Tahap Paling Bahagia : Ciao!
Selamat datang putra-putri ter-
Ucapan selamat itu datang dari sana sini. Mulai dari banner di trotoar sampai stranger di kolom komentar. Pamer ke segala penjuru agar semuanya cemburu. Belum saja ditampar realita, hahaha.
Berbekal bangga, cekrak-cekrek seisi Sabuga. Unggah di Instagram biar semua paham. Unjuk gigi karena masuk sini perlu nilai tinggi. Belum saja dapat yang seukuran sepatu, hahaha.
Institut Terbaik Bangsa, katanya. Fasilitasnya terlengkap. Jurusannya terfavorit. Kurikulumnya terunggul. Iya deh, selamat datang kamu, putra-putri ter-
Juli
Prekuel
Sore itu seorang pemuda bersujud syukur di teras Universitas 17 Agustus Surabaya. Sehabis salat Ashar, jari-jemarinya kian tak sabar. Belum lagi pertanyaan dari keluarga dan kerabat yang mencecar. Meski buta warna parsial, ia cukup mampu untuk sekadar membedakan hijau dan merah. Alhamdulillah!
Malam sampai esok siang terasa panjang. Dari bermain Pro Evolution Soccer edisi terkini sampai cangkruk dini hari pun dilakoni. Tak ada yang melarang karena semuanya girang. Senang sih, tapi juga sedih. Kapan lagi ya bisa seperti ini?
Masa-masa gabut terakhir di kampung halaman dihabiskan dengan mengitari jalanan Kota Pahlawan. Agar nanti saat ditanya asal, tak dikira cah Suroboyo abal-abal. Setidaknya bisa menjawab kalau Persebaya main kandang itu di stadion mana. Meski, seumur-umur belum pernah mbonek, bahkan, memang saya bukan warga Surabaya karena sejatinya sedari dulu bertempat tinggal di Sidoarjo. Namun, sepertinya jarang, warga luar Jatim yang mengenal kabupaten tetangga Surabaya itu.
Siapa sangka, hijau itu menjadi awal dari setahun yang luar biasa gila bagi seorang Salman.
Mbandung
Setelah sebulan menikmati masa-masa akhir jumpa bersama kawan sekolah, akhirnya kami benar-benar berpisah. Angkatan kami seolah membangkitkan kembali era diaspora. Tak hanya kuliah dalam kota saja, luar provinsi, luar pulau, hingga luar negeri pun dicoba. Kabar baik di Bandung, karena aku punya tiga teman sealmamater yang sama beruntung.
Salah satunya Akbar, seorang rekan yang acap kali membuat guru beristighfar. Banyak kesamaan antara saya dan dirinya. Sama-sama sering skip kelas, sering terlibat proyek bersama (dan beberapa diantaranya tak disengaja), hingga sama-sama menjadi duta majalah Provoke! untuk SMAN 16 Surabaya, hanya saja beda generasi. Oleh karena keaktifan kami diluar kelas dan begitu abainya kami akan urusan akademik, keberhasilan kami berdua masuk Institut Teknologi Bandung bisa disebut sebagai suatu keajaiban.
Kami berangkat ke Bandung bersama dari Stasiun Pasar Turi. Tak lupa diantar keluarga sembari mengucap sampai jumpa dan membekali petuah agar tetap baik-baik saja. Sesampainya di Kota Kembang, keputusan untuk menengok kampus baru kami muncul dengan segera. Esok hari, saya bersepeda dari Melong, Cimahi, ke Jalan Ganeca menggunakan sepeda usang dari gudang milik paman. Joknya begitu menyiksa ketika menghadapi naik turunnya trek Cimahi-Bandung. Demi kesehatan tulang ekor, saya berjanji untuk memutuskan bertempat tinggal di dekat kampus Ganesha secepatnya.
