Cinta dan sisi gelapnya (yang luas itu)

Salmonmentai
7 min readMar 29, 2024

--

Kegagalan dalam cinta, seperti perceraian, putus cinta, dan bertepuk sebelah tangan diperbincangkan di mana-mana. Baik di film, di cerita orang-orang terdekat kita, maupun di berita seputar selebriti — kegagalan cinta adalah tragedi. Tragedi itu dibicarakan di sekitar kita sebagai nasib malang yang menimpa ‘orang lain’, yang kita ambil hikmahnya untuk ‘diri kita’ atau sebaliknya. “Kalau tidak mau putus maka jangan begini… Kalau tidak mau bercerai maka lakukanlah ini… Terbiasa jual mahal akan menghindarkan kita dari bertepuk sebelah tangan…,” Ketika kegagalan cinta direduksi sebagai tragedi, maka yang bisa kita lakukan terbatas pada ‘penanggulangan bencana’, di mana kita harus menunggu tragedi terjadi untuk beraksi. Padahal kita tahu bahwa banjir tidak ditanggulangi belaka, melainkan juga membutuhkan mitigasi bencana, sebelum banjir terjadi. Sayangnya, bicara tentang perceraian, putus cinta, dan bertepuk sebelah tangan sebelum semuanya terjadi adalah tabu, perbincangan yang membuat suasana canggung dan tidak nyaman. Padahal, cinta tidak pernah hadir tanpa resiko akan kegagalan cinta. Cinta sepaket dengan resikonya, mereka berdua adalah dua sisi dari sebuah koin.

Ketika cinta menghadapkan kita pada konflik

Karena cinta adalah attachment di antara dua manusia yang berbeda, cinta jadi sepaket dengan resiko-resiko klasik dalam memerankan kehidupan bersosial. Meskipun ‘sefrekuensi’, akan ada saja saat ketika terjadi miskomunikasi antara kita dan si dia, yang bisa berujung pada saling menyakiti satu sama lain. Sengaja maupun tidak, menyakiti dan disakiti si dia adalah keniscayaan saja karena sejatinya kita semua hanyalah makhluk sosial biasa. Begitu pun ketika kasih sayang kita nggak selalu bersambut dan bertepuk sebelah tangan. Sebagai makhluk sosial pun, wajar bila perbedaan kita menyebabkan berantem. Bukan berarti karena si dia adalah ‘soulmate’ kita, kita bukan, dan nggak akan pernah, menjadi satu entitas yang sama. Kita berlayar bersama di kapal yang sama, dengan dua pasang kaki yang berbeda. Maka alangkah memudahkannya apabila berangkat mencintai dengan kesiapan untuk berkonflik, karena cinta diterima sebagai contact zone antara kita dengan si dia, tempat kita berhadapan dengan manusia yang berbeda itu. Walaupun berhadapan dengan perbedaan terasa intimidating, bagaimana pun hanya menghadapinyalah dinamika cinta bisa kita alami. Dalam cinta, seramnya konflik sepaket dengan indahnya dinamika.

Ketika cinta merugikan kita

Karena cinta memposisikan dua orang berbeda dalam kapal yang sama, suka atau tidak suka kita harus hidup dengan perbedaan itu. Pada beberapa perbedaan kita nggak bisa sekadar ‘agree to disagree’, karena kapal kita nggak bisa berjalan ke dua arah berbeda sekaligus. Maka setelah saling memahami berujung ‘agree to disagree’, kapal nggak ngerti mau jalan ke mana dan diam di tempat. Dari situlah tawar-menawar dalam cinta menjadi nggak terelakkan. Karena cinta melibatkan seluruh kehidupan dua orang di dalamnya, maka benar-benar mencapai keadilan yang sama rata hampir mustahil terjadi. Kompromi dalam cinta nggak bisa menggunakan definisi general dari ‘win-win solution’ lagi, karena derajat kemenangan yang sama dan derajat kekalahan yang sama akan selalu diukur secara subjektif sekalipun keduanya ‘memberi’ sama banyaknya untuk kompromi itu. Maka jadi umum cinta dikaitkan dengan pengorbanan, ketika kita dengan sukarela memberi lebih banyak daripada yang kita terima. Atau memberi yang sangat berharga buat kita, misalkan waktu, uang, dan tenaga, tanpa mengharapkan menerima yang setimpal. Atau merelakan kita mengalami ‘kerugian’ tertentu dalam cinta itu. Walaupun terasa merugikan satu orang, bagaimana pun cinta melibatkan emosi yang demikian kuatnya untuk membuat pengorbanan itu terasa membahagiakan. Saking sukarelanya, pengorbanan dalam cinta bisa nggak terasa rugi dilakukan, melainkan terasa seperti sedang menari bersama dalam upaya ritmis saling memberi lebih satu sama lain. Dalam cinta, seramnya merugi sepaket dengan indahnya ritme saling memberi.

