dekorasi kamar. Namun, satu persatu kegiatan tersebut perlahan membuat saya bosan. Rental PS langganan yang terlalu jauh (±14 km dari rumah!), tanaman air yang daunnya habis dimakan ikan (sebab ketidaktahuan saya seputar dunia perakuariuman), hingga kaktus yang hanya perlu diurus sesekali tiap minggunya, memaksa saya untuk mencari kegiatan lain yang lebih menarik.

Ah, ada kegiatan lain yang belum saya sebutkan!

Seperti kebanyakan orang, liburan tentu momen yang pas untuk jalan-jalan. Dua hari sebelum Idul Fitri, saya pergi ngabuburit bersama rekan-rekan remaja masjid ke Kebon Bibit Wonorejo serta Hutan Bambu Keputih. Pada pertengahan Juni, keluarga saya mengajak menikmati sore di Ekowisata Mangrove Wonorejo. Kalau dikaitkan dengan kegiatan saya sebelumnya, mencari toko kaktus juga bisa digolongkan sebagai jalan-jalan. Saat itu, sore hari, saya iseng mencari toko kaktus di daerah Surabaya Selatan, hanya dengan bermodalkan GPS dan sepeda adik perempuan saya. Oh, iya, bersepeda!

Semenjak 20 Juni, sehari setelah acara keluarga, saya memutuskan untuk rutin bersepeda ke beberapa daerah di Surabaya. Tujuan pertama saya adalah Perumahan Bhumi Marinir di Kecamatan Karangpilang. Ingatan tentang masa kecil yang membawa saya kesana. Kala itu, di pagi buta, saya bersama rekan pengajian pergi ke Lapangan Tembak Internasional di kompleks perumahan tersebut, mencari peluru busung (yang sudah ditembakkan). Entah untuk apa. Selain itu, Karangpilang merupakan kecamatan di Surabaya yang paling dekat dengan rumah, sehingga, akan menjadi awal yang pas untuk memulai rutinitas baru ini.

20 Juni 2019; Belakang SMP Hangtuah 2 Surabaya
20 Juni 2019; Bhumi Marinir, Karangpilang

Persiapan perjalanan dimulai sejak ba’da Ashar, mulai dari pemanasan sejenak, cek kondisi sepeda, isi dompet, dll. Harapannya, saya bisa pulang sebelum Maghrib tiba. Namun, indahnya pemandangan senja menghalangi niat untuk kembali. Ufuk yang biasanya terhalang pemukiman warga kini terlihat jelas di hamparan tanah lapang Bhumi Marinir. Maklum, di daerah tersebut pemukiman tak terlalu padat, hanya berisi rumah dinas marinir serta fasilitas-fasilitas seperti sekolah, arena olahraga, hingga lapangan tembak yang telah disebutkan sebelumnya. Tak terasa, saya pun baru sampai di rumah kembali saat menjelang Isya’.

Esok sore dan esok-esok sore berikutnya, saya bersepeda ke berbagai tempat di Surabaya bagian Selatan. Seperti Lakarsantri, Jambangan, hingga Gununganyar.

21 Juni 2019; Universitas Negeri Surabaya, Lakarsantri
22 Juni 2019; Masjid Al-Akbar, Jambangan

Dari sini, saya belajar, bahwa lanskap Surabaya akan menunjukkan pemandangan terbaiknya dari mulai sekitar jam 16.30 hingga 17.30 (satu jam sebelum hingga pertengahan Golden Hour). Demi mencari waktu yang pas untuk nggowes, saya juga sering melakukan kalkulasi sederhana tentang waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi dengan bersepeda. Strava, Golden Hour App, serta Google Maps menjadi senjata pamungkas agar saya dapat tiba tepat waktu. Selain berburu senja, ambisi lain pun muncul, yakni, mengelilingi 31 dari 31 kecamatan yang ada di Surabaya. Tentu, dengan bersepeda.