Jamal
Bukan, ini bukan jurnalis Arab Saudi yang tempo hari dibunuh itu, bukan. Bukan juga penyanyi dan aktor kawakan kelahiran Kudus itu, bukan sama sekali. Apalagi yang kabur bersama Dobleh, jelas-jelas bukan. Memang, mulanya saya sedikit tergelitik dengan singkatan jas almamater ITB yang unik ini. Jamal; Jas Almamater.
Warnanya pun sangat unik. Hijau. Namun bukan hijau khas universitas bela negara itu, bukan. Bukan pula hijau telor asin ataupun hijau ketupat khas iklan Nippon 3A, bukan. Konon katanya, warna hijau ini sebenarnya biru tua. Hal ini dibuktikan dengan arsip-arsip foto dari Liga Film Mahasiswa (LFM) yang sedari dulu (banget) rajin mendokumentasikan berbagai kegiatan kemahasiswaan di kampusnya Eyang Soekarno ini. Benar, bila diperhatikan, warnanya biru tua. Ibu saya, yang alumni Teknik Kimia ITB angkatan 95, pun berkata demikian.
Lah, kok bisa jadi hijau gitu? Konon juga, terjadi kesalahan pada vendor yang menyebabkan warnanya menjadi seperti itu. Herannya, ini terjadi sudah cukup lama (cari saja artikel dengan keyword “Jamal ITB” di Google) dan hijau itu tidak kunjung membiru. Entah benar atau tidaknya kabar “salah vendor” itu, sampai hampir setahun berkuliah di sini, saya belum menemukan jawabnya.
Di luar itu semua, saya luar biasa bangga dan bahagia bisa memakai dan memiliki jas almamater ITB yang katanya “Institut Terbaik Bangsa” ini.
Agustus
eF-Te-I
Sebelum memulai perkuliahan serta orientasi kampus dan lain-lain, kawan-kawan sefakultas menyediakan wadah untuk saling mengenal satu sama lain. Maklum, jumlah mahasiswa Fakultas Teknologi Industri di angkatan kami mencapai lebih dari 500 orang. Bahkan, grup chat Line saja tak cukup menampung kami bersama dalam satu wadah. Selain itu, lebih dari lima ratus orang tersebut terdiri dari tiga kampus yang berbeda pula. Ganesha, Jatinangor, dan Cirebon.
Di awal Agustus, FTI’19 mengadakan dua acara yang cukup besar.
Pertama, futsal bersama di Parahyangan Reksa Raga (Pasaga), yang sekaligus menjadi pengalaman pertama saya bermain futsal di Bandung. Cukup banyak massa FTI yang berpartisipasi dalam permainan tersebut. Di sana, saya mendapat beberapa kenalan yang membantu saya menghadapi lika-liku di fakultas ini ke depannya. Selain itu, pertemuan ini juga membuka mata saya bahwa mahasiswa ITB, terutama FTI, tak seperti apa yang ada di benak saya.
Kedua, gathering fakultas. Pertemuan yang bertempat di Graha Pos Indonesia ini didatangi oleh hampir semua maba FTI. Acara yang bertajuk “Integrity” ini rupanya program gathering kedua yang diselenggarakan oleh FTI’19, setelah sebelumnya menghelat acara serupa bagi maba yang diterima via SNMPTN. Ada cerita lucu di sini. Saya dan beberapa teman saya yang sebelumnya pernah berjumpa (baik di acara futsal maupun pengenalan kampus), tak sengaja bertemu lagi di satu titik. Karena berkerumun, beberapa maba lain yang belum memiliki kawan pun ngikut saja dengan kawanan kami. Saat perkenalan, kami semua hampir memiliki satu kesamaan. Yakni, bisa berbahasa Jawa! Sejak itu, kami cenderung berkomunikasi dengan bahasa daerah dibanding rekan lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Lumayan, sedikit mengurangi culture shock.
