Representasi Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Keluarga dalam Novel Di Tanah Lada

syazana
13 min readOct 19, 2022

--

(Analisis Representasi Stuart Hall)

Saban hari kasus kekerasan terhadap anak semakin jelas terlihat di hadapan kita. Mulai dari berita-berita yang disajikan media massa, sampai bentuk nyata yang terjadi di sekitar kita. Pada akhir Maret 2022, dilaporkan setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak sepanjang tahun 2011. Ironisnya, pelaku kekerasan terhadap anak salah satunya berasal dari lingkungan terdekat anak, yaitu rumah; keluarga; orang tua. Rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman, justru bagi beberapa anak kini esensinya sangat jauh dari kata aman.

Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dapat terjadi pada anak, di antaranya menurut Huraerah (2007, hal. 48), yaitu kekerasan fisik (tindakan memukul, menyiksa, mencubit yang menimbulkan bekas luka dan memar di bagian fisik, hingga dapat menyebabkan kematian), kekerasan emosional/psikis (menghardik anak, penyampaian kata-kata yang tidak pantas), kekerasan seksual (seperti memancing lewat kata-kata maupun visual yang berbau pornografi hingga melakukan kontak seksual secara langsung antara orang dewasa dengan anak-anak), pengabaian dan penelalantaran (kelalaian untuk pemenuhan kesehatan dan pendidikan anak), serta kekerasan ekonomi/eksploitasi pada anak (mempekerjakan anak di bawah umur disebabkan oleh faktor ekonomi yang membawa hingga prostitusi pada anak).

Dikutip dari laman indonesiabaik.id, anak yang menjadi korban kekerasan dapat mengalami gangguan kesehatan fisik, sosial, dan psikologis yang mana secara psikis dampak tersebut dapat memicu masalah kejiwaan, seperti gangguan stres pasca trauma, depresi, cemas, psikotik, dan lain-lainnya yang dapat mengarah pada hal yang lebih berbahaya.

Selama ini, anak-anak yang sering kali diidentikkan dengan sesuatu yang ceria, harmonis, dan bahagia, seperti yang disajikan film-film, lagu anak dengan melodi cerah, hingga buku dongeng anak kebanyakan yang berakhir bahahia. Namun yang sering terlewat oleh orang besar, orang dewasa, oleh kita adalah bahwa anak-anak juga manusia yang memiliki sisi lain yang perlu diperhatikan — bahwa dunia anak-anak bisa jauh lebih gelap dari yang pernah kita bayangkan.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menganalisis sebuah novel apik yang menghadirkan sisi lain dunia anak-anak, yaitu novel Di Tanah Lada.

Di Tanah Lada merupakan novel karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie sebagai Pemenang II Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Novel ini ditulis dari sudut pandang anak berusia 6 tahun dengan gaya bahasa yang polos, lugas, namun penuh makna. Tidak seperti cerita anak pada umumnya yang digambarkan ceria, penuh kebahagiaan dan harmonis, novel ini menghadirkan sisi yang berbeda — yang penuh luka dan memilukan. Sehingga novel ini tepat sekali jika dikatakan sebagai dongeng untuk orang dewasa, terutama untuk para orang tua karena di dalamnya memberikan moral penting peran orang tua terhadap anak.

Pada analisis ini, penulis menggunakan pendekatan Representasi Stuart Hall. Representasi ialah produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang terhadap objek, peristiwa, dan simbol-simbol tertentu. Menurut Stuart Hall, representasi adalah sebuah makna dalam pikiran melalui bahasa yang mana terjadinya hubungan konsep dan bahasa yang dapat menggambarkan objek, orang, maupun fisik. Dengan pendekatan ini, penulis akan melihat dan membahas fenomena dari representasi yang ada pada novel Di Tanah Lada karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.

Sinopsis Di Tanah Lada:
Namanya Salva. Panggilannya Ava. Namun papanya memanggil dia Saliva atau ludah karena menganggapnya tidak berguna. Ava sekeluarga pindah ke Rusun Nero setelah Kakek Kia meninggal. Kakek Kia, ayahnya Papa, pernah memberi Ava kamus sebagai hadiah ulang tahun ketiga. Sejak itu Ava menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia. Sayangnya, kebanyakan orang dewasa lebih menganggap penting anak yang pintar berbahasa Inggris. Setelah pindah ke Rusun Nero, Ava bertemu dengan anak laki-laki bernama P. Iya, namanya hanya terdiri dari satu huruf P. Dari pertemuan itulah, petualangan Ava dan P bermula hingga sampai pada akhir yang mengejutkan.