Tak hanya sekadar mengelilingi, di tiap kecamatan, saya juga mewajibkan diri untuk mencari setidaknya satu tempat yang memiliki pemandangan indah atau menarik untuk dikunjungi. Saya pikir, hal ini mudah karena pada pertengahan Mei 2019, Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) meresmikan 70 taman baru di Surabaya. Toh, kecamatan di Surabaya “hanya” 31, sehingga seharusnya masing-masing setidaknya dapat satu taman yang bisa saya kunjungi. Ternyata tidak semudah itu.

Surabaya

Peta Administratif Kota Surabaya

Di kecamatan-kecamatan daerah Utara, Pusat-Timur, Timur Laut, Timur, dan Tenggara (Tarik garis khayal dengan Tegalsari sebagai pusatnya, lurus ke arah Krembangan, lalu putar searah jarum jam hingga Gununganyar) memang cukup mudah untuk mencari tempat yang menarik untuk dikunjungi.

NB : Pembagian Surabaya Utara, Pusat-Timur, Timur Laut, sebelumnya mungkin belum pernah ada. Ini hanyalah pembagian wilayah yang digunakan untuk memudahkan memahami karateristik kewilayahan Kota Surabaya.

20 Juli 2019; Kya-Kya, Pabean Cantian

Kawasan Utara seperti Krembangan, Semampir, dan Pabean Cantian kaya akan wisata sejarah. Krembangan punya Museum de Javasche Bank, Gedung Internatio, hingga Museum Kesehatan. Pabean Cantian juga punya Jembatan Merah, House of Sampoerna, hingga kawasan Chinatown Kya Kya. Semampir tak mau kalah, di tepi lautnya, berdiri megah Monumen Jalesveva Jayamahe, di selatan wilayahnya juga terdapat wisata religi terkenal, yakni daerah Ampel. Di selatan Semampir, terdapat kecamatan terkecil di Surabaya, Simokerto, yang wilayahnya hanya mengambil 0,79% tanah Surabaya. Meski begitu, Simokerto punya daya tariknya sendiri, dipo lokomotif Sidotopo yang berisi bangkai kereta api kadang dijadikan spot foto bagi maniak kereta, meski sekarang regulasinya sedikit lebih ketat.

6 Juli 2019; Jembatan Surabaya, Bulak

Kawasan Timur Laut seperti Kenjeran dan Bulak, memanfaatkan penuh potensi wilayahnya yang berada di tepi pantai. Infrastruktur modern nan apik seperti Jembatan Suramadu di Kenjeran dan Jembatan Surabaya di Bulak sering menjadi spot foto favorit bagi kawula muda. Belum lagi wisata Pantai dan Taman Kenjeran yang terkenal sejak lama itu.

20 Juli 2019; Taman 10 Nopember, Tambaksari

Surabaya Timur; Sukolilo, Mulyorejo, dan Tambaksari juga punya daya tariknya sendiri. Gelora 10 Nopember beserta Taman 10 Nopember adalah salah satu ikon terkenal Tambaksari. Dulu, Tambaksari juga punya salah satu taman paling terkenal di Surabaya, yakni Taman Hiburan Rakyat (THR), yang kini tak lagi beroperasi. Mulyorejo dan Sukolilo, punya dua universitas terbaik di Surabaya; Universitas Airlangga dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang menyuguhkan pemandangan apik baik dari segi arsitektur bangunan maupun arsitektur lanskapnya. Selain itu, Mulyorejo punya Pakuwon City yang terkenal dengan Danau Angsa-nya. Tak jauh dari ITS, Sukolilo juga punya Hutan Bambu dan Taman Sakura.

15 Juli 2019; Taman Kunang-Kunang, Rungkut

Daerah Tenggara cenderung mengandalkan wisata Hutan Mangrove-nya seperti yang terlihat di kecamatan Rungkut dan Gununganyar. Rungkut punya Ekowisata Mangrove Wonorejo dan Gununganyar punya Taman Mangrove Gununganyar. Tak hanya Mangrove, Rungkut masih punya beberapa taman yang biasa jadi sarana rekreasi warga sekitar seperti Taman Kunang-Kunang.