Yang nggak umum adalah fenomena ‘disagree to disagree’ dalam cinta, karena artinya komitmen untuk berlayar bersama nggak dihidupi. Ketika perbedaan yang dikomunikasikan jalan di tempat pada perdebatan, yang membuat pelayaran terasa menjenuhkan, hingga muncul keengganan untuk mengerti dan membuat mengerti dalam bentuk pengabaian (silent treatment). Kapal yang berlayar dengan dua orang yang saling mengabaikan adalah kapal yang hidup segan, mati tak mau. Kapal yang melaju hanya karena harus melaju saja. Pengorbanan yang dilakukan di atas kapal pengabaian adalah pengorbanan yang berlandaskan rasa takut, semata-mata demi agar hubungan ini terus berjalan saja. Cepat atau lambat akan bikin yang mengabaikan dan diabaikan sama-sama hilang arah. Serem, tapi di luar percintaan, bahkan di luar hakikatnya sebagai makhluk sosial pun kita juga sama-sama bisa hilang arah. Nggak hanya cinta, tapi hidup pun sepaket dengan resikonya.

Ketika cinta membuat kita merasa bodoh

Diselingkuhi rasanya konyol. Bagaimana bisa selama ini kita ditipu, dianggap bodoh oleh si dia. Sementara kita bersungguh-sungguh menghidupi cinta, si dia hanya berpura-pura saja. Walaupun sama-sama ‘tidak adil’, dicurangi punya hajat yang sama sekali berbeda dengan pengorbanan. Sementara pengorbanan bertujuan menghidupi cinta, kecurangan hanya pura-pura melakukannya. “I should’ve have known,” begitulah orang yang diselingkuhi mengutuk dirinya karena tidak cukup pintar dalam permainan ini. Itu hanya satu dari rentetan penyesalan, bahkan menyesali kenapa cinta ini bahkan dimulai dari awal. Padahal selingkuh ini sebenarnya adalah kecurangan komitmen, tidak ada hubungannya dengan kecakapan satu dan pihak lainnya. Terjadi juga dengan sebaliknya, walaupun alasan kita menyelingkuhi si dia bermacam-macam, di balik itu semua mungkin terbersit bagaimana kita merasa pintar karena bisa mengelabuinya. Lagi-lagi, sayangnya selingkuh tidak ada hubungannya dengan kecakapan, melainkan ketidakmampuan seseorang dalam menghidupi komitmen. Walaupun cinta adalah naluri manusia, namun secara alami jugalah bahwa naluri manusia terkait dengan tanggung jawab. Beban dari komitmen itu selalu sepaket dengan nyamannya cinta. Bukan berarti mereduksi cinta sebagai hubungan transaksional semata, namun alami saja bila cinta datang sepaket dengan konsekuensinya, karena melibatkan dua orang yang berbeda. Ketika komitmen dinilai membatasi kita sebagai manusia dan berusaha kita curangi, maka itulah saat ketika kita nggak melihat cinta secara keseluruhan.

Ketika cinta membuat kita merasa gagal

Dan seperti semua pertemuan yang sepasang dengan perpisahan, cinta pun memiliki akhir ketika ia dimulai. Seminimalnya, salah satu dari kita dan si dia akan dipisahkan oleh maut secara paksa dan kematian adalah keniscayaan bagi setiap kehidupan. Selain dipisahkan kematian, kita dan si dia pun bisa saja memutuskan untuk berpisah, seperti putus hubungan, atau bercerai. Sebagai perpisahan, tentu perceraian adalah pilihan juga. Apakah kita ‘bisa tapi tidak mau’, atau ‘mau tapi tidak bisa’ dalam mempertahankan cinta? Tidak ada batas yang bisa disamaratakan dalam tidak memilih perceraian (atau putus hubungan). Bisa dan mau adalah satuan yang sangat subjektif dan personal. Namun demikian, aku meyakini bahwa perceraian harus diakui sebagai tanggung jawab bersama antara kita dan si dia. Memang kita harus menegakkan kebenaran ketika ada kecurangan dalam cinta, perselingkuhan, misalnya. Namun pada akhirnya, walau dengan berat hati sekalipun, penelusuran atas siapa yang benar dan siapa yang salah harus diakhiri. Perceraian harus dilepaskan dari politiknya pada tahap tertentu, dan sama seperti cinta, perceraian juga harus dihidupi. Cinta bukan sesuatu yang bisa ‘beli putus’, yang bisa kita tinggalkan begitu saja.

Cinta yang kita hadapi setelah putus hubungan bukan cinta yang benar-benar baru. Ia tetaplah cinta lama dengan tanggung jawab yang baru.

Maka kegagalan bukan terdapat pada perceraiannya itu sendiri. Tidak bertanggung jawab atas perceraian itulah yang membuat kita gagal. Beban yang berat, memang. Tapi dengan sukarela mengemban beban itulah satu-satunya cara yang membuat kita bisa menuai cinta dari perceraian.