Ternyata tak hanya dari pihak kawan sefakultas saja yang memfasilitasi kegiatan semisal. Ada juga SMPE-SSDK (Strategi Menjadi Pribadi Efektif dan Strategi Sukses di Kampus) yang diselenggarakan oleh LTPB (Lembaga Tahap Persiapan Bersama). Memang, acara ini lebih berorientasi pada penyampaian motivasi dan pengarahan untuk menjadi pribadi efektif berdasarkan buku 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey. Namun, di sisi lain, acara ini juga menjadi ajang perkenalan dalam scope yang lebih kecil, karena dibagi per kelas. Massa TPB FTI-Jatinangor yang jumlahnya tak terlalu banyak pun bisa disatukan dalam satu kelas yang sama.
Tak hanya itu, kami juga dikenalkan pada himpunan-himpunan yang ada di Fakultas Teknologi Industri oleh para senior. Interfak, begitu acara itu disebut, singkatan dari Interaksi Fakultas. Selengkapnya akan dibahas lebih panjang di bagian OSKM.
Dagas
Selain berkenalan dengan kawan dan lingkungan baru di kampus, sebagai bagian dari masyarakat rasanya tak afdal bila tak mengenal kawan dan lingkungan tempat tinggal. Saya memilih bertempat tinggal di suatu indekos di perumahan Dago Asri. Dikenal dengan harganya yang amat tinggi, saya bersyukur mendapatkan harga dibawah satu juta per bulannya. Plus, dekat dengan masjid.
Masjid itulah yang menjadi salah satu komponen penting dalam kehidupan kemahasiswaan saya di ITB. Masjid itu bernama Al-Amanah. Dari sana, saya mulai mengenal senior-senior yang sudah melanglang buana di kampus Ganesha. Pun rekan seangkatan dari berbagai fakultas. Kami makin mengenal satu sama lain karena dipertemukan oleh kegiatan salat berjamaah hingga pengajian malam. Puncaknya, kami mulai lebih akrab ketika Idul Adha tiba.
Kala itu, kami bergantian melantunkan takbir di malam hari raya. Selain itu, kami juga bergantian menjaga hewan kurban yang diikat di parkiran masjid. Karena kami terjaga hingga terlalu malam, saya pun bangun kesiangan. Beruntung, masih banyak rekan yang menawarkan tumpangan hingga lokasi salat Idul Adha. Oh iya, salat Id waktu itu tak dilaksanakan di sekitar masjid karena tak ada tempat yang cukup untuk menampung jamaah yang banyak itu. Sebagai gantinya, kami salat di Taman Persib, Bandung Wetan. Seusai salat, kami kembali ke masjid dan melaksanakan proses penyembelihan kurban. Lalu dilanjutkan bakar-bakar serta mengonsumsi aneka olahan daging kurban hingga beberapa hari setelahnya. Lumayan untuk asupan gizi seorang anak kos.
OSKM
Acara pengenalan dari kampus yang berlangsung sedari awal bulan hingga pertengahan Agustus cenderung monoton. Paling-paling berisi seminar motivasi, pengenalan fasilitas kampus, sampai aturan berkendara yang baik dan benar. Motivasi untuk datang paling-paling hanya untuk mendapat makan siang ataupun suvenir bila beruntung. Di luar itu, membosankan.
Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa ITB, atau yang lebih dikenal dengan singkatan OSKM, berhasil mematahkan anggapan itu. Pesta kaderisasi terbesar seantero ITB itu sangatlah meriah. Berlangsung selama tiga hari, mahasiswa-mahasiswa baru yang jumlahnya ribuan itu, dibagi sedemikian rupa menjadi ratusan keluarga kecil. Sebelum orientasi, kami juga disyaratkan untuk mencetak worksheet OSKM dan juga menyiapkan berbagai spek untuk digunakan nanti.
Tunggu dulu. Tak seperti kesan ospek yang sejauh ini berisi senioritas ataupun perploncoan tanpa esensi. Materi dan metode OSKM telah didesain sedemikian rupa untuk menanamkan nilai-nilai esensial untuk para maba dalam menghadapi kehidupan kemahasiswaan nantinya. Berbagai tools kerangka berpikir seperti SWOT hingga Ikigai juga diajarkan kegunaannya pada kami.