2 Juli 2019; Taman Korea, Tegalsari

Pusat-Timur Surabaya, dalam konteks ini Bubutan, Tegalsari, Gubeng, Genteng, dan Wonokromo, cenderung padat penduduk. Berdasar survei kependudukan tahun 2014, total penduduk kelima kecamatan tersebut melewati angka 550 ribu penduduk, yang berarti 5 kecamatan tersebut membentuk 19,64% keseluruhan populasi masyarakat Surabaya yang saat itu berjumlah sekitar 2,8 juta jiwa. Tentu, dengan banyaknya penduduk, pemerintah juga seharusnya merasa memiliki tanggung jawab lebih pada daerah tersebut. Oleh karena itu, tak sulit menemukan sarana rekreasi dalam kota di 5 kecamatan tersebut.

24 Desember 2019; Museum Pendidikan Surabaya, Genteng

Bubutan punya Tugu Pahlawan dan museum bawah tanahnya, yang menjadi ikon kota Surabaya. Monumen Kapal Selam yang juga menjadi salah satu destinasi wisata wajib di Surabaya terletak di Genteng. Kecamatan Genteng juga punya co-working space gratis milik Pemkot Surabaya, yakni Koridor Siola. Masih di Genteng, Pemkot Surabaya baru-baru ini meresmikan sebuah museum baru yang interior bangunannya berestetika tinggi. Museum ini bernama Museum Pendidikan Surabaya, yang terletak tak jauh dari Taman Ekspresi. Di Tegalsari, terdapat Taman Korea, yang memang dibuat oleh Pemerintah Korea, sebagai representasi persahabatan Indonesia-Korea. Gubeng punya Taman Flora Bratang, yang mempunyai luas 2,4 hektar di tengah sibuknya lalu lintas Jalan Raya Nginden. Jangan lupa, taman terbaik di Asia, Taman Bungkul, juga berada di Surabaya, tepatnya di Kecamatan Wonokromo.

Beberapa kecamatan di Surabaya ini memang kaya akan tempat menarik yang bisa digunakan pelarian dari hectic-nya hidup di kota besar ini. Warga sekitar seharusnya merasa beruntung karena punya tempat-tempat ini. Taman yang dapat menjadi tempat berteduh dari teriknya matahari kala kemarau dan dinginnya hujan kala penghujan. Museum yang bisa jadi referensi ilmu maupun mencari pengalaman baru. Atau mungkin wisata budaya dan sejarah yang bisa meningkatkan nama hingga perekonomian warga sekitar.

Namun, saya menemui kesulitan di daerah lainnya.

Selatan contohnya, Tenggilis Mejoyo dan Wonocolo yang tidak terlalu besar, hanya punya taman-taman kecil yang kurang menarik untuk dikunjungi. Bahkan warga lokal sendiri kurang mengetahui keberadaan taman-taman tersebut. Termasuk saya sendiri, yang selama masa sekolah menengah atas menghabiskan waktu tiga tahun disana. Gayungan sebenarnya masih punya dua taman ikonik, yakni Taman Pelangi dan Taman Bundaran Waru (sungguhan, Taman Bundaran Waru masih berada di Gayungan; bukan Waru, Sidoarjo), namun, keduanya berada di tengah-tengah jalan raya. Masjid Agung Surabaya atau Al-Akbar berdiri dengan megah di Jambangan, tapi, diluar itu, tak ada tempat lain yang cukup menarik disana.

Di Barat Daya, daerah Karangpilang dikenal sebagai kawasan ramai truk dan pabrik, karena lokasinya yang bersebelahan dengan Gresik. Praktis, selain Bhumi Marinir tadi, pemandangan yang ada hanyalah pabrik dan jalanan yang kurang bersahabat untuk pesepeda.

