Maaf dan Terima Kasih.

saturnvzn
4 min readFeb 12, 2023

--

Sedari pagi perasaan Zoya terasa campur aduk setiap kali mengingat kegiatannya hari ini. Dalam hati perempuan itu sudah merapalkan kalimat-kalimat penyemangat untuk dirinya sendiri. Bahwa apapun yang terjadi hari ini, Zoya berniat baik untuk kembali menemui ibunya. Apapun yang akan dikatakan sang ibu nantinya, Zoya akan berusaha menerima semuanya dengan lapang tanpa harus terbawa emosi.

Entah kalimat tersebut mempan atau tidak, yang jelas saat ini raut gugupnya tak dapat terhindar dari wajah ketika melihat sosok sang ibu dari kejauhan. Dengan spontan perempuan itu berdiri kaku untuk menyambut kedatangan ibunya.

“Ibu,” sapa Zoya sedikit terbata, kentara sekali gugupnya. Kepala perempuan itu menunduk sehingga melewatkan senyum tipis yang sempat diberikan sang ibu, "Ayo duduk."

Suasana canggung seketika melingkupi antara ibu dan anak itu. Beruntungnya, pegawai restoran datang di waktu yang tepat dan memecah keheningan mereka. Namun tak berlangsung lama, setelah pegawai tersebut pergi suasana kembali senyap. Terlebih ruangan privat yang mereka pesan membuat suasana semakin sunyi.

Satu menit.

Dua menit.

Lima menit.

Tak ada yang berniat memulai pembicaraan.
Sedangkan di depannya, sang ibu juga masih terlihat menundukkan kepala tanpa berucap apapun. Hal itu sukses membuat Zoya semakin mulas memikirkan hal-hal yang akan terjadi.

"Zoya, ibu dengar kamu hamil lagi ya?"

Mata Zoya mengerjap, sedikit terkejut dengan awal pembicaraan yang diangkat ibunya. Dengan kaku Zoya mengangguk dua kali. Dirinya semakin dibuat terkejut ketika melihat senyum ibu yang terlihat tulus, "Selamat ya, sebentar lagi mau jadi orangtua. Ibu senang sekali mendengarnya. Semoga anak kalian sehat sampai lahir nanti."

"Makasih, Bu," ucap Zoya singkat.

Setelahnya kembali terjadi keheningan. Zoya memainkan buku jarinya dengan canggung, ingin melanjutkan pembicaraan pun pikirannya terasa kosong.

“Nak,” ucap ibu kembali dengan nada lembut yang sudah lama sekali tidak ia dengar.

”... iya, Bu?”

“Ibu... minta maaf.”

Zoya seketika mendongakkan kepala menatap ibunya. Matanya mengerjap, masih mencerna apa yang terjadi. Telinganya tidak salah dengar kan?

”... gimana, Bu?” tanyanya memastikan.

Ibunya itu menarik nafas dalam, “Ibu mau minta maaf sama kamu.”

Tidak, Zoya tidak salah dengar lagi. Tapi ini bukanlah suatu hal yang sudah Zoya persiapkan untuk mendengar. Ini jauh dari bayangan gadis itu mengenai hal apa yang ibunya ingin bicarakan.

“Tapi... kenapa?” Pertanyaan bodoh, Zoya sadar itu. Namun mulutnya terasa kelu untuk sekedar berbicara.

“Ibu minta maaf sudah membuat kamu berada di posisi ini. Kamu benar, nggak seharusnya ibu jadikan kamu sebagai pelampiasan atas emosi dan permasalahan ibu.”

Sang Ibu menghela nafas pelan, “Selama ini... ibu hidup hanya berfokus dengan perkataan orang. Ibu terlalu fokus untuk menjadi sempurna sampai-sampai ibu berpikir bahwa anak sendiri juga harus sama seperti ibu. Ibu salah sedari awal, Zoya. Ibu minta maaf.”

Tangan ibu teralih menggenggam tangan putrinya yang berada di atas meja. “Jadi anak ibu... pasti sulit ya, Nak? Ibu sudah menjadi ibu yang jahat buat kamu. Ibu terlalu egois, selalu memikirkan diri sendiri sampai-sampai nggak sadar kalau kamu terluka karena perbuatan ibu.”

Mata Zoya memanas, air mata tak tertahan mulai mengalir di wajahnya. “Melihat kamu sakit seperti kemarin, ibu jadi sadar kalau ibu telah melukai kamu terlalu dalam.”

Zoya berucap lirih, “Apa aku harus sakit dulu... sampai buat ibu sadar?”

Tak hanya Zoya, sang ibu perlahan mulai meneteskan air matanya. Suatu hal yang pertama kali Zoya lihat dalam hidupnya, karena selama ini tak pernah sekalipun gadis itu melihat ibunya menangis di depannya.

“Maaf... maaf...” Berulang kali kata tersebut terucap dari bibir ibu. Nadanya begitu sarat akan penyesalan.

“Ibu salah sudah mengharapkan memiliki anak yang sempurna. Karena nyatanya, sampai kapanpun ibu juga nggak bisa jadi ibu yang sempurna. Ibu selalu menuntut kamu sesuai dengan yang ibu minta, menuntut kamu untuk selalu menurut ibu, sampai-sampai ibu lupa kalau kamu juga memiliki kendali penuh untuk hidupmu sendiri.”

“Ibu sudah menjadi ibu yang jahat buat kamu, Zoya. Ibu sudah gagal menjadi orang tua yang baik. Ibu selalu mengandalkan emosi ketika mendidik kamu.”

Wanita paruh baya itu kini meraih Zoya dalam pelukan, mengusap pelan punggung anaknya ketika mendengar isak tangis Zoya yang semakin deras. Disela-sela usapannya, ibunya kembali berucap lirih, "Tolong maafkan ibu, Nak."

Menit berikutnya masih diisi dengan tangis yang tak kunjung reda. Air matanya turun tanpa bisa dikendalikan. Namun dalam air mata tersebut bukan hanya tercurah kesedihan, tapi juga air mata bahagia. Perasaan perempuan itu tumpah ruah. Seolah beban berat yang selama ini dipikulnya baru saja terangkat hingga membuat perasaannya lapang.

Berulang kali permintaan maaf terdengar lirih di telinga Zoya. Perlahan, perempuan itu mengurai jarak keduanya. Selagi berusaha mengendalikan diri, Zoya mengangguk dua kali. "Aku memaafkan ibu," ucapnya tulus.

Akhirnya, permasalahan antara keduanya telah menemukan akhir. Raut wajah ibu terlihat begitu lega. Meski satu titik air mata kembali jatuh, senyumnya merekah dipenuhi keharuan.

"Zoya."

"... iya, Bu?"

“Terima kasih sudah memaafkan ibu. Terima kasih juga sudah menjadi anak yang kuat dan hebat selama ini. Kehadiran kamu di dunia ini... bukan menjadi penyesalan buat ibu, Zoya. Ibu beruntung memiliki kamu. Terima kasih sudah menjadi anak ibu.”

Sebuah usapan hangat kembali diberikan oleh ibu. Dengan senyum yang masih terpatri di wajah, ibu kembali berucap lembut.

“Terima kasih... dan maaf. Terima kasih sudah menjadi anak ibu yang hebat, dan maaf untuk semua rasa sakit yang udah ibu berikan buat kamu. Izinkan ibu untuk memperbaiki semuanya. Setelah ini... ibu berjanji akan menjadi ibu terbaik untuk kamu."

--

--