Saat acara perdana di hari Kamis, saya bangun kesiangan. Astaga! Langsung saja saya cari alasan agar saya bisa ikut agenda hari itu. Ah, cuaca di Bandung ini teramat dingin untuk saya yang biasa keluyuran di bawah matahari siang Surabaya. Sehingga, kondisi saya saat itu cukup tidak fit juga. Akhirnya ada alasan yang tak terlalu mengada-ada untuk disampaikan ke bidang perizinan.
Singkat cerita, saya akhirnya datang ke kampus pukul sepuluh. Langsung saja saya bertanya kepada mas-mas baju hitam yang berdiri tegap dibawah jam gadang. Akhirnya, saya diantar menuju keluarga saya yang sedang melakukan mentoring materi Ikigai di Lapangan Sipil. Di sana, saya disambut empat mentor yang berkaos kuning serta kawan-kawan yang sedari tadi sudah menerima materi.
Siang menuju sore, kami dikumpulkan di Saraga berdasar fakultas masing-masing. Waktu itu, massa FTI dikumpulkan di lapangan futsal sebelah timur running track. Setelah tutup-buka mata dan tundukkan-tegakkan kepala (ciri khas kaderisasi ITB, hehe), akhirnya kami disuguhkan pemandangan warna-warni kakak pendahulu yang berdiri mengelilingi kami dengan menggunakan jahim (jaket himpunan) kebanggaannya. Tak lupa dengan atribut seperti bendera raksasa dengan logo himpunan di tengahnya. Setelah itu, masing-masing dari himpunan yang ada di berorasi (ini juga satu hal yang sering muncul dalam kaderisasi di ITB) untuk memperkenalkan himpunannya.
Esoknya, di hari kedua, akun Instagram OSKM ITB 2019 mengunggah Buku Sakti OSKM ITB 2019. Sesuai namanya, buku itu benar-benar sakti. Isinya mulai dari mengenal OSKM, ITB, KM ITB, HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), BSO (Badan Semi Otonom), hingga sejarah kemahasiswaan dan trivia kampus tercinta ini pun ada. Komplit.
Selain munculnya buku sakti tersebut, kegiatan di hari kedua ini didominasi oleh pengenalan kemahasiswaan di Sabuga (Sasana Budaya Ganesha). Acara diisi oleh perwakilan Kabinet KM ITB, MWA-WM ITB, serta Kongres KM ITB. Mereka memperkenalkan peran dan fungsi masing-masing dalam dinamika kemahasiswaan yang ada di ITB. Selain itu, ada juga defile unit. Meski tak semua unit berkesempatan tampil, saya cukup kagum dengan totalitas promosi berbagai unit tersebut dalam waktu kurang lebih satu menit per unit.
Hari terakhir bertepatan dengan momen sakral perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-74. Sebab itu, hari dibuka dengan upacara bendera Sang Saka Merah Putih di Lapangan Bola Saraga. Setelah proses upacara pengibaran bendera yang cukup memakan waktu, kami dihibur dengan para mentor yang seolah tak henti meneriakkan yel-yelnya. Kemudian dilanjutkan sesi mentoring yang saya lewati karena tak kunjung menemukan toilet kosong di sekitar Lapangan Sipil.
Lorong massa menjadi acara yang paling seru dari rangkaian acara orientasi ini. Masing-masing keluarga membentuk kereta manusia dan berjalan melewati “lorong” yang dibentuk oleh massa kampus dari Selatan hingga Utara area kampus. Di area sekitar Kolam Indonesia Tenggelam, kakak-kakak berkostum unik menyambut kami dengan tingkahnya yang tak kalah unik. Ternyata, para senior tersebut berasal dari divisi performance yang akan tampil di acara OHU nanti. Apa itu OHU? Eits, nanti dulu, ceritanya juga tak kalah seru kok. Puncak dari puncak keseruan di sore itu adalah ketika sampai di Sunken Court, markas dari berbagai unit kemahasiswaan yang ada di ITB. Tentu saja, karena berisi berbagai anggota unit yang beraneka ragam, maka tingkah massa kampus yang ada di sana pun bervariasi. Keseruan lorong massa tadi tergambarkan dalam cuplikan video Aftermovie OSKM 2019, menit ke 2:13–2:34.