Cerita singkat novel Di Tanah Lada:
Kisah dimulai dan dinarasikan oleh Ava, anak berusia 6 tahun yang baru kehilangan Kakeknya, Kakek Kia. Sejak berpulangnya Kakek Kia, Papa mengambil keputusan sepihak untuk pidah ke Rusun Nero dan menggunakan uang hasil jual rumah serta warisan Kakek Kia untuk berjudi. Papa Ava diwatakkan orang yang keras, tempramental, dan suka berjudi. Sedangkan Mama Ava digambarkan sebagai sosok yang yang penyabar dan sayang dengan Ava. Kepindahan anak yang suka membawa kamus kemana-mana itu mengantarkannya pada P, anak laki-laki berusia 10 tahun yang juga tinggal di Rusun Nero. Bersama P, Ava berbagi cerita dan menghadapi banyak hal. P juga memiliki Papa yang sama tempramennya, bahkan P untuk pulang ke rumah pun harus bersembunyi-sembunyi, karena papanya tidak suka melihatnya.

P dan Ava sama-sama memiliki Papa yang digambarkan seperti monster, bedanya P tidak punya sosok Mama yang baik seperti mama Ava. Mamanya meninggalkan P entah ke mana, entah masih ada atau tidak, bahkan namanya yang sekadar P konon karena orang tuanya enggan menamainya — memberikannya nama yang benar. Tapi di samping itu, P masih memiliki sosok yang baik bernama Kak Suri yang mengajarkannya bahasa Inggris dan pengetahuan lain yang tak ia dapatkan karena P tidak sekolah, juga ada Mas Alri yang mengajarinya bernyanyi dan bermain gitar.

Awalnya Ava mengira bahwa hanya ia yang memiliki papa yang kejam, namun sejak bertemu dan tahu cerita P, kini cara pandang mereka berdua terhadap sosok "Papa" sama-sama berwarna keruh. Ava yang baru berusia 6 tahun menyerap segala apa yang didengar dan dilihatnya dengan menerjemahkan arti ke arti menggunakan kamus pemberian Kakek Kia. Ini juga membuat cara Ava mengambil kesimpulan bahwa jika tidak A, maka B (Padahal bisa saja C, D, tidak A dan tidak B atau kemungkinan lainnya). Sama halnya ketika bercermin dengan perilaku Papanya, Ava dan P yakin bahwa semua papa di dunia ini sama jahatnya.

Hari-hari dilalui Ava dan P dengan penuh pelarian dan pencarian, hingga kebenaran-kebenaran yang mengantarkan Ava dan P berakhir pada nestapa, dan ketiadaan.

Temuan Analisis:

a. Kekerasan Emosional/Psikis

Kekerasan emosional/psikis adalah kekerasan dengan tindakan menghardik anak dengan kata-kata tidak pantas. Dalam novel Di Tanah Lada terdapat beberapa contoh kekerasan emosional/psikis, di antaranya:

1. Tapi dia (mama) akan tampak sedih lagi karena Papa akan memanggilnya dari dalam dan menyuruhnya berhenti 'berbuat tolol’. (Halaman 3)

Pada bagian ini, Ava menarasikan gambaran Papa yang seperti monster dan suka berkata kasar. Seperti melantunkan kata 'tolol' kepada mama, yang mana dalam KBBI Tolol berarti sangat bodoh; bebal. Walaupun kata 'tolol' itu dilontarkan kepada Mama, tapi Ava adalah anak yang sering mendengar makian yang seharusnya tidak didengar oleh anak berusia 6 tahun.

2. "ITU ANAK DIDIKANMU! DARI KECIL SUDAH JADI JALANG!" (Halaman 48)

Pada adegan ini, Ava mengajak P pergi ke kamarnya di Rusun untuk bermain dan mengenalkan buku. Namun ketika Papa tiba di rumah, Papa memaki Ava dengan sebutan jalang. Dalam KBBI, jalang artinya liar; nakal dan ketika dirujukkan pada Ava sebagai "perempuan" jalang berarti perempuan yang nakal dan liar yang suka melacurkan diri. Tentu ini merupakan makian yang amat tidak pantas untuk anak yang bahkan tidak tahu arti kata "jalang".