5 Juli 2019; Hutan Kota Balas Klumprik, Wiyung

Pusat-Barat; Dukuh Pakis, Sukomanunggal, dan Wiyung (mulai dari utara Jalan Bangkringan) biasa dihuni oleh kalangan atas. Jalan-jalannya lebar, gedung-gedungnya besar, namun kebanyakan destinasi yang bisa dikunjunginya bersifat berbayar (contoh : Mall, Bioskop, dan semisalnya). Jadi, rasanya kurang pantas saya yang mengayuh sepeda dan berpenampilan seadanya ini masuk kesana. Namun Wiyung masih sedikit beruntung, karena di bagian selatannya masih terdapat wisata bebas biaya yakni Hutan Kota Balas Klumprik dan juga wisata baru Taman Mozaik. Sawahan dikenal berbeda dibanding kecamatan-kecamatan tetangganya. Dulu, pernah ada kawasan lokalisasi terkenal di Kecamatan Sawahan, namanya Dolly. Kini, Walikota Surabaya selama masa jabatannya berusaha keras memulihkan stigma Dolly yang dulu, salah satunya dengan membangun Museum Dolly dan membuat kampung menjadi berwarna dengan kreativitas warga sekitar. Tak hanya Dolly, area Makam Kembang Kuning konon juga dikenal sebagai tempat berkumpulnya para waria.

23 Desember 2019; G-Walk, Sambikerep

Di Barat, ada Kecamatan Lakarsantri (bagian utara) dan Sambikerep yang sebagian besarnya merupakan bagian dari Perumahan Ciputra. Selain berjalan-jalan santai di G-Walk, tak banyak yang bisa dilakukan mengingat cukup ketatnya akses perumahan tersebut. Namun, Lakarsantri di bagian selatan tak semewah itu. Justru, suasana pemukiman yang berdampingan dengan sawah dan perhutanan menjadi pemandangan yang umum di Lakarsantri bagian selatan.

23 Desember 2019; Stadion Gelora Bung Tomo, Pakal

Surabaya Barat Laut, yang terdiri dari Pakal, Benowo, dan Asemrowo, adalah kawasan tersulit bagi saya untuk sekadar mencari pemandangan bagus. Selain Gelora Bung Tomo dan Taman Pakal yang ada di kecamatan Pakal, hampir tak ada objek menarik lain untuk dilihat. Sebagian besar daerah di Benowo adalah tambak (di bagian tengah) dan gudang peti kemas di bagian utara). Hampir hanya bagian selatannya (Kelurahan Sememi) saja yang dipenuhi permukiman warga. Sedangkan di Asemrowo, hampir semua wilayahnya adalah pabrik dan pergudangan. Kedua ciri wilayah ini bahkan dapat terlihat jelas via citra satelit Google Maps.

Citra Satelit Kecamatan Benowo dan Asemrowo melalui Aplikasi Google Maps

Tandes, adalah kecamatan yang cukup unik, bagian utaranya terdiri dari kompleks-kompleks pabrik dan tambak seperti wilayah Barat Laut, namun bagian selatannya adalah kawasan ramai penduduk yang berbatasan dengan daerah elite Sukomanunggal. Perbandingan kawasan utara dan selatan Tandes juga dapat terlihat jelas menggunakan citra satelit Google Maps. Acuan utara dan selatan adalah jalan raya yang membentang seolah membelah Tandes menjadi dua bagian, yakni mulai dari Jalan Raya Tandes Lor di bagian timur hingga Jalan Raya Manukan Kulon di bagian barat.

Citra Satelit Kecamatan Tandes

Sekian

Banyak esensi yang saya dapat dari mengenal Surabaya via berkeliling kota dengan mengendarai sepeda. Saya menjadi jauh lebih tahu tentang keadaan kota ini dibanding sebelumnya. Tentang Benowo dan truk-truknya, Sawahan dan Kembang Kuning-nya, hingga Krembangan dan segala wisata sejarahnya.

Tak hanya itu, saya juga makin tahu karateristik warga Surabaya. Yang sama tapi tak seragam. Yang sama menyisipkan “jancok” di akhir kata namun dengan logat yang mungkin berbeda. Saya yang berasal dari selatan, terkadang merasa agak asing ketika mendengar nada bicara manusia-manusia di Surabaya Utara. Mungkin begitu pula sebaliknya.

Kayuhan sepeda telah terbayar oleh destinasi-destinasi yang saya temui di Surabaya. Makin kenal dengan Surabaya, makin susah untuk tidak mencintainya. Semangat dan pemahaman tentang cinta tanah air, yang saya awali dari mencintai kota dimana kisah saya terukir.

Benar kata orang, tak kenal maka tak cinta

--

--