Mangrove Indonesia untuk Dunia

Sari Kusumaningsih
5 min readJul 27, 2021

--

Berdasarkan catatan FAO, hutan mangrove di dunia luasnya 16.530.000 Ha. Luas hutan mangrove di Asia 7.441.000 Ha, di Afrika 3.258.000 Ha, dan di Amerika 5.831.000 Ha. Indonesia memiliki lebih dari 20% area mangrove dunia dengan total luasan 3.31 juta Ha. 3 juta Ha mangrove tumbuh di sepanjang 95.000 Km pesisir Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki ragam jenis mangrove terbanyak di dunia yaitu sebanyak 202 jenis.

Mangrove memiliki peran penting sebagai blue carbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Mangrove mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar yang bermanfaat dalam pengendalian perubahan iklim. Berdasarkan riset, hutan mangrove mampu menyimpan 600–1800 ton per hektar dengan rataan 1.200 ton karbon per hektar [1]. Kemampuan mangrove dalam menyimpan karbon 3–5 kali lebih tinggi dari hutan tropis.

Mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon (PgC). Jumlah ini mencakup sepertiga stok karbon pesisir global [2]. Ekosistem mangrove Indonesia menyimpan besaran karbon dengan rincian 78% karbon disimpan di dalam tanah, 20% karbon disimpan di pohon hidup, akar atau biomassa, dan 2% disimpan di pohon mati atau tumbang. Jika karbon yang disimpang mangrove Indonesia dilepaskan, karbon tersebut akan melampaui batas emisi seluruh dunia dalam membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat celcius. Itulah salah satu pentingnya peran mangrove Indonesia untuk dunia.

Manfaat Mangrove

Selain untuk menyimpan karbon, mangrove memiliki fungsi sebagai penyangga alam dan pelindung wilayah pesisir. Mangrove ini sangat penting khususnya untuk pantai di Indonesia yang rentan terhadap tsunami dan kenaikan permukaan laut. Menurut FAO, ketika pasang laut hutan mangrove akan memecah gelombang dan saat surut lumpur tebal yang melapisi mangrove menyimpan material organik yang kaya.

Dari segi ekologi, mangrove berfungsi sebagai biofilter alami dari polutan, tempat daur ulang unsur hara, tempat berpijah aneka biota laut, dan mencegah intrusi air laut. Dari segi ekonomis, berdasarkan data KKP pada tahun 2015 mangrove merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia karena menyumbang lebih dari Rp40 triliun per tahun dari perikanan budidaya. Mangrove juga merupakan sumber penghasil produk seperti kayu, sumber pangan, bahan kosmetika, makanan, obat, dan bahan pewarna. Di beberapa tempat, hutan mangrove berfungsi sebagai tempat edukasi dan penelitian bahkan menjadi tempat wisata.

Kerusakan Mangrove Indonesia dan Dampaknya

Conservation International memperkirakan bahwa sebanyak 1 gigaton CO2 saat ini dilepaskan setiap tahun dari ekosistem pesisir yang rusak di seluruh dunia, termasuk hutan mangrove. Itu setara dengan total emisi tahunan dari mobil, bus, pesawat terbang, dan kapal di AS pada 2017 [3]. Indonesia berkontribusi dalam pelepasan emisi karbon tersebut karena kerusakan mangrove di Indonesia.

Satu Peta Mangrove Nasional (2013–2019)

Berdasarkan catatan FAO dalam 3 dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40% total luasan mangrove[4]. Berdasarkan data CIFOR pada tahun 1980 Indonesia memiliki luas hutan mangrove 4,2 juta Ha. Saat ini hutan mangrove yang tersisa hanya 3,31 juta Ha. Indonesia memiliki rata-rata tingkat kehilangan luasan hutan mangrove 52.000 Ha per tahun. Tingkat kerusakan saat Ini setara dengan pelepasan karbon sebesar 190 juta ton per tahun. Kondisi ini diperparah dengan pencemaran air sungai atau laut akibat sampah-sampah yang melilit batang dan akar mangrove. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 19,26% dari total luas mangrove Indonesia dalam keadaan kritis.

Faktor utama kerusakan mangrove di Indonesia berdasarkan koalisi rakyat untuk keadilan perikanan (Kiara) tahun 2013 adalah 1) konservasi untuk ekspansi industri pertambakan, 2) konversi hutan mangrove untuk reklamasi kota-kota pantai, 3) pencemaran lingkungan hidup, dan 4) konversi hutan mangrove untuk meluaskan kebun sawit. Faktor-faktor ini diperkuat dengan riset WALHI bahwa penyumbang utama kerusakan mangrove ialah 40% perkebunan sawit (turun status kawasan), 35% tambak, 25% pertanian, dan 5% lain-lain seperti abrasi, reklamasi tambang pasir.