3. Mama dan Papa bertengkar soal namaku setidak-tidaknya satu kali setiap tahun. Kata Papa, "HARUSNYA BIAR SAJA KITA NAMAI DIA LUDAH! MEMANG BEGITU KAN DIA?! TIDAK BERGUNA SEPERTI LUDAH!" (Halaman 64)

Ava menceritakan betapa teganya Papa yang nyaris menamainya Saliva yang berarti ludah atau air liur — air yang keluar dari mulut, dan Ava juga dianggap anak yang tidak berguna. Padahal nama seharusnya adalah titipan doa dan harapan orang tua kepada anak yang mana nantinya akan menjadi cerminan sikap anak.

4. “Papa nggak pernah manggil namaku," kata Pepper. "Waktu kecil, dia panggil aku 'hei’, atau 'hoi’, atau 'brengsek, sini’. Tapi, sekarang, dia nggak pernah panggil aku lagi. Soalnya, aku selalu kabur." (Halaman 129)

Di sisi lain, cerita datang dari tokoh P atau yang dinamai Ava dengan sebutan Pepper (lada). Pepper bercerita bahwa Papanya tidak pernah memanggil namanya, paling tidak "Hei", "Hoi", atau "Brengsek" yang mana dalam KBBI, berengsek artiya kacau sekali; tidak beres; tidak becus; rewel; bandel. Tak jauh dari Ava yang nyaris dinamai ludah, tokoh P hadir dengan pengalaman dipanggil "brengsek" oleh sang Papa. Sebuah kata yang tidak baik untuk anak-anak.

5. "Aku dengar suaramu! Kau di dalam sampah ini kan? Keluar, brengsek! Keluar, keluar, keluar!" (Halaman 130)

Contoh lain masih datang dari P ketika ia ketahuan berada di rumah dan dimaki "berengsek" oleh sang Papa dan dilanjut dengan perintah "keluar" untuk P yang mana artinya mengusir P dari rumah.

6. "Kalau anak sampah itu kembali lagi ke rumah, dia bakal mati!" (Halaman 134)

Ketika P kabur dari rumah setelah ketahuan dan dimarahi Papa, Papa P memberikan ancaman kepada P dengan sebutan "anak sampah" dan akan "mati". Sampah yang berarti barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi; kotoran; hina merupakan suatu kata yang keji untuk dilontarkan kepada anak berusia 10 tahun. Ditambah dengan ancaman "akan mati" menggambarkan betapa kejamnya sang Papa seolah olah jika P kembali ke rumah, Papa dapat melakukan apa saja untuk menghilangkan nyawa P.

7. Aku sangat mengantuk dan sebagian besar dari percakapan Mama dan Papa saat itu tidak benar-benar bisa kupahami. Tapi Papa menjerit memarahiku tentang tidur di atas pakaian dengan 'badan kotor anak harammu’. (Halaman 75)

Saat itu, hari kedua Ava tinggal di rumah susun ia tidur di atas koper beralaskan tumpukan baju, karena ia tidak memiliki kamar tidur dan Mama belum membelikannya kasur. Namun ketika dini hari Papa tiba di rusun dan menemui Ava yang tidur di atas koper membuat Papa murka dan menghardik Ava dengan sebutan 'anak haram’. Istilah anak haram sering digunakan untuk seorang anak yang lahir dari hasil hubungan di luar nikah. Ini juga termasuk kekerasan verbal emosional/psikis yang berupa kata-kata tidak pantas dan tindak labeling yang dapat berdampak buruk pada anak.

b. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik ialah tindakan atau agresi fisik yang dapat melibatkan meninju, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga, dan sebagainya yang dapat menimbulkan bekas luka, memar, bahkan dapat menyebabkan kematian. Dalam novel Di Tanah Lada terdapat juga kekerasan fisik yang dilakukan orang tua terhadap anak, di antaranya:

1. Papa berusaha menutup koper sementara aku masih berbaring di dalamnya, tapi mama terus-terusan berusaha mendorongnya. Papa mendorong Mama sebagai balasan. Mama terjatuh di lantai. Papa menamparnya, lalu berusaha menutup koperku lagi. Mama menarik kaki Papa sambil menangis keras-keras.
"KELUAR KALIAN SEMUA! KELUAR DARI RUMAH YANG KUBELI, KALIAN WANITA JALANG DAN ANAK HARAM!" (Halaman 75)
Pada bagian ini, Papa yang menjadi murka ketika menemui Ava yang sedang tidur di atas koper, nyaris menjepit Ava dengan berusaha menutup koper. Namun itu digagalkan sang Mama walaupun balasannya Mama mendapat dorongan dan tamparan dari Papa. Dalam peristiwa ini, Mama dan Ava adalah korban kekerasan fisik dari Papa. Jika Papa berhasil menutup koper itu, Ava bisa saja kehabisan napas dan kondisinya bisa mengancam jiwa. Disusul ketika berhasil membebaskan diri dari Papa, Mama dan Ava diteriaki "jalang" dan "anak haram" yang juga termasuk dalam kekerasan verbal.

2. Setiap kali aku tertangkap, Papa akan menjewer telingaku dan memukul pantatku dengan sisir. (Halaman 19)

Ava menceritakan bahwa setiap kali ia tertangkap menguping pembicaraan Papa dan Mamanya, Papa akan menjewer telinganya dan memukulnya dengan sisir. Walaupun menguping bukan juga hal yang benar, namun apa yang didapatkan Ava juga termasuk kekerasan fisik karena berupa tindakan memukul, menyiksa yang dapat menimbulkan luka atau memar. Terlebih, sejak tinggal di rumah susun yang ukurannya lebih kecil, suara Papa yang berteriak-teriak marah menjadi lebih mudah terdengar oleh Ava, sehingga tidak mungkin jika ia tidak menguping. Satu-satunya cara agar Ava tidak mendengar itu ialah keluar dari rusun setiap kali Papanya memarahi Mama.

3. Lalu, sebuah tangan menerobos masuk dari pintu kamar kardus. Dari berkas cahaya yang kulihat sekilas, tangan itu sangat besar dan sangat berubulu. Mungkin itu tangan gorila. Dan, tangan gorila itu merenggut tangan Pepper, dan menyeretnya keluar. (Halaman 131)

Pada peristiwa lain, P dan Ava sedang berkunjung ke kamar rusun P. P mengenalkan kamar kardus (tempat ia tidur secara sembunyi sembunyi agar tidak ketahuan Papa P) kepada Ava. Namun bernasib malang, ternyata Papa P tiba di rumah dan mengetahui keberadaan P di dalam kardus tersebut. Sontak Papa menyuruh P keluar dan menarik paksa tangan P kemudian menyeretnya. Namun belum sepenuhnya P keluar dari kamar kardus, ternyata di luar sana Papa sudah siap dengan setrika yang menyala ditujukan ke tangan P.

4. Lalu, kulihat itu: luka bakar mengerikan di lengan Pepper. (Halaman 132)
Setrika yang panas atas kendali Papa itu menyentuh kulit P dan membekaskan luka bakar pada lengan P yang mana ini adalah satu dari banyaknya bentuk kekerasan fisik terhadap anak yang terdapat dalam novel Di Tanah Lada.

c. Kekerasan Ekonomi/Eksploitasi pada anak
Bentuk kekerasan ini ialah dengan mempekerjakan anak di bawah umur disebabkan oleh faktor ekonomi yang membawa hingga prostitusi pada anak). Pada novel Di Tanah Lada, tidak terdapat kekerasan ekonomi secara nyata. Namun adanya upaya untuk menyuruh anak di bawah umur bekerja, seperti contoh yang terdapat pada halaman 16 ini:
"MASIH INGAT! KARENA KERJAAN DIA CUMA MALAS-MALASAN MENGHABISKAN UANGKU! COBA KAU DIDIK DIA UNTUK BEKERJA! BUKAN JADI PEMALAS SEPERTIMU!'
"KAU MENYURUH ANAK KITA BEKERJA? DIA ENAM TAHUN!"
(Halaman 16)

Perseteruan Papa dan Mama ketika Papa menjuluki Ava dengan "anak pemalas" dan menyuruhnya bekerja yang mana Ava masih berusia 6 tahun.

