Geng Motor

mika
4 min readDec 1, 2022

“Enggak boleh.”

Wakasa, baru saja membuat penolakan keras atas permintaan Shinichiro yang tidak kunjung berhenti.

“Asa, aku boleh ikut ya?”

Mana pernah pula Wakasa berpikir begitu pulang ke rumah malah disambut Shinichiro yang dengan riang menyapanya di ruang tamu bersama sang Nenek.

“Gak boleh.”

“Wakasa,” panggil sang Nenek dengan nada yang begitu halus sampai Wakasa alihkan perhatiannya pada wanita itu.

“Iya, Oma?”

Oma, begitu Wakasa memanggil sang Nenek kesayangannya, tak lupa raut wajahnya yang tenang ketika menatapnya. “Biarin aja Shinichiro ikut. Dia cuma mau lihat-lihat, biar kamu pulangnya juga gak kemalaman,” balas sang Nenek sambil mengusap helaian rambut putih Wakasa dengan lembut.

Wakasa total luluh, diliriknya Shinichiro yang duduk di sebelah sang Nenek tengah mengangguk semangat sekali dengan kedua matanya yang berbinar ketika tatap Wakasa. “Boleh ya, Asa?” kata Shinichiro.

“Gue mau ketemu geng motor, Shinichiro. Bukan mau ke pasar malam. Kalau nanti lo kenapa-kenapa di sana gimana? Yang repot siapa? Gue juga, kan? Yang dimarahin orang tua lo nanti pasti gue.”

Shinichiro terdiam sejenak, diamnya itu buat Wakasa menarik kesimpulan kalau anak laki-laki itu tidak jadi ikut, namun pemikirannya salah. “Nanti aku janji gak gangguin Kak Asa!” ujarnya dengan semangat. Wakasa tidak habis pikir dengan bocah SMP satu ini kenapa suka sekali mengikutinya, bahkan barusan dia bela-bela memanggil Wakasa dengan sebutan Kakak agar diperbolehkan ikut.

“Boleh ikut ya, Kak Asa?”

Selanjutnya Wakasa tidak menjawab, pemuda itu tinggalkan Shinichiro di ruang tamu bersama neneknya sementara dia pergi ke kamar untuk keluar 5 menit kemudian dengan kaus oblong serta celana hitam dan sebuah jubah seragam berwarna putih terang tersampir di bahunya.

“Ayo, sebelum gue berubah pikiran.”

“Shinichiro, pegangan.”

“Asa, Asa, aku belum pernah naik motor.”

Wakasa pelankan laju motornya demi mendengar kata-kata Shinichiro, diliriknya yang lebih muda lewat kaca spion. “Bahkan sama Ayah gak pernah, Shin?” ucap Wakasa sambil membelokkan motornya di persimpangan.

“Enggak,” Shinichiro menggeleng pelan, matanya yang hitam itu memandang jalan raya di depan sana, “Ayah udah gak ada dari aku kecil, jadi gak ada yang ngajarin juga, Asa.”

Ah, sial. Kalau begini kan Wakasa jadi tidak enak hati.

“Ah, gitu….. sorry ya.”

“Gak apa-apa, Asa kan gak tau.”

“Tadi aja lo mohon-mohon minta ikut sampai manggil gue pake Kak.”

Gelak tawa Shinichiro terdengar, sementara itu Wakasa memutar bola matanya malas. Kesal juga karena merasa dipermainkan oleh bocah SMP macam Shinichiro. “Pegangan, gue mau ngebut biar cepet.” Lantas setelahnya dua tangan yang jauh lebih kecil mampir di pinggang Wakasa, meremat kuat jubah kebanggaan Wakasa yang dia yakin akan tinggalkan bekas kusut di sana.