Ketika cinta membuat kita tersesat

Frasa terkenal bahwa cinta itu buta sesungguhnya menggambarkan resiko cinta yang paling fatal, bahkan lebih fatal dari perceraian sekalipun karena lebih mungkin terjadi dalam setiap fase cinta, tidak hanya terjadi dalam perceraian. Bahwa dalam cinta kita bisa saja tersesat dan kehilangan diri sendiri.

Karena cinta berorientasi kepada si dia yang kita cintai, maka sangat mungkin jika dalam sakit-menyakiti, kompromi, pengorbanan, pengabaian, dan perselingkuhan kita akan belajar menyesuaikan diri. Menyesuaikan diri pada kadar yang nggak sehat akan membuat kita tersesat, toleransi-toleransi buta akan membuat kita nggak tahu lagi apa yang kita toleransikan, dan kompromi-kompromi liar akan membuat kita nggak tahu apa tujuan kita berkompromi. Walaupun cinta terkesan sangat berbahaya karena mudah ‘menyesatkan’ kita, namun hanya cintalah yang punya kekuatan untuk menggerakkan kita berjalan, dan hanya dari berjalanlah kita bisa mengalami indahnya cinta yang macam-macam, bahkan dari gesture yang sederhana sekali pun. Hanya cinta, yang bisa membuat kita bodoh dan tersesat itulah, yang bisa memercikkan sparks dalam hal-hal kecil, bahkan ketika mengucapkannya sekalipun, seperti yang dinyanyikan Frank and Nancy Sinatra:

I practice every day to find some clever lines to say to make the meaning come through…. And then I go and spoil it all by saying something stupid like “I love you”

Watch me project managing my life dengan matriks yang asal mulanya digunakan oleh US Air Force Electronic Systems Center

Sebelum cinta dimulai

Luas sekali kan, resiko cinta itu. Tapi nampaknya, yang bisa membuat cinta itu demikian indahnya adalah tanggung jawabnya, ya termasuk menghadapi resiko-resikonya itu. Menghadapi resiko cinta dapat dilatih bahkan sebelum cinta itu dimulai– bahkan seharusnya memang dilatih duluan! Karena resiko-resiko itu kita temui juga dalam kehidupan bersosial dan dalam komitmen lainnya. Dapat kupastikan jika kita sedari dini membiasakan diri untuk menerima bahwa kadang komunikasi kita meleset, kadang kita menyakiti orang dan disakiti orang yang kita sayangi, pasti akan membentuk sistem imun terhadap resiko tersebut. Sehingga kita nggak alergi konflik dan lebih terampil dalam berkompromi. Dan juga bijak dalam melakukan pengorbanan dan bijak menyikapi pengabaian. Bahkan kita bisa bertanggung jawab atas kecurangan yang walaupun tidak suka, tetap kita yang mengalaminya bahkan sebelum cinta. Sukarela bertanggung jawab dalam komitmen-komitmen kita, bahkan yang gagal sekalipun, bahkan menikmati tanggung jawab itu. Menghindari sikap ‘tidak mau tahu’ dalam hidup kita sehari-hari, bahkan sebelum cinta dimulai.

Untuk mendukung pembiasaan-pembiasaan itu jugalah, kita harus membiasakan membicarakan cinta dan tanggung jawabnya. Padahal perceraian tidak terbatas pada kasus yang menimpa para artis, tapi resiko yang mungkin kita semua alami. Tapi kita hanya semangat ketika membicarakan sedih, senang, atau dampaknya cinta. Begitu membicarakan tanggung jawab yang meliputinya, kita seketika merasa canggung. Udara tiba-tiba terasa dingin dan berat. Padahal, tanggung jawab cinta, ‘kan, sesuatu yang membuat cinta itu semakin indah. Mengapa membicarakan beban dari tanggung jawab tereduksi menjadi mengeluh saja? Seandainya kita terbiasa saling berbagi atas betapa beban kita itu melelahkan namun menyenangkan juga, maka di saat yang sama kita pun membangun ruang aman bagi cinta kita dan resiko-resikonya. Sekarang sudah bukan lagi zamannya mengisolasi rasa terbebani, burnout, dan melarikan diri. Sekarang zamannya kita bertanggung jawab dengan bangga!

Resiko cinta adalah beban berat yang bisa kita bawa dengan bangga dan sukarela. Walaupun resiko cinta adalah beban berat dalam hidup kita, mengembannya dengan sukarela tidak akan sia-sia. Bertanggung jawab akan resiko cinta hanya akan membuat cinta kita lebih indah lagi, bahkan setelah kita kira cinta yang kita miliki hari ini sudah yang paling indah.

Banggalah atas cinta yang mengandung tanggung jawab.

--

--

Salmonmentai

“Beauty is the emanating truth.” - Y.B. Mangunwijaya. A Priest. An Architect.