d. Pengabaian dan Penelantaran
Menurut Children’s Bureau of U.S. Department of Health and Human Services, tipe penelantaran anak berupa penelantaran pendidikan, penelantaran emosional (membiarkan anak terpapar kekerasan dalam rumah tangga, tidak memberikan kasih sayang atau dukungan emosional), pengawasan yang tidak memadai (tidak melindungi anak dari bahaya, atau meninggalkan anak dengan pengasuh yang tidak kompeten), penalantaran medis (menyangkal atau menunda perawatan medis yang diperlukan atau direkomendasikan), (penelantaran fisik (gagal memenuhi kebutuhan dasar anak seperti kebersihan, pakaian, nutrisi, atau tempat tinggal, atau menelantarkan anak). Dalam novel Di Tanah Lada terdapat banyak upaya bahkan perlakuan yang berupa pengabaian dan penelantaran terhadap anak, sebagai contoh:

1. "Dia tidur di kamar mandi saja. Kan kemarin juga bisa." (Halaman 57)
Saat Papa yang memarahi Ava karena membawa P ke kamar, Ava tidak punya kamar untuk menghindar dari amukan sang Papa, dan jika keluar rusun hari sudah gelap yang mana kondisi di luar bisa jadi lebih berbahaya. Maka langkah cepat yang terpikirkan oleh Ava adalah mengunci diri di kamar mandi. Lama menunggu kemarahan Papa yang mereda membuat Ava kelelahan dan tertidur semalaman di kamar mandi. Keesokan harinya ketika Ava dan Mama berniat membeli kasur untuk Ava dengan pergi ke pasar, di pertengahan jalan ia bertemu dengan Papa yang menggagalkan Mama untuk membeli kasur dan menyarankan Ava untuk tidur di kamar mandi saja. Tentu ini bukan hal yang pantas dan termasuk dalam upaya penelantaran atau pengabaian terhadap anak.

2. "Ngerti, kok. Lagian, kata Papa, aku bikin sakit mata. Kalau kena lada juga sakit mata." (Halaman 89)
Berawal dari Ava yang ingin menamai P dengan Pepper membuat P teringt bahwa Pepper yang artinya lada sangat cocok dengannya karena Papanya yang mengatakan bahwa P membuat sakit mata. Artinya Papa tidak suka berada dekat dengan P dan tidak ingin melihat P. P menerjemahkan itu dengan bersembunyi dari Papa walau berada dalam satu rumah yang sama. Ini diperjelas pada dialog P kepada Ava yang ada di halaman 127:

3. "Soalnya, Papa aku nggak tahu kalau aku tidur di dalam sini. Kalau tahu, dia pasti akan mengusirku keluar." (Halaman 127)
Selama ini ia tinggal dengan Papanya dalam persembunyian "kamar kardus" Saat pagi hari P tidak di rumah karena Papa ada di rumah, P baru merasa cukup aman pergi ke rumah setelah jam 7 malam, karena saat itu Papanya akan pergi bermain judi dan tidak berada di rumah. Dan ketika berada di dalam rumah pun B bersembunyi di dalam kardus yang ia sebut kamar, karena jika ketahuan Papa, P/Pepper pasti akan diusir keluar dan terlantar entah bahaya apa yang akan dihadapi P di luar.

Penyebab orang tua melakukan kekerasan terhadap anak
Berdasarkan penelitian, ada beberapa faktor yang melandasi orang tua melakukan kekerasan terhadap anak, di antaranya faktor stress, trauma masa lalu dll. Akibatnya, tindak kekerasan tersebut dapat berupa fisik maupun psikis bahkan kematian. Pada novel Di Tanah Lada, terungkap salah satu faktor yang menjadikan tokoh Papa ini jahat adalah trauma masa lalu seperti yang dijelaskan Ava kepada Pepper pada Halaman 194-195:

"Kata Kakek Kia, dia dulu juga jahat sama Papa. Tapi itu karena dia nggak tahu cara untuk menunjukkan kalau dia sayang ke Papa. Bukannya dia nggak sayang Papa. Akibatnya, Papa benci dia. Dan Papa jadi jahat padaku. Kata Kakek Kia, ini semua salah Kakek Kia. Makanya, kata Kakek Kia, bodoh itu bisa jadi dosa. Karena dulu Kakek Kia bodoh, dia membesarkan anak yang juga bodoh — Papa. Papa berdosa karena kebodohannya membuat dia jahat, dan Kakek Kia ikut berdosa karena kebodohannya membuat orang jadi bodoh dan berbuat jahat."