Hal yang muncul dalam pikiran Shinichiro yang masih berumur 13 tahun waktu itu adalah wah, keren, dan takut. Wah, karena kagum melihat markas geng Wakasa yang berada di gedung tua tidak terpakai. Keren, saat melihat para anak buah Wakasa membukakan jalan kala pria itu lewat dan membungkuk hormat padanya. Terakhir, takut, ketika beberapa anggota Wakasa menatapnya dengan penuh intimidasi bahkan terang-terangan menakutinya.

Shinichiro sendiri setia berjalan di belakang Wakasa, setia menggenggam ujung seragam yang lebih tua bagaikan anak kecil ketika mengikuti ibunya. “Asa,” bisiknya halus sekali sampai-sampai Wakasa tidak dengar.

“Malam, Bos.”

Shinichiro gak kenal siapa laki-laki dengan masker hitam yang mendatangi Wakasa ini, tapi kalau menurutnya, laki-laki itu mungkin tangan kanan Wakasa, karena cuma dia yang berani menghampiri laki-laki berambut putih yang sedari tadi dia ikuti kemanapun langkahnya.

“Ini bocah tolong lo jagain, gue mau ngobrol sama kapten per divisi dulu,” ucap Wakasa sebelum menoleh pada Shinichiro, “Shin, gue ada urusan sebentar, cuma 10 menit. Lo di sini aja ya, jangan kemana-mana,” tambahnya sambil menepuk kepala Shinichiro.

Shinichiro hendak protes, namun melihat raut wajah Wakasa yang berubah serius, Shinichiro urungkan niatnya dan biarkan Wakasa masuk ke dalam ruko tua yang sudah ditinggalkan itu. Ada rasa was-was dalam dirinya karena takut ditinggal bersama anggota Wakasa. Kalau boleh jujur mereka seram, ada yang pakai tato, ada pula yang punya banyak tindikan.

“Eh lo siapanya Bos?”

“Gue baru tau Bos punya kenalan bocah begini.”

Yang ini makin buat Shinichiro tidak nyaman, 2 laki-laki ini bukan tangan kanan Wakasa tadi, bahkan laki-laki itu entah dimana sekarang.

“Siapa nama lo?”

Wakasa tadi sudah mengingatkan kalau dia tidak perlu berinteraksi dengan mereka, cukup diam saja, karena anggotanya itu begundal semua dan pastinya akan mengganggu Shinichiro.

“Heh, bocah. Bisu ya lo?”

Diam aja.

“Lo siapanya Bos kita sih? Adeknya? Setau gue si Bos anak tunggal dah.”

Diam aja, Shinichiro.

“Atau jangan-jangan lo mata-mata dari geng lawan, ya? Ngaku gak lo?!”

“Masa iya White Leopard kayak Bos kita bisa ketipu sih.”

Shinichiro naikkan sebelah alisnya. Apa tadi? White Leopard?

“Anu — “

“Shinichiro!”

Yang itu Shinichiro hapal sekali suara siapa. Lantas dia menoleh untuk dapati Wakasa yang tengah berjalan ke arahnya. Belum ada 10 menit seperti janji Wakasa, namun dia sudah kembali ke hadapan Shinichiro.

“Bos, udah selesai? Langkah selanjutnya gimana, Bos? Kita mau serang mereka?” ucap salah satu pemuda yang mengganggu Shinichiro dengan tato di lehernya.

Yang lain mengira kalau Wakasa akan memberi perintah selanjutnya, namun Bos mereka itu malah datang dan mencengkram seragam anak buahnya yang mengganggu Shinichiro sedari tadi. “Gue bahkan gak bisa ngomong karena dengar lo teriak-teriak dari tadi,” katanya dengan sorot mata yang tajam. “Siapa lo sampe berani gangguin bocah gue, hah? Udah ngerasa hebat lo?” tambah Wakasa sambil mengeratkan cengkramannya sebelum mendorong anak buahnya itu dengan kuat.

“Shinichiro, ayo pulang.”

Putra Sano yang sedari tadi cuma bisa diam itu patuh ikuti Wakasa untuk pulang. Lain kali, dia gak mau lagi minta ikut Wakasa ke pertemuan geng motornya ini.

--

--