Jika tidak dilakukan perlindungan terhadap Kawasan mangrove, kerugian yang semakin besar akan timbul. Ekosistem laut tanpa mangrove akan menghancurkan keanekaragaman flora fauna khususnya budidaya perikanan karena 80% hasil ikan tangkap dunia bergantung pada hutan mangrove. Padahal di Indonesia berdasarkan data KKP, 40% total pemasukan sektor perikanan Indonesia dari ekspor udang yang mencapai US$1,5 miliar. Rusaknya ekosistem mangrove Indonesia secara tidak langsung akan berdampak pada kesejahteraan keluarga yang bergantung pada pesisir.

Kerugian lainnya adalah meningkatnya polutan laut akibat kehilangan biofilter alami. Akar dari mangrove yang rapat dapat berperan untuk menyaring air dari kotoran untuk menghasilkan air bersih. Tentunya ini sangat bermanfaat sebagai sumber air bersih bagi keluarga yang tinggal di pesisir.

Rusaknya hutan mangrove juga bisa meningkatkan ancaman bencana di Indonesia. Mangrove memiliki fungsi untuk mengurangi energi dari gelombang dan arus pasang surut. Sebagai contoh ketika tsunami Aceh pada tahun 2004, daerah Ulule hancur dan banyak korban karena sebagian besar kawasannya telah berubah menjadi permukiman sedangkan di Simeulue korban tsunami sangat sedikit karena kerapatan hutan mangrove yang cukup baik. Sebagai negara yang memiliki tingkat ancaman bencana alam yang tinggi dan belum memiliki infrastruktur bencana yang baik, Indonesia sebaiknya merawat kawasan mangrove yang dimiliki sebagai salah satu upaya untuk pengurangan dampak bencana alam.

Upaya Perlindungan Mangrove

Perlindungan terhadap mangrove selain mengurangi dampak negatif yang telah disebutkan juga sejalan dengan Sustainable Development Goal ke-14. Di Indonesia, upaya perlindungan terhadap mangrove sudah sejak lama dilakukan. Dari aspek kebijakan perlindungan mangrove sudah dilakukan dengan diterbitkannya SK Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kebijakan ini menetapkan mangrove sebagai kawasan lindung. Selain itu terdapat juga kebijakan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 tahun 1997 tentang Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove. Kebijakan ini mengatur zona jalur hijau merupakan zona perlindungan dan pertahanan sehingga mangrove di sepanjang pantai tidak boleh dirusak, dikonversi dan ditebang.

Dengan meningkatnya perusakan mangrove, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 4/2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional. Dalam Permenko Nomor 4/2017 itu menjelaskan mengenai kebijakan, strategi dan kegiatan berdasarkan empat pilar nilai ekologi, sosial ekonomi, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan.

Dengan terus meningkatnya area mangrove yang rusak, pemerintah membentuk BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) yang memiliki misi untuk merehabilitasi mangrove seluas 600.000 Ha. Ada 9 Provinsi yang menjadi prioritas rehabilitasi mangrove yaitu, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Papua, dan Papua Barat. Rehabilitasi oleh BRGM akan diilakukan bertahap dari tahun 2020 hingga tahun 2024

Berdasarkan Asdep Bidang Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan, Kus Prisetiahadi, pada tahun 2020 BRGM sudah berhasil melakukan rehabilitasi mangrove seluas 17.394 Ha. Kemenkomarves pada tahun 2021 memiliki target untuk melakukan penamanan mangrove seluas 150.000 Ha.

Selain penanaman dan rehabilitasi, peneliti mangrove dari LIPI mengusulkan adanya pengecekan ulang peta lahan mangrove yang perlu dipulihkan dan pengumpulan data-data seperti masyarakat yang terlibat, akses, kondisi biofisik, ketersediaan bibit dan metode pananaman yang sesuai agar bisa mencapai target di 2024 [5].

Selain dari lembaga formal, perlindungan mangrove juga dilakukan oleh komunitas-komunitas di masyarakat. Di Jakarta terdapat komunitas Kemangteer Jakarta yang aktif melakukan rehabilitasi, penanaman, maupun gerakan peduli mangrove di sekitar pesisir Regional Jakarta. Di luar Jakarta pun terdapat komunitas pelindung mangrove seperti Komunitas Anak Desa Sungai Pinang (Andespin) yang menawarkan pembibitan dan penanam mangrove dengan insentif. Mangrove Learning Center (MLC) di Majene yang bisa menanam mangrove diatas Pulau Karang dan ekowisata. Komunitas-komunitas ini memiliki peran penting karena menunjukan aksi nyata untuk menjaga mangrove di Indonesia. Keberlanjutan mangrove yang dijaga oleh masyarakat ini secara tidak langsung berdampak pada pengurangan dampak perubahan iklim dunia.

[1] Percepatan Rehabilitasi Mangrove (detik.com)

[2] https://forestsnews.cifor.org/31191/mangrove-indonesia-berkas-fakta-kekayaan-nasional-dalam-ancaman?fnl=

[3] Supertrees: Meet Indonesia’s mangrove, the tree that stores carbon underground — Vox

[4] Mangroves rooted in Indonesia’s climate target (climatechangenews.com)

[5] Indonesia masukkan mangrove dalam program rehabilitasi lahan, berikut dua masukan dari ahli (theconversation.com)

--

--