“Aku bingung. Kakek Kia dulu jahat?"
Aku mengangguk. "Katanya, dulu dia suka pukul Papa."
"Kenapa Kakek Kia pukul Papa kamu?"
"Hmm, mungkin karena dia Papanya Papa aku. Kan, semua papa jahat."
(Halaman 194-195)

Terungkap bahwa Kakek Kia, Papanya Papa Ava dulu juga berbuat jahat kepada Papa Ava. Sehingga ini menyebabkan trauma jangka panjang yang membuat Papa Ava mengulangi tindak kekerasan yang dialami ketika masih kecil kepada Ava setelah menjadi orang tua.

Dampak Kekerasan terhadap Anak dalam Novel Di Tanah Lada

Dampak kekerasan terhadap anak bisa menyebabkan trauma yang dapat meningkatkan berbagai macam masalah, baik masalah kesehatan mental, maupun fisik. Dalam novel Di Tanah Lada berdasarkan apa yang dilalui Ava dan P mengantarkan mereka menjadi anak yang skeptis dengan berpikir bahwa semua Papa di dunia sama jahatnya seperti yang ditemukan dalam beberapa halaman novel:

1. Itu jenis wajah yang dibuat Doni kalau dia mau mendorong Dika di lapangan ketika bermain bola kasti. (Namanya sama seperti Papa. Dan, seperti Papa, dia juga jahat. Suka membuat orang menangis. Mungkin, kalau orang namanya Doni, akan jadi orang jahat.) (Halaman 9-10)

Di sekolah, Ava memiliki teman bernama Doni, dan kebetulan Doni teman Ava di sekolah berperilaku tidak baik, yaitu mau mendorong temannya (Dika) ketika bermain bola kasti. Bercermin dengan nama Papa Ava yang juga Doni dan perlakuan-perlakuan kekerasan Papa terhadap Ava membuat Ava menyimpulkan bahwa siapa pun orang yang bernama Doni, seperti nama Papanya, maka akan jadi orang yang sama jahatnya seperti Papa. Padahal tidak semua orang yang bernama Doni jahat.

2. “Tapi kenapa namanya P?"
"Karena
Papa benci aku dan dia malas ngasih aku nama." (Halaman 65)

Saat P ditanya Ava mengapa namanya P saja, P menerka nerka jawabannya bahwa mungkin Papa membencinya sehingga enggan memberikan P nama yang benar, karena tidak seperti anak lain yang diberi nama dengan benar yang di dalamnya tersirat doa dan harapan orang tua, P hidup dan tumbuh dengan nama yang hanya terdiri dari satu kata "P".

3. "Kok, Papa kamu suka pukul, sih? Pakai setrikaan lagi," tanyaku. "Papa aku juga jahat. Tapi nggak pakai setrikaan pukulnya."
"Soalnya, Papa nggak sayang aku."
"Tapi, Papa juga nggak sayang aku. Pukulnya tetap pakai tangan, kok."
"Aku nggak tahu kenapa, kalau begitu." Dia berpikir-pikir sebentar. "Mungkin karena
nanti aku akan jadi Papa. Kalau aku jadi Papa, kan, aku juga jadi jahat. Tapi, kalau sudah jadi papa, nggak ada yang bisa menghukum aku. Makanya, Papa menghukum aku dari sekarang. Mumpung masih bisa."

Atas apa yang telah dilakukan Papa teradap P maupun Ava, mereka percaya bahwa setiap orang ketika menjadi Papa pasti akan jahat.

Kesimpulan:

Perilaku, pola asuh atau cara mendidik orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak. Novel ini memberi moral bahwa menjadi orang tua tentu bukan perkara mudah, namun benar salahnya dalam membesarkan anak akan menjadi suatu budaya yang berkelanjutan. Cerita Ava dan P mungkin jarang tersentuh oleh kita, namun mereka nyata dan menjadi representasi dari anak-anak lain yang besar dalam lingkungan Abusive Parent. Dengan bercermin dari cerita Di Tanah Lada ini, harapnya kita dapat memutus trauma jangka panjang dan rantai kekerasan terhadap anak agar tidak ada lagi kisah Ava dan P lainnya setelah ini.

Tulisan ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Media dan Budaya yang diampu oleh bu Nurliah, S. Sos, M. I. Kom. Ditulis oleh Syazana Zafirah (2002056081), Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman.

--

--