Sebagai penutup hari sekaligus acara orientasi selama tiga hari ini, kami disuguhkan orasi dari perwakilan masing-masing himpunan mahasiswa jurusan yang ada di Institut Teknologi Bandung. Orasi pelangi, begitu nama acara itu disebut. Setelah semua usai, PJS Presiden Kabinet KM ITB memungkasi acara tersebut dengan memimpin salam ikonik mahasiswa kampus gajah ini. Sayangnya, banyak dari kami yang belum mempelajari dengan baik tentang salam legendaris ini, sehingga masih gagap baik dalam pelafalan maupun gerakan. Meski demikian, perasaan merinding akan sakralnya salam itu masih tetap terasa dalam dada.
Salam Ganesha! Bakti kami, untukmu, Tuhan, bangsa, dan almamater! Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Kelas
Euforia itu usai, kini saatnya menghadapi realita. Konon, akademik di kampus ini amatlah menyiksa. Ditolak ITB nangisnya empat hari, diterima ITB nangisnya empat tahun. Sebagai maba, saya merasa hal-hal tersebut rasanya seperti sesuatu yang dilebih-lebihkan. Saya mencoba optimis.
Hari pertama perkuliahan tiba. Tak seperti masa putih-abu, kini tempat pembelajaran pun tak tetap (moving class). Sebab itu, saya harus mencocokkan dulu kode kelas dengan kode ruangan yang ada. Oke, beberapa teman sudah berbaik hati dengan berbagi informasi mengenai kode-kode tersebut, kini saatnya berangkat.
Saya memasuki kelas dengan penuh semangat dan percaya diri. Maklum, namanya juga maba. Tapi, tunggu dulu, kok tidak ada muka yang familiar di ruangan ini. Ah, sudahlah, kenalan saya kan memang belum banyak. Toleh kanan-kiri sambil sesekali memerhatikan dosen yang menyiapkan slide presentasi, lama kelamaan saya merasa ada yang salah dengan kelas ini. Harusnya saya kelas Kalkulus, mengapa jadi Komputasi? Lalu, orang-orang ini juga siapa, kok nggak ada yang kenal?
Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajak bicara kawan di sebelah saya.
“Eh, permisi, ini bener ya, ruangan 9xxx (kode ruangan)”
“Oh, iya kok, bener”
Nah, ruangannya sudah benar, hmm, lalu apa lagi ya?
“Kamu fakultas apa?”
“FSRD”
*Oh, jadi sistemnya mixing class ya*
Sembari memastikan bahwa kelas ini terdiri dari berbagai jurusan, saya menanyakan teman yang lain.
“Kalau kamu fakultas apa?”
“FSRD juga”
“Ini satu ruangan FSRD semua?”
“Iya, FSRD semua”
Nah, loh, saya salah kelas! Akhirnya setelah cek ulang, sebenarnya kelas saya ada di GKU Timur, lantai empat. Sedangkan saat itu, saya berada di GKU Barat, lantai dua. Astaga! Seperti namanya, GKU Barat berada di sisi barat kampus dan GKU Timur di sisi yang berlawanan. Huft, cukup melelahkan. Beruntung, saya masih diperbolehkan masuk oleh dosen kalkulus.
Hari-hari berikutnya saya sebenarnya masih beberapa kali salah kelas dan juga terlambat, hehe. Namun, tentu tak ada kenangan yang lebih berkesan dibanding pengalaman kesasar pertama di kampus.
Perpus
Saya masih teringat kata seorang pemateri di event ITB Jalan-Jalan sewaktu masih berstatus siswa kelas sebelas. Katanya, perpustakaan di ITB itu selalu didominasi oleh mahasiswa FTI. Maklum, singkatan FTI sering diplesetkan menjadi Fakultas Terambis Itebe. Hal ini didasarkan oleh stigma mahasiswa FTI yang senantiasa ambisius dalam belajar sehingga identik dengan perpustakaan selaku tempat belajar.
