bulan sabit dan langit malam ; bulan

sisi jauh bumi
3 min readSep 13, 2021

--

Hai, ini Bulan.

Aku akan menuliskan sebuah narasi tentang sosok yang aku namai langit malam. Narasi ini tidak akan terlalu panjang, aku janji. Sehingga kamu tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk membaca ini.

Mulanya bagaimana, ya?

Aku kenalkan saja dulu sosok yang aku namai langit malam. Untuk alasan penamaan itu, sederhana saja. Karena sosok itu sangat senang mengamati langit malam.

Objek yang ia amati di langit kala petang itu adalah bulan. Aku tahu jika dia adalah seorang pengangum bulan. Bulan betulan, yang ada di langit malam, bukan aku yang hanya menggunakan namanya saja di narasi ini.

Eh, atau kunamai saja dia dengan pengagum bulan?

Tidak. Nanti kalian jadi salah paham dan mengira ia mengagumi bulan yang ini.

Aku merasa nama langit malam cocok sekali untuknya. Selain karena ia suka bengong berjam-jam di balkon kamarnya saat malam hanya untuk mendongak ke lagit, sosok itu juga senang dengan warna hitam. Warna yang gelap, hitam, seperti langit malam bukan?

Indah.

“Dia satu-satunya satelit bumi yang asal usulnya masih menyisakan misteri.”

Aku tidak begitu tahu rincinya bagaimana hal-hal di tatasurya ini terbentuk. Sekilas yang pernah kudengar itu hanya teori big bang, ledakan besar yang membentuk alam semesta. Sebatas itu yang kutahu, dan aku pun tidak pernah mencoba mencaritahu lebih lanjut perihal itu.

“Ada banyak teori soal itu, bahkan omong kosong pun sama banyaknya. Ada pun yang mengatakan jika bulan itu dulunya bagian dari bumi juga.”

“Oh ya?”

Aku bertanya murni karena aku penasaran. Bukan sekedar asal menyahuti hanya agar si langit terus bercerita dan tidak pergi meninggalkan aku yang memang banyak diam.

“Dahulu itu, katanya ada planet raksasa sebesar Mars yang menabrak bumi. Sebut saja ia Theia. Ketika Theia menabrak bumi, sebagian dari bumi terlepas lalu kemudian mengeras menjadi bulan yang ada di sana,” ujarnya seraya menunjuk langit.

Aku bergumam kagum pada proses pembentukan bulan yang diproyeksikan dalam benakku seraya ikut mendongak pada objek yang ditunjukkan olehnya. Objek yang paling menonjol di langit malam.

Biasanya orang-orang stargazing untuk mengamati gugusan bintang-bintang. Akan tetapi, si langit malam ini hanya mau melihat dan memerhatikan bulan saja. Kata dia, ketimbang benda-benda lain yang ada di langit malam, bulan lebih menarik dari yang lainnya.

“The moon is beautiful, isn’t it?”

Itu diucapkannya kemudian ketika keheningan cukup lama terjadi diantara kami.

Untuk sepersekian detik, aku dibuat membeku kaku. Aku jadi teringat pada seorang sastrawan Jepang ternama yang mencetuskan kalimat itu, Natsume Souseki. Arti dari kalimat tersebut adalah, ‘aku mencintaimu’.

Untungnya, kewarasanku dengan cepat kembali. Ia mengucapkan itu bukan sebagai frasa yang lebih puitis untuk mengungkapkan kalimat aku mencintaimu, tapi karena memang ia sedang memuji bulan yang di langit itu.

“Perasaan tiap liat bulan, kamu selalu bilang hal yang sama.”

“Enggak, malam ini dia bener-bener cantik, lagi senyum.”

Aku melihatnya, bulan sabit.

“Dia memang selalu cantik, tapi ada kalanya dia jadi terlihat sangat-sangat cantik. Saat ini, bentuk sabitnya yang seperti senyum itu benar-benar membuatnya jadi sangat cantik.”

Ia menatapi bulan sabit di langit itu dengan penuh kekaguman. Mungkin aku berlebihan menafsirkannya, tapi ia terlihat seperti tengah menatap sosok yang membuatnya jatuh cinta. Aneh, bisa-bisanya dia dibuat jatuh cinta pada bulan sabit yang menorehkan senyum di langit malam ini.

“Sayangnya, enggak bisa lihat setiap hari dia senyum dan jadi secantik itu. Dari 8 fase, dia hanya tersenyum dua kali. Hari ke 4 dan hari ke 25.”

Menyangkut soal bulan, ia tidak pernah diam, ia tahu segalanya, dan aku teramat tahu jika ia sangat menyukai bulannya.

Aku menoleh pada sosok di sampingku, memandangnya dengan sorot mata serupa seperti ia yang tengah memandangi bulannya.

Baiklah, di akhir ini aku akan jujur perihal satu hal saja.

Tentang aku yang menamainya langit malam.

Seperti ia yang mengagumi bulannya, aku pun tanpa sadar mulai mengagumi langit malam. Maka dari itu, kunamai saja sosok di sampingku ini langit malam, sebagai perwujudan sosok langit yang sebenarnya.

Lalu kemudian aku tersadar sesuatu.

Mungkin alasanku memakai nama bulan di sini karena hati kecilku mengatakan ingin dikagumi sebegitunya oleh sang langit malam.

--

--