Nah, sebagai mahasiswa FTI anyaran, rasanya tidak pas dong, kalau tidak mencoba fasilitas perpustakaan ini. Oleh karena itu, saya dan beberapa rekan sefakultas berencana menyambangi perpustakaan pusat ITB sewaktu jeda perkuliahan nanti. Eh, gayung bersambut, salah satu mata kuliah dikabarkan belum memulai perkuliahan di hari itu. Kami pun langsung bergegas menuju perpustakaan pusat.
Dalam rangka memaksimalkan potensi yang ada, saya menyarankan untuk menjajal permainan di American Corner. Ruang yang terdapat di lantai satu perpustakaan itu memang berbeda dari sudut perpustakaan lainnya. Isinya terdiri dari berbagai majalah dan ensiklopedia ternama asal Amerika Serikat, namun tak terbatas pada itu saja. Berbagai jenis permainan papan seperti UNO, Monopoly, hingga Scrabble pun ada.
Alhasil, kami pun mencoba meminjam kartu UNO. Oh iya, seingat saya, berbagai permainan yang ada hanya boleh dimainkan di dalam American Corner. Meski cukup sempit, apa boleh buat, setidaknya lumayan buat menghilangkan jenuh bersama. Sayangnya, ini menjadi momen pertama sekaligus terakhir kami bermain bersama di sana.
OHU
Masih dihantui rasa penasaran seputar kemunculan kakak-kakak eksentrik di lorong massa OSKM lalu, akhirnya pertanyaan ini terjawab di OHU. OHU, yang merupakan singkatan dari Open House Unit, adalah ajang unjuk gigi dari masing-masing unit kepada mahasiswa baru Institut Teknologi Bandung. Acara ini dihelat tepat seminggu dari hari terakhir OSKM, yakni tanggal 24 Agustus 2019. Nah, kemunculan kakak-kakak kemarin yang berasal dari divisi performance tersebut salah satunya untuk mempromosikan perform OHU.
Kalau bicara tentang unit yang ada di ITB, mungkin bisa jadi tak ada habisnya. Bayangkan saja, jumlahnya ada lebih dari 90 unit! Rumpunnya pun beragam, mulai dari keagamaan, kajian, media, pendidikan, olahraga, hingga seni dan budaya. Bahkan, beberapa unit di antaranya cukup unik, setidaknya menurut saya. Ada unit Capoeira, menyelam, ice skating, studi pop culture, hingga custom sepeda motor.
Saya sendiri mencoba mendaftar tiga unit dan dua BSO (Badan Semi Otonom) kala itu. Tiga unit tersebut adalah Unit Tenis (UT), Techno-Entrepreneur Club (TEC), dan Satuan Kegiatan Olahraga (SKOR) Hoki ITB, sedangkan, dua BSO yang saya pilih adalah Skhole-ITB Mengajar serta Barudak ITB Juara (Baritra). Sampai sekarang, saya hanya bertahan di Baritra. Itu pun setelah mengajukan banding karena hampir dicoret sebelumnya, hehe.
Seperti yang ada di Aftermovie OHU 2019, baik perform teatrikal, pawai unit, hingga konser, semuanya mempunyai keseruannya tersendiri. Sayang sekali saya bersama keluarga 32 harus melewatkan penampilan teatrikal tersebut karena sedang melakukan foto studio. Saat kembali ke kampus, ternyata sudah berganti ajang menjadi konser musik. Saya yang kurang tertarik dengan konser musik akhirnya memilih pulang ke kosan.
Konklusi
Menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung memanglah keren, tapi, siapapun kamu, yang membaca cerita ini sampai habis, kamu memang ter-
Pesan moral : Gapapa seneng-seneng dulu sebelum UTS 1, gapapa.